Part 6

90 2 0
                                    

Dia mengirimiku berita tentang Real Madrid yang mengalahkan Barcelona, dia menjelaskan secara terperinci detik-detik kekalahan Barcelona. Kupikir ini bisa dibilang balas dendam, karna saat Ben masih hidup ia tidak bisa mengomel tentang betapa bodohnya Barcelona. Dia terus meneleponku hanya untuk mengetahui kabarku atau apa aku baik-baik saja, dan terkadang dia hanya, "Aku tidak tahu mau ngomong apa tapi aku sangat bosan disini, jadi... Ceritakanlah sesuatu" dan karna aku seorang wanita, tidak sulit bagiku untuk mencari topik. Kita berbicara tetang Ben dan betapa baiknya ia, hal-hal lucu tentangnya dan sebagainya. Hingga suatu hari aku dapat menerima kenyataan itu dengan sepenuh hati, tentang betapa aku merindukan Ben namun teman-temanku perlu keadaan Ben sebenarnya.

"Ben sudah meninggal"

Hanya itu yang dapat kukatakan. Simple namun menyakitkan. Reaksi mereka berbeda-beda--beberapa dari mereka menangis, beberapa dari mereka memikirkan kata-kataku, beberapa dari mereka hanya terpaku menatap ke depan seakan Ben meninggal tepat di depan mereka. Mereka mengenal Ben, tentu saja. Karna Ben adalah seorang yang spesial buatku. Namun Ben tinggal berjauhan dengan kami.

Sulit untuk mengatakan apa yang terjadi selanjutnya--maksudku, semuanya terjadi begitu saja. Hidup berjalan semestinya, terkadang aku down dan terkadang up, seperti roller coaster. Demi menjaga perasaanku, teman-teman tidka pernah bebriacra tentang Ben kecuali jika aku yang mulai. Daniel dan aku tetap sering berbicara lewat telepon, tentang curah hujan di Inggris dan betapa panasnya Hawaii-entah mengapa kami berbicara tentang ini.

Akhirnya, aku kembali pada kehidupan lamaku, jauh sebelum Ben pergi. Kuajak teman-temanku untuk nonton di bioskop, kami berbicara tentang film dan sebagainya lagi. Aku membeli buku dan membaca novel, membuat blog yang berisi tentang film dan lucunya masa remaja, juga menge-post ­tentang lelucon teman-temanku. Atau leluconku, terkadang. Daniel berganti cewek lagi dan lagi, dia tidur dengan cewek yang berbeda tiap bulannya. Terkadang aku khawatir apa ia terjangkit HIV.

Aku tersenyum kembali, merindukan Ben, dan seperti itulah. Terkadang aku berharap, terlalu berharap. Berharap bahwa cerita tentang kematian Ben hanya ilusi dan semuanya akan berubah. Suatu hari kusadari bahwa tak akan ada yang berubah, dan tak ada perubahan adalah yang terbaik untuk Ben.

Teman-temanku berbicara tentang cinta dan membayangkan pernikahan mereka nantinya, (ini aneh karna kami masih SMA) sedang aku hanya tersenyum dna tak merespon. Mereka mendesain gaun pernikahan mereka sendiri, dan ketika mereka bertanya tentang desain untukku nanti, kugelengkan kepala. Aku dapat menerima bahwa ia sudah tiada, namun ada satu hal yang masih mengganjal di pikiranku--sebagaimana email-email yang kukirim padanya, aku masih mencintainya. I love you.

Ben adalah satu-satunya lelaki yang kubuka hatiku untuknya.

"Teman-temanku bilang aku harus menikah nantinya" ulangku padanya. Daniel tetap tidak bereaksi hingga kupukul microphone agar telinganya di ujung sana pengang. "Hey" kataku. "Kau mendengarku atau tidak?"

Di layar laptopku, ia mengangguk. Kita selalu seperti ini, berbicara lewat telepon atau video call dengan Skype. Karna kita tinggal di belahan dunia yang berbeda. Tidak terlalu jauh juga sih, karna masih sama-sama di bawah kekuasaan Queen Elizabeth. Namun tetap saja, kau tidak mungkin bisa melewati Irlandia-Inggris dalam sedetik.

Begitu pula hubunganku dan Ben berjalan dulunya. Terkadang kita saling bertemu, namun lebih sering dihubungkan lewat internet dan sebagainya. LDR, orang bilang LDR itu sulit namun tak ada yang sulit dengan Ben. Dia sangat baik dan penyabar, tidak pernah selingkuh walau aku tinggal di kota yang tidak sering ia kunjungi.

Itu hanya satu dari ribuan alasan untuk mencintai Ben.

Daniel tertawa, "Apa yang kau pikirkan, kalau begitu? Tentang perkataan temanmu?" Kututup mataku, ingatanku berpencar pada kali terakhir aku bertemu Ben. Dia membuka tabung oksigen dari mulutnya dan berkata, "Temukanlah seseorang yang lebih baik dariku"

Kugelengkan kepala. "Tak ada yang lebih baik darimu"

"Kalau begitu, jadilah seseorang yang lebih baik dariku" alasan lain untuk mencintai Ben--lebih mementingkan kebahagiaanku dibanding kesenangannya.

Ketika membuka mata, yang kukatakan adalah, "Aku tak bisa mencintai orang lain" kulihat Daniel mengerutkan kening, tampak seperti hendak mengatakan sesuatu namun urung.

Hari ini pergi, hari esok menanti. Aku bertemu dengan beberapa cowok, mengobrol dan belajar dengan mereka, tidak lebih. Daniel bertemu dengan cewek-cewek berbusana bikini, berkata padaku bahwa "Semalam magical banget!" Aku geleng-geleng kepala, menjedutkan tangan ke jidatku, berkata "Berhenti bertindak bodoh" dan responnya hanya tertawa. Aku ingat bagaimana Ben selalu memperingatkan Daniel agar tidak mempermainkan cewek, dia selalu ingin Daniel jadi lebih baik. Alasan lain untuk mencintai Ben--ia sangat menghormati wanita.

Beberapa cowok mencoba mendekatiku, teman-temanku mengejekku naksir dengan cowok A, cowok B, bla bla. Aku hanya tersenyum dan tertawa aneh, karna memang tak punya perasaan samasekali kepada cowok A atau B atau C itu. Teman-temanku nampaknya ingin melihatku jatuh cinta lagi, atau sebutannya move on. Tapi, biar kuperjelas, sekali seumur hidup, jatuh cinta pada Ben itu sudah cukup.

Our Spotless Mind (Bahasa Indonesia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang