Pertemuan Ketiga

14.7K 1.9K 43
                                    

"Kamu menghindari saya, Kirana?"

Menurut lo? "Bukan begitu, Pak Andi. Kebijakan kerja di bank tempat saya bekerja, menerapkan aturan bergantian saat istirahat. Jadi saya hanya punya waktu untuk makan siang dan beribadah sebentar. Lalu saya harus kembali bekerja setelahnya."

"Kenapa kamu tidak bawa makan siang kamu tadi? Saya bisa temani kamu mengobrol sambil kamu menikmati makan siangmu."

Tolonglah. Bagaimana caraku agar bisa lepas dari pria satu ini? "Pak Andi, saya sudah berulang kali meminta Bapak untuk berhenti bersikap seperti ini pada saya."

"Memangnya kenapa? Toh kamu belum punya pasangan kan?"

Ya tapi lo kan udah punya dua bini! Astaga..

"Saya tidak mau jadi bahan pembicaraan orang-orang. Saya tidak mau disebut pelakor, Pak. Bapak sudah beristri."

"Bukankah dalam islam laki-laki diperbolehkan memiliki empat orang istri? Saya baru punya dua."

Ini salah satu dari sekian banyak alasan yang membuatku tidak menyukai pengusaha properti ini. Sudah punya dua istri dia bilang baru? Lalu apa kabar kalau aku dijadikannya yang ketiga? Pastilah dia masih mau mencari yang keempat untuk menggenapi batas maksimal tersebut. "Pak Andi, saya-"

"Saya bisa berlaku adil, kalau-kalau kamu takut. Kamu bisa tanya pada kedua istri saya. Saya selalu memperlakukan mereka dengan adil, membagi sesuatu dengan jumlah yang sama, dan mereka juga tidak keberatan jika saya ingin menikah lagi."

Aku pun tidak keberatan atau lebih tepatnya tidak peduli dia mau menikah lagi untuk yang keberapa kalinya. Tapi bukan aku calonnya.

"Saya tegaskan sekali lagi sama Bapak. Tolong jauhi saya. Saya-"

"Kamu belum punya pasangan kan?"

Ck, kenapa di saat-saat seperti ini aku belum punya pacar sih? "Saya.."

"Saya hanya akan berhenti mendekati kamu, jika kamu memang sudah menjadi milik orang lain. Selama kamu masih sendiri, belum terikat hubungan dengan laki-laki lain, saya kira sah sah saja jika saya mendekati kamu dan menginginkan kamu menjadi milik saya."

Astaga.. Itu otak yang nempel di kepalanya pabrikan mana sih? Bebal banget. Sumpah.

Semakin lama meladeni pria satu ini, takutnya aku bisa ketularan virus setengah gila-nya itu. "Maaf, Pak Andi. Waktu istirahat saya sudah hampir habis. Permisi."

Untung kali ini dia tidak sebebal sebelumnya. Walau kalimat perpisahannya untuk hari ini masih tetap menjengkelkan.

"Saya yakin suatu hari nanti kamu akan jadi istri saya."

***

Entah ada angin apa, tiba-tiba saja Raline memintaku menemaninya belanja malam ini. Seharusnya aku nggak perlu merasa aneh. Ibu satu anak itu memang sudah aneh sejak dulu. Sejak dia merasa terlahir sebagai gadis paling cantik dan populer yang digilai para adam, sampai sudah menjadi seorang ibu dari gadis kecil yang cantik dan manis, keanehan sifatnya tidak juga luntur.

Terkadang, aku merasa iri dengan garis hidup sahabatku itu. Menjadi primadona sekolah sejak remaja, ayahnya seorang pejabat pemerintahan yang membuatnya hidup berkecukupan, cenderung berlebih malah. Bertemu jodoh dengan pria baik-baik, yang tidak pernah menjalin hubungan dengan wanita manapun sebelum bertemu dengannya, walau usia suami Raline lebih tua -dibanding Randa yang seumuran dengan kami-, tapi kelihatan banget kalau Pak Dosen yang dulu kata Raline nyebelin banget itu, sangat menyayangi Raline apa adanya.

"Kalau gitu lo harus segera punya gandengan, Ran."

Aku sudah menceritakan tentang apa yang terjadi siang tadi di bank pada Raline. Mengenai Pak Andi yang sangat gencar mendekatiku, Raline dan Nimas sudah lama tahu. "Nih kan gue gandengan sama lo," ujarku menggandeng tangan Raline, yang langsung ditepisnya dengan sedikit kasar.

(Not) A Big Deal (Selesai ✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang