Part 2

309 8 0
                                    

"Sayang, kau mau nambah?"

Aku mendongakkan kepala yang terasa amat berat demi menatap ibuku. Kuanggukkan kepala. Ia tampak bersemangat ketika menyndokkan sepagetthi porsi kedua untukku. Kugigit bibir bawahku, "Maaf, Ma. Sebenarnya, aku tidak mau nambah" aku sendiri tidak mengerti anggukanku barusan.

"Kau tidak apa-apa, Sayang?"

Tentu saja aku tidak baik-baik saja. Namun aku tidak mau melihat orang sekelilingku ikut dalam dukaku yang entah sampai kapan ini. Tahu kan, rasanya, ketika kau ingin menyimpan kesedihan ini sendiri? "Aku tidak apa-apa, Ma"

Kuangkat kepalaku lagi, menatap matanya yang tampak mengkhawatirkanku. Oh, ayolah. Aku tidak sesakit itu. Mom mungkin menyimpulkan bahwa aku depresi. Aku tahu ia menyimpulkannya dalam hatinya.

Kuanggukkan kepalaku kembali, "Aku benar-benar baik-baik saja" pengulangan kalimat yang terlalu sering. Kugeser kursiku, "Aku hanya, well, lelah mungkin" apa yang membuatku lelah? Aku bahkan tidak melakukan apapun seharian ini. "Aku perlu ke atas sebentar, Mumsy. Selamat malam" bukan hanya sebentar, namun semalaman. Hingga esok paginya. Aku akan turun untuk sarapan, tanpa atau dengan berpakaian rapih setelah mandi. Pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Mengurung diri di kamar. Mengirim i love you kepada lelaki itu lagi.

Dan esoknya, aku akan melakukan hal yang sama. Hal yang sama. Ya, itulah hari-hariku, yang dari pandanganku sendiri cukup normal. Jadi, ibuku tak perlu membuat kesimpulan semacam aku ini depresi atau apa. Aku baik-baik saja.

Ketika aku menaiki tangga, kudengar Mumsy bergumam, "Ehm... Kitten, akhir minggu ini Da ada empat tiket gratis ke opera. Mau ikut?" Aku selalu memanggil ayahku Da, panggilan yang aneh karna huruf D paling belakangnya kuhapus begitu saja. Kesalahan ejaan sejak kecil, yang kubawa hingga sekarang. Sebagaimana halnya aku memanggil ibuku dengan sebutan Mumsy--panggilan yang kudengar dari sebuah tayangan kartun saat kecil.

Sabtu malam, pikirku. Tidak ada salahnya, walau yang lebih kuinginkan adalah diam di kamar, menatap box-box di sudut ruangan, mengirim email, menyendiri. Aku hampir menolaknya jika tidak ingat tatapan khawatir Mumsy. Mumsy khawatir aku depresi, aku mengerti itu.

Kuanggukkan kepala. Kata Mumsy, "Akan menyenangkan jika dapat mengajak Susan!" Susan adalah sepupuku yang tinggal di bagian barat Dorset. Kupaksakan sebuah senyuman. Kurasa mulut ini terlalu pelit untuk menyebar kebahagiaan. Atau memang karna tak ada kebahagiaan dalam jiwaku?

Kembali ke atas, biasanya aku akan menutup pintu dan menguping sedikit. Khawatir Mumsy membicarakanku, dan merasa bersedih karnaku, atau apapun itu. Menjadi anak tunggal tidak semudah yang dibayangkan orang--ada banyak rintangan, salah satunya membahagiakan orangtua. Tak ada anak lain yang dapat kutuntut untuk membuat Mumsy tersenyum saat aku tidak bisa melakukannya--seperti minggu-minggu terakhir ini.

Mumsy mengenal lelaki yang meninggal beberapa minggu lalu itu, lelaki yang amat kusayang. Mumsy mengetahui namanya, dan perasaanku tentangnya. Aku mencintainya. Aku merasa kehilangan. Dan seribu satu cara telah Mumsy coba untuk mengembalikan senyumku yang terkubur bersama tubuh tinggi cowokku.

Aku membenci diriku, aku bagai tidak menghargai usaha Mumsy. Bagaimana bisa aku tetap sedih dan membuatnya khawatir saat ia butuh melihat senyumku? Da yang biasanya menghabiskan hari libur dengan bermain tenis denganku juga merasa kehilangan, di sela-sela kekosongan diriku di sudut lain tenis meja belakang rumah kami.

Namun aku mengerti, bahwa aku tidak bisa menyalahkan diriku, aku mengerti bahwa rasa kehilanganku itu nyata. Bahwa ia sudah mati. Bahwa aku kehilangan dirinya.

====

Untuk pertama kalinya sejak berminggu lalu, aku membuka Skype lagi.

Melihat missing call lama yang begitu banyak dari sepupu cowok itu--tak satu pun kuangkat. Melihat kontak lelakiku yang tak akan menunjukkan tanda kehidupan lagi. Mengotak-atik beberapa hal, mengupdate status dan mendelete hal tidak penting.

"Hey" itu text chatting dari sepupunya, orang yang hidup dengannya sejak lahir. Kupikir ini hanya bayangan, flashback dari berminggu-minggu lalu, panggilan-panggilan tak terjawab itu. Namun tidak, karna kulihat tanda online di samping namanya, Daniaelatmc.

Kucoba untuk menyapanya balik namun yang kulakukan malah sebuah hal konyol, "Maaf, ada masalah?"

Biar kujelaskan, aku tidak pernah dekat dengan Dan ini. Kita prrnah mengobrol sebelumnya, hanya satu-dua kali. Kita tidak pernah tertawa terbahak-bahak selayaknya teman, dia lebih seperti orang asing bagiku.

Ia menghubungkan sebuah panggilan telepon untukku lewat Skype. Terasa asing, terasa pahit, terasa... berminggu lalu "Tidak, tidak ada masalah. Hanya ingin tahu apa kau baik-baik saja" suaranya nge-bass dan berat di seberang sana.

"Well, ya, aku tidak apa-apa"

"Hmm... Bagus kalau begitu"

Ada jeda. "Tidak, aku tidak baik-baik saja" sejujurnya? Aku tidak bisa berpura-pura bahwa aku tidak ada masalah. Aku tidak bisa berpura-pura seakan dia masih hidup. Aku tidak bisa menganggap ini sebuah kisah dongeng atau drama yang endingnya berbunyi, Dan mereka hidup bahagia untuk selama-lamanya...

"Aku mengerti itu" katanya, sekarang dengan suara yang lebih seperti orang depresi tidak punya makanan. "Aku juga. Ini tentang Ben, kan?"

Sulit bagiku untuk mendengar namanya kembali, aku tidak pernah menyebut-nyebutnya, tidak bahkan dari awal paragraf cerita ini. Aku merasa sakit, jujur saja, seperti ditusuk pisau. Aku dapat menangkap getaran kesedihan dalam suaraku, "Yeah. Tentunya" hanya itu yang dapat kukatakan. Percakapan kami selanjutnya penuh dengan airmata, namun ketika kututup Skypeku, aku merasa baikan. Tak ada, selama ini, yang dapat mengobrol denganku tentang Ben seperti Dan. Dan lebih... Jujur. Lebih terbuka. Karna tak ada yang mencintai Ben seperti aku mencintainya. Kemudian sepupunya, yang kupikir juga mencintai Ben, meneleponku malam ini. Tahu rasanya seperti apa, kan? Mengobrol dengan orang senasib. Membuatku semakin kuat.

Kita berdua menyayanginya, dan perlu seseorang untuk mengerti hal itu. Menyayangi orang yang meninggal. Untuk membicarakannya dengan seluruh hati. Seperti memberikan kekuatan pada satu sama lain.

====

Our Spotless Mind (Bahasa Indonesia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang