Chapter Eleven

62.7K 1.7K 191
                                    

Gumpalan awan kelabu yang menandakan air hujan akan membasahi daratan, kontan menimbulkan keresahan. Jelas, Jakarta tak mungkin diguyur hujan kala memasuki bulan kemarau.Tetapi, pemanasan global membuat semua yang tidak mungkin menjadi mungkin, kan? Jadi, cuaca zaman sekarang kadang tidak ada kaitannya lagi dengan bulan.

Salah satu hal termustahil yang berubah status dalam sekejap juga dialami Dhania beberapa waktu ini. Bisa dikatakan ia mendapat durian runtuh! Kalau Dimitri "memaksanya" untuk berangkat ke kantor bersama bukan termasuk kategori mendapat durian runtuh, entah sebutan apa lagi yang sekiranya cocok untuk itu. So, tanpa banyak babibu, Dhania menyetujuinya dengan antusias meskipun perubahan sikap Dimitri cukup mengherankan.

Tetapi, ada konsekuensi yang merepotkan.

Setiap kali mereka sampai di parkiran khusus direksi Dhania harus jeli memeriksa sekitar, memastikan tidak ada karyawan Aquila Enterprise yang melihatnya keluar dari mobil Dimitri untuk mencegah kemungkinan dilempari high heels oleh para fans kakaknya kalau sampai ketahuan ia berangkat bersamanya.

"Nanti pulangnya sms gue. Kalo gue masih ada kerjaan lewat dari jam kantor, tunggu dulu aja. Oke?" Instruksi Dimitri kepada Dhania.

"Sip. Gue keluar duluan ya. See you."

Dhania keluar mobil dan langsung masuk gedung perkantoran. Hari masih terlalu pagi, masih belum begitu banyak karyawan yang menggunakan lift sehingga tidak butuh waktu lama untuknya mengantri di depan boks listrik itu menuju ruangan.

Saat melewati kubikal Agil, ia mengintip sekilas. Masih kosong. Dengan asumsi yang nyaris sama, Dhania iseng menengok kubikal Silla. Ajaibnya, Silla sudah duduk manis di depan meja dan tangannya menggenggam gelas karton Starbucks yang masih mengepulkan asap panas.

Aneh. Sejak kapan Silla doyan kopi?

"Coffee drinker lo sekarang?" Ledek Dhania, bersandar di pembatas kubikal.

Silla mendongakkan kepalanya, memeriksa tersangka utama yang dengan sengaja mengejutkannya. "Nggak usah pake ngagetin kali, Dhan!"

"Lebay lo... Suara bidadari gini masa bikin kaget sih?" Ujar Dhania membela diri. Kini ia menduduki sisi meja Silla.

"Suara bidadari neraka lebih tepatnya." Cibir Silla. "Tumben kesini, kangen ya sama Madam Silla?"

"Sebenernya sih enggak. Tapi, buat temen yaaa... apa boleh buat lah."

"Asem! Eh eh... entar makan siang bareng dong. Bosen gue makan berdua Agil mulu. Ngerusak pasaran gue lama-lama."

"Siapa suruh maennya di pasar?" Celetuk Dhania asal yang disambut lemparan pensil dari Silla.

"Diusahain ya, Sil. Lo kan tau kerjaan gue gimana. Kalo Mbak Sarah sibuk ya pasti gue telat makan karna bantuin."

"Halah, kancut! Cuma bengong aja pake bilang bantuin. Pokoknya entar makan bareng, nggak mau tau! Masa gue geret Agil mulu?" Keluh Silla.

"Setan bokis!" Tiba-tiba sosok yang menjadi objek cemoohan Silla datang dan bergabung dengan mereka.

"Justru sekarang gue malah lebih sering makan bareng karyawan laen ye, Mak Lampir! Kalo gue samperin pas jam makan siang, lo nya udah lenyap nggak tau kemana." Protes Agil.

"Kemaren-kemaren kan bareng kaleee..." Silla membela diri seraya memeletkan lidah.

"Ya kemarennya kapan? Jaman jebot aja! Trus sekarang lo makannya dimana sih? Mata gue ngider seantero kantin tapi ga nemu bibir monyong lo!"

"Gue keluar kantor. Tempat makan kan nggak cuma kantin doang."

"Gaya lo sok bener aja pake makan diluar. Giliran pulang aja nebeng gue, ngakunya ongkos tipis. Sue'!"

Trapped by YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang