Insiden Sofa

12.1K 1.6K 65
                                    

Pagi-pagi udah update dong. Baik kan aku? Ya dong, ini tuh part favorit aku. Wkwkwk...

Happy reading 😚

Berada di dalam ruangan tertutup tanpa ventilasi udara ini sebenarnya membuatku tak nyaman. Aku tak pernah tahu alasannya kenapa. Hanya saja, sejak dulu aku selalu menghindari situasi di mana aku harus masuk ke dalam kotak bergerak ini.

Namun, karena apartemen Ranggih berada di lantai lima belas, aku tidak punya pilihan lain. Aku belum senekat itu dengan menaiki tangga darurat satu persatu hanya untuk menjenguknya yang sedang sakit.

Chat yang kukirim memang tidak langsung dibalas seperti yang kukatakan sebelumnya. Namun, dia langsung menghubungiku sepuluh menit kemudian. Mengatakan dia baik-baik saja. Hanya kelelahan dan aku tak perlu mengkhawatirkannya.

Padahal siapa juga yang khawatir. Aku cuma ...

Ting.

Huft, aku bernapas lega karena berhasil tiba di lantai lima belas dengan selamat. Tinggal mencari unit apartemen milik Ranggih.

Ah, sepertinya itu dia.

Tepat saat aku akan membunyikan bel, pintu tersebut terbuka. "Eh, Kak Kiran."

"Hai, Gar," sapaku pada Gara.

"Mau jenguk Bang Ranggih kan? Masuk aja, Kak. Bang Ranggih baru mandi itu."

Heh? Siang begini baru mandi? "Ah, iya."

"Aku mau keluar dulu, Kak. Mau cari makan siang. Kakak udah makan?"

"Tadi udah makan sama teman."

"Oke, aku tinggal dulu ya, Kak. Di dalam ada Loly kok."

Loly? Bocah menyebalkan itu?

Aku lalu masuk ke dalam apartemen Ranggih. Sambil mengedarkan pandangan meneliti sekaligus menilai tempat tinggalnya. Apartemen miliknya tidak terlalu besar dan hanya memiliki dua kamar tidur. Bocah perempuan yang dimaksud Gara tadi, duduk di depan televisi seraya memainkan gadget. "Hai, Loly."

Mendengar sapaanku, dia sempat menoleh sebentar. Lalu mendengkus agak keras dan kembali memainkan ponselnya.

Aku punya salah apa sama anak ini?

"Bang Ranggih mana?"

"Mandi," jawabnya singkat.

"Oh.." Aku sebenarnya tidak punya pengalaman baik dengan anak-anak. Dikatakan buruk juga enggak. Bisa dibilang, aku cuma tidak terlalu menyukai anak-anak. Pengecualian khusus untuk anak Raline, Faradina.

Terutama pada anak-anak yang baru kukenal, seperti Loly ini. Kalau anak-anak dari sahabatku, aku sudah mengenal mereka sejak lama. "Lagi main apa?" tanyaku mengintip ponselnya.

Loly langsung menjauhkan ponselnya dariku. Sialan. Padahal aku juga tidak berminat dengan apa pun yang dia lihat di ponselnya itu.

Baiklah. Walau yang kuhadapi anak kecil, tetap saja aku merasa masih punya harga diri. Aku tidak mau terus ditolak dan diabaikan seperti tadi. Ranggih juga kenapa lama banget selesai mandinya.

"Kata Kak Sasha, Tante pacarnya abangku."

Nimas mengirim pesan, bertanya tentang keadaan Ranggih. Mereka memang belum pernah bertemu Ranggih, kecuali insiden di kafe waktu itu. Mungkin karena beberapa kali aku bercerita tentang Ranggih pada mereka, kedua sahabatku itu jadi penasaran dan ingin bertemu dengan Ranggih secara langsung.

"Tante nggak dengar atau pura-pura nggak dengar, hah?"

Eh?

Aku mengangkat wajah. Menatap Loly yang sudah menyilangkan kedua lengannya di dada dengan pandangan mengarah padaku. "Kamu ngomong sama aku?" tanyaku bingung. Kupikir tadi dia sedang menghubungi seseorang. Iya sih, dia menyebut kata pacar abangnya. Tapi kan bisa saja abang yang dimaksud bukan Ranggih. Bisa saja Gara bukan?

(Not) A Big Deal (Selesai ✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang