Luka yang Mana? (Rama's Part)

10 0 0
                                    

Aku bangun keesokan paginya dengan kepala pusing dan mata sembap. Semalam, sehabis berdebat dengan Ray soal kenangan-kenanganku, aku memutuskan membuka kardus yang sudah tersimpan lama di dalam lemari. Ada dua kardus, dan keduanya sama-sama menyimpan luka yang dalam. Kubereskan sisa barang-barang yang tercecer keluar dan memasukkannya kembali dalam kardus dengan label yang sesuai. Dari balik selimut, aku melihat Ray menyeringai mengejek.

Aku tidak menggubris ejekan wajah Ray. Berjalan menuju cermin di meja riasku, aku sengaja berlama-lama menatap wajah kuyu tanpa semangat pagi ini.

"Hari ini lo mau jadi siapa?" Ray bertanya sambil keluar dari selimut tebal yang semalam membungkus kami berdua.

"Gue nggak tahu kalau semalam lo nginep,"

"Mana bisa gue ninggalin lo yang tidur sesegukan gara-gara inget laki-laki yang udah ninggalin lo."

"Nangis itu terapi buat gue, Moron! Lo kapan ngertinya sih?" Aku membela diri dengan nada ketus. 

Ray lalu berjalan menghampiriku, berdiri dan bersandar pada meja, namun membelakangi cermin.

"Pertanyaan gue belom dijawab. Lo mau jadi siapa hari ini?"

"Reinkarnasinya Margaret Thatcher."

Laki-laki itu hanya mendengus, sambil menggelengkan kepalanya. Sesaat, ia melihatku dengan pandangan merendahkan.

"Perempuan tangan besi nggak mungkin bego buka-buka luka lama, Ram. Wait a minute, you opened all your old wounds." Katanya dengan nada penekanan.

Aku lalu menarik salah satu laci di meja riasku. Dalam laci itu, tersusun rapi wristband dengan berbagai ukuran dan warna. Pelan, Ray menutup laci tersebut. Ia lalu memandangku, lalu matanya beralih pada kardus yang masih terbuka, secara bergantian. Tanpa disuruh pun aku tahu, bahwa ia memintaku untuk menutup kembali semua kenangan sialan yang aku dapat dari dua orang yang berbeda.

"Your memories will kill you."

"Everyone will die, Ray." Kesal, aku melangkah menuju kamar mandi dan membanting pintu.

***


"Rama, pulang kantor nanti temenin gue makan, mau nggak?"

"No."

Yang sedang mengajakku untuk makan malam dengannya adalah Baron. Dia adalah salah satu fotografer di kantorku.

"As always, lo selalu menolak."

"Gue kan jarang makan malam, Bar." Ujarku beralasan.

"Gue kan cuma minta ditemenin, bukan nyuruh lo buat ikut makan." Ia masih berusaha mendapatkan kata 'Iya' dariku.

"He likes you, a lot." Tiba-tiba saja Ray muncul di sampingku.

"Masa?" Tanyaku pada Ray.

"Beneran Rama, kalau lo nggak mau makan, gue cuma minta ditemenin kok."

"No, I'm not talking to you." Ucapku pada Baron.

"Hmm, mulai deh, asyik sendiri sama dunianya." Sindirnya. 

Baron kemudian melanjutkan pekerjaannya mengedit foto, dan Ray, sukses pergi menghilang. Ia selalu berhasil membuatku seperti bodoh, bicara sendirian.

KANIAWhere stories live. Discover now