Ranggih Yang Menyebalkan

11.5K 1.6K 25
                                    

Ranggih masih belum membalas chat yang kukirim. Padahal hari sudah berganti, berarti hanya tinggal menghitung jam sebelum aku harus menghadiri pesta pernikahan itu.

Kalau saja bukan karena tawaran menggiurkan yang diberi Pak Andi, aku tidak perlu sepusing ini memikirkan Ranggih. Oh... bukan, aku pusing bukan karena memikirkannya, tetapi karena aku membutuhkannya.

Oke, artinya memang aku sekarang memikirkannya.

Ck, seandainya waktu itu Ranggih tidak sembarangan mengaku dirinya sebagai pacarku, mungkin semua tidak akan jadi seribet ini. Walau ... ya, pasti Pak Andi masih terus berusaha mendekatiku.

Nimas dan Raline pernah memberiku usul untuk menemui istri Pak Andi, meminta bantuan mereka untuk bisa lepas dari Pak Andi. Namun aku nggak yakin cara itu akan berhasil. Karena dari desas-desus yang kudengar, kedua istri Pak Andi memang tidak peduli suami mereka akan menikah lagi atau tidak, selama tidak mengganggu apa yang menjadi hak mereka. Pak Andi juga sudah mengatakannya padaku waktu itu.

"Datangi, Mbak. Kali aja Kak Ranggih lagi sibuk bikin konten makanya nggak sempat balas chat lo?"

"Sesibuk itu menurut lo, Yas? Yang gue tahu, lima menit lalu, dia online, tapi nggak bales chat gue," kataku menunjuk last seen whatsapp Ranggih.

"Lo bikin salah apa emangnya, Mbak?" tanyanya mulai kepo. "Gue emang nggak kenal Kak Ranggih sih, tapi kelakuannya ini persis Leon kalau ngambek sama gue."

"Gue nggak merasa bikin salah. Oke, kita memang sempat debat kemarin itu. Gue cuma memuji adek dia yang ternyata salah satu author favorit gue."

"Nggak mungkin juga kalau dia cemburu sama adiknya sendiri," gumam Yasmine.

Eh, cemburu? Kayaknya enggak. "Jelas bukanlah. Kayaknya dia cuma nggak terima karena di mata gue, adeknya lebih famous daripada dia."

Lalu aku menceritakan awal mula perdebatan kami. Masalah jumlah followers Ranggih di sosial media yang jauh lebih banyak dibanding adiknya.

"Ya elo sih, Mbak. Egonya Kak Ranggih pasti terluka lah. Gila aja itu perbandingannya jauh lho."

"Ya tapi kan yang gue puji itu adeknya. Adek kandung. Masa dia nggak terima? Lagian kan mereka udah unggul di bidang masing-masing. Bukan salah gue dong kalau gue lebih kenal adeknya daripada dia? Dianya aja yang kelewat egois, nggak mau kalah pamor sama adik sendiri."

"Jadi gimana, Mbak? Lo datang sendiri ntar malam? Atau mending nggak usah datang aja menurut gue."

"Gue juga mikir gitu sih. Tapi itu malah membenarkan asumsi Pak Andi kalau gue memang nggak pacaran sama Ranggih, Yas."

Yasmine meletakkan sendok, menyudahi sarapan paginya. Mengambil tisu, ia bersihkan sisa makanan di sekitar mulutnya. Mengaktifkan kamera ponsel untuk mengecek tidak ada sisa cabe atau apa pun itu menempel di giginya. "Mending lo cari pacar beneran deh, Mbak. Mau gue rekomen temannya Leon. Kalau nggak salah Leon pernah cerita ada seniornya yang jomlo, Mbak. Umur tiga puluh satu, tiga tahun di atas lo. Tapi duda, Mbak. Bukan duda cerai kok, istrinya meninggal karena pendarahan. Anaknya juga nggak selamat. Kasihan, Mbak. Tapi baik orangnya, gue pernah ketemu beberapa kali di kantor Leon."

"Gue lagi nggak kepikiran nyari pacar, Yas."

"Maunya langsung calon suami kan? Mas Galen kandidat yang tepat menurut gue. Usia matang, baik, cakep. Ya walau lebih cakep Kak Ranggih sih."

Harus banget ngebandinginnya sama Ranggih apa?

***

Sepanjang hari ini, Diza terus menebar senyum. Walau memang setiap hari kami diharuskan tersenyum ramah saat berhadapan dengan customer, tapi senyum Diza berbeda dari biasa. Alasannya siapa lagi kalau bukan karena Mas Kahfi yang sepertinya mulai menunjukkan aksinya mendekati Diza.

(Not) A Big Deal (Selesai ✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang