Chapter Six

52.4K 1.3K 63
                                    

Tok tok tok.

Sayup-sayup terdengar suara pintu kamarku diketuk. Aku berusaha menajamkan pendengaran. Tak ada suara. Mungkin hanya halusinasiku saja.

Tok tok tok.

"Dhan...."

Bunyi ketukan serta panggilan terdengar lagi saat aku mulai terbuai kembali ke alam bawah sadar. Rasanya enggan setengah mati untuk sekedar menyahuti orang yang ada di balik pintu. Kepalaku pusing saat berusaha memfokuskan penglihatan. Badanku ngilu. Kucoba menelan ludah. Percuma. Tenggorokanku segersang Gurun Gobi.

"Dhani, buka pintu. Temen lo jenguk nih." Suara ngeselin dari kakakku, Dimi, membuat kepalaku seakan mau pecah.

Di keadaanku yang seperti sekarang, rasanya memang mustahil untuk mengategorikan suara apapun terdengar lembut dan merdu. Bahkan suara angin sekalipun. Setengah hati kusahuti kakakku yang sedang mengambil cuti kerja beberapa hari setelah kepulangannya dari perjalanan dinas.

"Buka aja, nggak dikunci." Jawabku lemah. Untuk menghasilkan kalimat sesederhana itu saja menguras seluruh energi yang kumiliki.

Tak lama, pintu kamar terbuka. Menampakkan wajah-wajah yang selama tiga hari ini tidak kulihat. Silla dan Agil mendekati ranjangku. Setelah itu pintu ditutup kembali.

"Gimana keadaan lo, Dhan? Udah sehatan?" Silla membuka suara pertama kali. Ia duduk di sisi ranjang dan menaruh punggung tangannya di keningku untuk mengecek suhu tubuh.

"Lumayan." Jawabku singkat.

"Udah minum obat?" Gantian Agil bertanya.

"Hmm..."

Ada gitu, Gil obat buat sakit hati?

"Kita ganggu istirahat lo ya, Dhan? Apa kita pulang aja?" Silla menatapku prihatin. Tangannya menggenggam tanganku yang suhunya sedikit berbeda dari biasanya.

Ha! Menurut ngana?

"Nggak pa-pa kok." Kupaksakan senyum palsu kepadanya.

"Dahsyat juga ya. Ternyata pacar ngilang bisa bikin lo tumbang gini. Sekarang mendingan lo cari mangsa baru sana dari pada nungguin cowok nggak jelas kayak gitu. Rugi banget tau nggak mikirin orang yang nggak mikirin kita." Celetuk Agil semena-mena.

Aduh...

Jleb banget sih?

Aku meringis, mataku mulai memanas dan perih karena air mata yang sebentar lagi menggenang. Sedangkan mata Silla seperti mau keluar dari rongganya karena memelototi Agil.

Tiga hari ini aku memang sakit. Penyebabnya? Virus malarindu tropikangen.

Pernah dengar lirik lagu yang mengatakan lebih baik sakit gigi daripada sakit hati?

Nah. Seperti itulah tepatnya harapanku sekarang. Mendingan aku sakit gigi daripada sakit hati. Soalnya sakit gigi bisa sembuh dengan obat dokter. Lah sakit hati? Obatnya apa? Malah parahnya, dari sakit hati bisa merembet ke sakit fisik.

Tubuhku melemah karena terlalu stress memikirkan masalah percintaan yang nasibnya semakin tidak jelas. Sekarang sudah 3 bulan lebih Pram pergi.

Silahkan saja sebut aku bodoh, karena berharap ia akan berinisiatif menghubungiku duluan. Siang malam menunggu kontak darinya seperti orang cacingan. Hasilnya? Belum juga layar ponselku menerakan namanya.

Fakta menyakitkan yang kualami betul-betul meremukkan hati. Pram seakan tenggelam dalam dunianya. Tanpa sekalipun peduli padaku. Sama sekali mengindahkanku. Oleh sebab itu keadaan psikisku naik turun. Fisikku drop. Sebab terlalu sering berspekulasi negatif berkaitan dengan ketidakpeduliannya terhadapku. Selalu menangis setiap waktu, karena menyimpan rindu dan rasa perih yang menyayat hati karena diacuhkan. Tidak nafsu makan dan minum. Susah tidur setiap malam. Malas beraktifitas. Sering melamun. Jarang ke kampus. Menutup diri dari dunia.

Trapped by YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang