The Almost Perfect Man (Rama's Part)

8 0 0
                                    

Waktu itu hujan deras. Aku baru saja turun dari angkutan umum dan berteduh di sebuah halte. Aku tidak membawa payung. Aku tidak pernah membawa payung. Tetapi aku harus cepat sampai kampus karena hari ini aku ada kuis. Kulihat di sekelilingku tidak ada orang yang bisa kupinjami payung. Bahkan anak kecil yang biasanya berkeliaran untuk ojek payung pun tidak terlihat.

Nekat, akhirnya aku berlari dan menerobos hujan. Peduli setan dengan alergiku pada hujan yang selalu membuat badanku bentol-bentol. Jarak dari halte ke kampusku memang tidak terlalu jauh. Namun, hujan ini cukup membuat bajuku basah kuyub. Sialnya, di tengah jalan aku terpeleset.

Saat itulah, seketika hujan berhenti tepat di atas kepalaku. Aku melihat uluran tangan seseorang yang sedang memayungiku. Persis sama seperti cerita di K-Drama yang melakukan adegan slow motion, saat itu, ketika aku menerima uluran tangannya untuk bangun, aku tahu aku jatuh cinta. It was my love at first sight.

Laki-laki yang tidak kuketahui namanya itu mengantarku sampai lobi depan kampus. Aku hanya bisa mengucapkan 'Terima kasih' dan langsung berlari ke arah lift, menuju kelas.

***


Aku langsung keluar saat selesai mengerjakan kuis. Tidak kugubris ajakan temanku yang mengisyaratkan akan berkumpul seusai kelas. Aku hanya ingin segera pulang ke rumah dan berendam air panas, menghilangkan bentol-bentol di badanku.

"Rama."

Sebuah suara menghentikan langkahku. Ternyata si laki-laki berpayung tadi. Aku menghampirinya.

"Kok tahu nama gue?"

"Tadi nanya sama yang kebetulan lewat."

"Kok masih di sini?"

Ia hanya cengengesan saja.

"Ya ampun, lo ojek payung ya? Sorry...sorry gue belum bayar. Main kabur aja tadi." Kataku sambil merogoh isi tasku mencari dompet, salah tingkah.

"Bukan, saya bukan ojek payung. Tapi nggak enak rasanya kalau kita nggak memulai perkenalan dengan cara yang benar. Januar." Ucap laki-laki tersebut sambil mengulurkan tangannya.

"Rama." Balasku.

Akan ada satu masa, di mana saling bertatapan dengan lawan jenis akan membuat kalian hanya bisa senyum-senyum tertunduk seperti orang bodoh. Dan masa itu, kualami dengan Januar.

Yeah,curse me! Selama ini aku selalu menganggap bahwa cinta pada pandangan pertama hanya strategi jualan ala Hollywood. Dari Romeo and Juliet, sampai Tristan and Isolde. Ternyata, seperti ini rasanya mengalami love at first sight.

Selepas kejadian tersebut, kami lalu semakin dekat dan memutuskan untuk bersama. Kampus kami berbeda, hobi kami berbeda, bahkan umur kami pun berbeda. Aku lebih tua setahun darinya. Tetapi itu tidak mengurungkan niatnya untuk tetap bersamaku. Tidak ada yang salah dari hubungan kami selama 3 tahun, kecuali satu, Astari kembali.

Astari adalah cinta pertama Januar yang menghilang begitu saja. Lima tahun lalu, Astari pindah rumah tanpa kabar. Butuh 2 tahun bagi Januar mengobati luka, sebelum akhirnya bertemu denganku. Lalu, setelah 3 tahun kami berpacaran, dan memutuskan untuk masuk dalam tahap merencanakan hubungan yang lebih serius, pernikahan, Astari muncul dan mengacak-acak kembali hati Januar. Aku tahu, Januar masih setengah mati mencintainya. Maka ketika Januar secara gentle memintaku untuk melepaskannya, kulepaskan saja dia.

***


"I miss him." Ucapku pada Ray.

"Which one?" Ledeknya. Aku memelototinya. Ia cengengesan. "Udahlah, ngapain sih inget-inget luka lama. Kardus di lemari lo udah saatnya dibuang. Lo nggak capek selama hampir dua tahun ini pelihara luka?"

"Harus gue apain kardusnya?"

"Dibakar aja. Biar lo nggak bisa lihat-lihat lagi kalau lo lagi bego."

"I'm not ready."

"It's not your first time to burn a memory. Though is not all your memories, I guess."

Ray lalu berjalan ke arah meja rias dan menarik pelan laci yang berisi setumpuk wristband. Aku menyusulnya dan menutup kasar laci tersebut. Akhirnya, aku memutuskan untuk menuju lemari dan mengeluarkan kardus yang dari semalam sudah terbuka.

Rama+Januar

10 Mei 2010

Kotak kenanganku dengan Januar. Sekelebat aku masih mengingat beberapa isinya. Foto-foto kami, kamera polaroid pemberiannya, tiket nonton bioskop hingga kacamata ber-frame lebah yang ia berikan padaku ketika kami jalan-jalan ke Dufan. Aku tidak berani lagi membongkar kotak itu. Takut membuat kenangan lama kembali menguasai dan aku tidak memiliki kontrol diri yang kuat.

Kuputuskan untuk membawa kotak tersebut ke halaman belakang dan mengambil sebotol minyak tanah yang tersimpan di gudang. Aku menumpahkannya di atas kotak dan melemparkan sebatang korek yang baru saja kunyalakan.

***

KANIAWhere stories live. Discover now