Benda Paling Penting di Dunia

12.8K 1.6K 44
                                    

Kekuatan sosial media memang sangat luar biasa di era milenial ini. Segala informasi sangat mudah diperoleh. Buktinya cukup dengan beberapa kali klik, aku berhasil mendapat alamat tempat gym yang katanya dikelola oleh Ranji Bertapa.

Eh.. siapa sih namanya?

Ya, pokoknya si RB itu lah.

Omongannya mengenai jumlah subscriber-nya yang banyak itu bukan cuma bualan saja. Subscriber-nya memang cukup banyak, bahkan termasuk banyak untuk kalangan non-artis seperti dia.

"Selamat siang, Mbak. Ada yang bisa dibantu?"

Seorang gadis muda menyapaku. Usianya mungkin baru memasuki angka dua puluhan. Gaya pakaiannya sangat khas anak gym. Super ketat dan menampakkan perut ratanya yamg menjadi idaman kebanyakan perempuan di luar sana.

"Saya mau bertemu Mas Randi."

"Mas Randi?" Gadis itu bertanya bingung.

"Ah, itu. Maksud saya pemilik tempat ini."

"Kak Ranggih?" Kenapa semua orang memanggilnya kakak? Seingatku, Yasmine juga menyebutnya kakak tadi. "Kak Ranggih ada di lantai tiga, Mbak. Dari sini Mbak lurus, nanti ada belokan, Mbak belok ke kiri, di situ ada lift-"

"Tangga di mana ya, Mbak? Saya lebih suka naik tangga."

Gadis tersebut menunjukkan letak tangga padaku. Lalu pamit usai membantuku.

Suasana di lantai dasar cenderung tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa orang berseliweran. Ada beberapa pemuda duduk dengan sebatang rokok terselip di sela jemarinya. Ruangan di lantai dasar atau yang biasa disebut lobby cukup terbuka. Sepertinya tidak ada pendingin ruangan yang dipasang, makanya diperbolehkan merokok di sana.

Berbeda dengan lantai tiga yang sedang kutapaki ini. Jauh lebih banyak orang di lantai ini. Suhu ruangannya juga berbeda. Di sini lebih adem. Karena ada lebih dari satu pendingin ruangan yang dipasang di beberapa sisi.

Aku menemukannya, tengah bersama seorang gadis muda yang mengenakan pakaian gym berwarna baby pink. Rambut panjangnya dikuncir tinggi ke atas. Posisi gadis itu membelakangi orang yang kucari. Ah.. sepertinya Randi sedang mengajari gadis muda itu.

"Eh, sorry, Mbak." Seseorang menabrakku dengan bonus menumpahkan segelas cairan yang sepertinya jus buah naga ke pakaianku.

Dia kebingungan, berulang kali meminta maaf hingga pengunjung lain mengalihkan atensi pada kami berdua. Termasuk Randi dan gadis yang bersamanya tadi. "Kirana?"

"Kak Ranggih kenal sama Mbak ini? Duh, maaf, Kak. Gue ceroboh banget, nggak lihat ada orang di depan."

"Gue juga salah tadi, nggak merhatiin kalau ada yang jalan ke arah gue bawa minuman," ujarku.

"Ya udah, Sin. Lo panggilin Liza, suruh bersihin lantainya. Kirana, lo ikut gue sebentar."

"Mau ngapain?" tanyaku was was.

"Ganti baju lo lah. Gue ada beberapa kaus oblong yang bisa lo pake. Entar biar baju lo di-laundry di toko gue."

Dia punya usaha laundry juga? Selain mengelola tempat gym yang cukup besar ini, menjadi youtuber, dia juga memiliki usaha laundry? Apa masih ada lagi selain itu?

"Woy... malah bengong. Ayo!"

Tanpa menunggu responsku, dia segera menggenggam tanganku, membawaku keluar dari ruangan ini menuju tempat yang katanya adalah ruang istirahat pribadinya.

Untuk ukuran seorang cowok, ruangan ini terkesan rapi. Malah lebih rapi dibanding kamarku. Ada kasur berukuran tiga kaki di sana, lemari tiga pintu berwarna putih dengan garis-garis hitam sebagai pemanis. Sebuah meja dan kursi dengan seperangkat alat komputer di atasnya. Lemari pendingin berukuran kecil dan dua buah sofa untuk menampung tamu.

"Nih, lo bisa pake kaus ini sementara. Di sebelah kiri sana ada kamar mandi. Lo ganti di sana, dan kasih gue baju kotor lo."

"Nggak perlu. Gue cuma ada keperluan sebentar sama lo."

"Tapi gue risi lihat baju lo basah kayak gitu." Dia melirik sepersekian detik, lalu kembali memalingkan muka. "Lo nggak nyadar, jus yang dibawa Sinta numpahi baju lo di bagian mana?"

Refleks aku mengamati bajuku. Ah.., sial. Ternyata ini alasan si... siapa sih namanya tadi?

"Nama lo siapa sih?"

Secepat kilat dia menoleh, matanya nyaris keluar melihat ke arahku. "Lo nggak tahu nama gue? Lo serius nggak kenal siapa gue?"

"Tinggal jawab aja, astaga..." Aku mengambil kaus hitam yang tadi ia berikan. Menutupi bajuku yang basah karena tumpahan jus yang dibawa gadis tadi. Sial, kenapa posisinya harus di bagian dada sih? Dan kenapa juga aku tadi milih baju yang tipis kayak gini. "Gue ganti baju dulu."

Beruntung kaus yang dipinjamkan padaku ukurannya cukup besar. Please, jangan bayangkan badanku seperti model atau artis-artis korea yang banyak dijadikan body goals oleh kaum hawa. Aku tidak terlalu gemuk sebenarnya. Dengan tinggi badan 168 cm dan berat badan 62 kg, sebenarnya masih terhitung normal berdasarkan indeks massa tubuh.

"Baju gue nggak perlu lo laundry-in, entar gue cuci di rumah aja."

Pria itu duduk di sofa sambil memainkan ponsel. Baru menyadari kalau aku sudah selesai mengganti bajuku setelah aku berbicara padanya. "Nggak papa, sini biar dibersihkan aja. Nggak lama kok. Lo bisa tunggu."

"Gue nggak mau ngerepotin. Gue ke sini cuma mau balikin uang lo-"

"Tapi gue nggak butuh uang lo itu, Kirana.."

Dia ingat namaku. Tapi kenapa sulit banget mengingat namanya yang..

"Kita tidak dalam hubungan di mana lo boleh membayar belanjaan gue tanpa gue merasa berhutang sama lo. Bahkan kita tidak saling mengenal."

"Setelah ini menjadi pertemuan kita yang keempat kalinya dalam satu bulan, lo masih bilang kita tidak saling mengenal?"

"Jelas kita seperti itu. Lo hanya sebatas tahu nama gue, begitu pun gue yang cuma tahu siapa lo. Jadi gue minta lo terima kembali uang lo, lalu urusan kita selesai. Okey, kecuali kaus lo yang terpaksa gue pinjam ini."

Ekspresi wajahnya datar, sama sekali tak terbaca. Tak lama kemudian ponselnya berbunyi. Dia berbicara sebentar dengan si penelepon sambil sesekali menoleh padaku. "Memangnya berapa jumlah utang yang mau lo bayar ke gue?"

"Empat ratus.. ah, gue lupa berapa. Gue bayar lima ratus ribu. Gue genapin jadi lima ratus, anggap aja sebagai bunga atas pinjaman yang lo kasih ke gue."

"Gue udah bilang dari awal nggak mau nerima duit lo kan? Jadi kenapa malah ditambah bunga?"

"Ayolah, Ranggih."

Dia malah tersenyum. "Ternyata lo ingat nama gue." Oh, jadi namanya Ranggih. Oke. "Struk belanja waktu itu masih lo simpan?"

Struk belanja? Tentu saja aku sudah membuangnya. Aku tidak sekurangkerjaan itu sampai memgumpulkan struk belanja. Setelah mengecek barang belanjaanku sama dengan yang tertulis di struk, aku sudah pasti akan membuangnya ke tempat sampah.

"Bunga termasuk riba. Gue nggak mau menerimanya. So, gue cuma mau menerima uang lo sesuai dengan jumlah belanjaan lo waktu itu. Nggak kurang dan nggak lebih. Lo boleh datang menemui gue untuk bayar utang lo, dengan syarat lo harus bawa struk belanjaan lo waktu itu. Sampai di sini, paham?"

Kenapa dia malah jadi mendikteku seperti ini?

"Baiklah, sudah tidak ada lagi yang mau dibicarakan Nona Kirana Wulandari? Kalau begitu, saya pamit undur diri."

Kali ini aku merasa struk belanja adalah benda paling penting di dunia.

To be continued.

Update setiap Rabu dan Sabtu aja ya. Tadinya mau ku-update semua sampe part terakhir yg aku publish sebelum di-unpub. Tapi ketentuannya, kalau bisa update-annya harus rutin. Jadi.. stok sabarnya harap ditambah lebih banyak ya.

Sayang kalian :*

Sabtu, 21 September 2019

Republish : Sabtu, 7 Maret 2020

(Not) A Big Deal (Selesai ✔)Where stories live. Discover now