Chapter One

144K 1.7K 11
                                    

My introduction:

"Heyhoo, watty users..."

I am new here. So glad to join you all in this HUGE book world ever! Gue excited amat sangat ketika bisa baca sekaligus terinspirasi dengan karya kalian yang seru&menarik.

Maka dari itu, dengan urat malu yang setipis saringan tahu, gue (sok) beraniin diri untuk nulis suatu cerita dengan genre yang, they said, no women can live without. Love story. Dan gue terbuka untuk nerima setiap komen, saran ataupun kritik dari kalian yang udah sudi buang waktunya buat baca cerita ini. :-D

Untuk bab perdana emang sengaja gue bikin pendek untuk ngeliat responnya dulu. Jadi jangan keburu protes atau ngeluh kependekan ya. Cerita ini ada unsur dewasanya, jadi buat kalian yang belum cukup umur tolong bijak dalam memutuskan apakah harus go on atau let go.

Semua yang ada dalam cerita, murni berasal dari pemikiran gue sendiri. So, sorry if there's any similarities for the characters, plot or setting. At the end, please vote if you like. Enjoy! ^_^

**************************************

Dhania

"Ehmm...ah..aahh....sayaang, iyaa disitu, aahh..nikmat banget, sayang. Pelan-pelan.."

Erangan yang lolos dari mulutku memang tidak dapat kutahan-tahan lagi. Bagaimanapun aku mencoba meredamnya, baik itu menutupi dengan tangan ataupun bantal tetap sama saja, tidak banyak membantu. Suaraku akan tetap terdengar. Mungkin orang yang mendengarnya akan bertanya-tanya apa gerangan kegiatanku sehingga mengeluarkan suara desahan seperti itu. Mungkin kalian juga.

But stop! Tahan dulu, ini bukanlah seperti yang kalian bayangkan. Jika kalian berpikir bahwa aku melakukan "itu", kalian salah besar. Pijatan pacarku memang selalu bisa membuatku menghasilkan suara yang sama seperti pasutri yang beradegan panas di ranjang. Memalukan memang. Tapi mau bagaimana lagi. Begitulah adanya. Aku butuh tangan terampilnya untuk mengendurkan otot-ototku yang kaku setelah seharian membersihkan rumah. Orang tuaku sedang menjenguk eyang yang sedang dirawat di Rumah Sakit Surabaya. Jadi, pekerjaan rumah dilimpahkan padaku yang kebetulan sedang menikmati masa libur kuliah. Setelah berkutat dengan pekerjaan rumah tangga, kebetulan pacarku berkunjung ke rumah. Rencananya sih hanya menemaniku sebentar, namun dia ketiban sial karena kutodong untuk memijatku yang kelelahan. Tawa setan kusimpan rapat dalam hati.

Pramasta Andrew Wijaya. Nama itulah yang sudah 1 tahun ini mengisi hatiku. Lelaki keturunan Jawa Kanada yang berusia 1 tahun diatasku. Umurnya 21 tahun sedangkan aku 20. Ia berkuliah di kampus yang sama denganku namun berbeda jurusan. Kami bertemu saat tak sengaja mengambil mata kuliah umum yang sama. Bedanya, dia sedang mengulang mata kuliah tersebut sedangkan aku memang wajib mengambilnya di semester itu. Awalnya kami tak pernah bertegur sapa. Tetapi, di bulan November yang berhujan kala itu, aku terpaksa harus berurusan dengannya karena sebuah proyek penelitian. Dari sanalah kedekatan kami dimulai. Dan sekarang sudah satu tahun berlalu sejak Pram, begitu ia biasa dipanggil, menyatakan cinta kepadaku. Yak, cukup sudah sejarahku dengannya kuceritakan. Aku sedang sibuk menikmati surga dunia kaum pekerja rumah tangga sekarang.

"Dibagian sini masih pegel, sayang? Apa udah mendingan?" Tanya Pram dengan begitu perhatian tanpa sedikit pun mengurangi pijatannya di betisku.

"Udah nggak terlalu pegel sekarang. Makasih ya, sayang. Kamu mau apa buat imbalannya? Hehehe...." Jawabku sambil tetap memejamkan mata menerima treatment Pram yang hampir selesai. Dia tak langsung menjawabku. God, terberkatilah ia dan tangannya itu!

"Ehm, boleh terserah aku nih? Kalo aku minta apa aja kamu nggak bakal nolak?"

Tangan Pram sekarang mengusap dan mengelus kakiku sedikit ke atas. Aku, yang tadinya terlena dengan pijatan Pram, serta-merta tersadar akan letak sentuhannya yang sekarang telah berbeda dari yang semula. Aku merinding dan tidak fokus dengan pertanyaannya barusan. Memangnya apa yang harus kujawab, sih? Ahh, damn! Tangan itu melakukan sihirnya lagi. Jemari Pram dengan perlahan mulai naik ke pahaku yang mudah dijangkau karena celana pendek yang kugunakan. Darahku berdesir. Pening menyergap kepalaku karena tindakannya yang berbahaya itu. Jantungku mau copot rasanya. Well, apa yang dia tanya tadi?

Trapped by YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang