Nova's Wedding (Rama's Part)

6 0 0
                                    


Zen menjemputku jam setengah tujuh malam. Gedung tempat Nova mengadakan pernikahan memang tidak terlalu jauh dari rumahku. Paling hanya memakan waktu 30 menit untuk ke sana. Sesampainya di parkiran gedung, Zen membukakan pintu mobil untukku.

"Wow, looks like someone turned into a gentleman tonight." Aku menggoda Zen.

"Rama, look at your shoes." Zen melirik ke arah sepatu high heels 7 senti yang kupakai malam ini. Sepatu yang hanya akan kupakai jika memang terpaksa, seperti malam ini. "Belasan tahun gue kenal lo, pakai sepatu model beginian bisa jadi sejarah dalam rekor hidup lo." Ia kini meledek. Aku hanya mengepalkan tanganku dan berpura-pura akan meninjunya. Tapi Zen dengan sigap menangkap tanganku, membuka kepalan tangannya dan menggandenganya.

Aku diam melihat perlakuan Zen. Sejak ia mengungkapkan perasaannya padaku, ia terlihat agak berubah. Pada malam ia pulang dari rumahku saat itu, ia mencium keningku saat aku mengantarnya ke mobil. Tadi, ketika ia menjemputku, pipi kananku dikecupnya. Dan sekarang, ia menggandeng tanganku. Aku tahu rasanya gandengan ini. Rasanya sama seperti gandengan Januar dulu. Apa penolakanku padanya belum cukup jelas?

"I smell love in the air." Goda Ray.

"I smell shit!" balasku kasar dalam bisikan.

"Rama, foto yuk." Zen mengalihkan perhatianku sambil membawaku ke salah satu spot foto untuk pasangan.

"I think is not a good idea. Lo tahu kan gue nggak pernah punya ekspresi kalau difoto." Aku bersikeras memberikan alasan.

"Rama, cuma satu kali jepret aja. Udah lama kita nggak pernah punya foto berdua."

"C'mon, Rama. Siapa tau bisa jadi koleksi untuk kardus baru lo nanti." Ray masih bersikap menyebalkan.

Aku akhirnya mengalah dengan bujukan Zen. Kami mengisi buku tamu, dan mengantri untuk sesi foto. Saat giliran kami, baik aku dan Zen sama sekali tidak mengambil property untuk menambah kelucuan foto. Kami hanya duduk di bangku yang sudah diset seperti taman. Mencoba tersenyum tipis, Zen lalu memandangku dengan tatapan hangatnya yang luar biasa tampan. Klik! Shutter kamera terdengar olehku, dan aku langsung berdiri. Tukang foto tadi langsung berdiri menghampiri kami.

"Mas sama Mbaknya, untuk fotonya diambil nanti, boleh ya. Soalnya printer-nya tiba-tiba agak ngadat. Ini nomer fotonya, nanti kalau sudah salaman sama pengantin dan makan-makan, fotonya pasti sudah dicetak."

"Oke, nggak apa-apa, Mas. Take your time." Zen yang menjawab.

Saat memasuki gedung, kami langsung melihat Tama dan Sashi. Kemarin, saat aku menyetujui untuk datang bersama Zen, aku langsung menghubungi mereka berdua untuk datang juga. Zen langsung bergabung dengan Tama dan beberapa Tama. Aku, menjauh diikuti Sashi.

Sekadar informasi, sewaktu SMA, selain bergaul denganku dan Zen, Tama punya genk sendiri bersama anak-anak skate. Dan di sekolah, Tama dan anak-anak skate ini, biang onar nomor satu.

"Kalian serasi, tahu nggak?" Sashi menodong.

"Kalian siapa? Serasi apa?" Aku balik bertanya.

"Lo sama Zen. When both of you came in, you're look like a lover, not a best friend."

"Please... you're only match with me." Ray berbisik padaku sambil melirik Sashi tajam. 

"He...looks at me like a lover. I'm not..." Aku berusaha membela diri, bahwa aku memang sudah tidak merasakan apa-apa lagi dengan Zen.

"Give him a chance. Sekarang toh dia jomblo, udah nggak sama Disty. Mungkin ajakan dia waktu itu ketemu kita, bukan sekadar untuk kasih tahu kalau dia udah putus sama Disty, tapi juga untuk bikin pengumuman nggak langsung buat lo, that he avalaibles now. Dan bikin pengumuman buat gue dan Tama, kalau dia minta didukung untuk bisa dapatin lo." Kali ini si miss drama queen memulai teorinya.

"Oh please, Sas. Gue pernah kasih kesempatan buat dia, 6 tahun tanpa jeda, tanpa saingan dan tanpa hambatan. Dan itu udah cukup. Sekarang gue udah benar-benar tahu kalau Zen cuma seorang sahabat." Aku ngotot.

"Ok, beautiful, calm down." Sashi terlihat agak bersalah karena memojokkanku. Ia lalu mengambil segelas air terdekat dan diberikannya padaku. "Gue bukan mau menekan lo. Gue cuma....yah, lo tahu kan, khawatir. Gue pikir, Zen bisa jadi salah satu option yang menguntungkan buat lo."

Aku meminum segelas air pemberian Sashi. Aku tahu, Sashi benar-benar mengkhawatirkanku. Jadi aku hanya mengangguk dan mencoba tersenyum saja padanya. Belum sempat berbicara hal lain dengan Sashi, beberapa teman SMA mendatangiku, mulai menyapa dan mengajak ngobrol. I hate this situation. Sashi perlahan mundur, memberikanku kesempatan untuk berkumpul dengan teman-temanku. Aku hanya tersenyum dan meng-'hai'-kan semua orang yang datang padaku. Mataku sibuk mencari Zen. Tiba-tiba, entah dari arah mana, Zen datang dan menggandeng tanganku.

"Rama, salaman sama Nova yuk."

"Aaaak, Zen, apa kabar? Gila lo sekarang ganteng banget. Kerja di mana? Udah punya pacar belum?"

Segala teriakan histeris untuk Zen rasanya mengelilingiku. Pertanyaan bertubi-tubi datang untuknya. Hal ini sudah bisa kuprediksi sebelumnya. Pasti Zen akan menjadi magnet tersendiri di acara kawinan seperti ini.

"Baik kok, alhamdulillah. Gue ke sini sama Rama tadi. Sekarang kami mau salaman dulu sama Nova ya. Takutnya nanti antri salamannya panjang lagi. Gue sama Rama soalnya nggak bisa lama-lama di sini."

Pekikan kaget datang dari beberapa orang. Tentu saja, mereka pasti menganggap aku seperti mendapat durian runtuh. Siapa yang sangka, anak aneh yang tidak suka berteman dengan siapa pun,Oxford berjalan, -julukanku dulu di sekolah, karena nilai bahasa Inggrisku selalu paling tinggi satu angkatan-, bekas ditolak mentah-mentah oleh Zen, kini bisa mendapatkan Zen.

"You may thank him, he saved you." Saran Ray.

"Thank you." Bisikku saat kami berjalan ke arah pelaminan.

"You're welcome." Balasnya sambil tersenyum.

Aku dan Zen menaiki pelaminan untuk bersalaman dengan Nova. Nova terlihat begitu histeris melihatku.

"Ramaaaa gue nggak nyangka lo bakal dateng di nikahan gue." Ucapnya sambil mengguncang tubuhku. Aku hanya tertawa saja seperti orang bodoh. "Lo pacaran sama Zen sekarang? Akhirnyaaa, dari SMA lo udah kejar-kejar, nyerah juga Zennya." Sambung Nova lagi. "Kapan nyusul?"

Zen hanya tersenyum saja sambil salaman dengan Nova. "Doain aja," ucap Zen pelan namun masih terdengar olehku.

"Eh, foto dong. Ini sejarah loh Rama mau dateng ke nikahan gue."

Aku, yang memang sudah mati gaya dan tidak tahu harus menimpali apa, hanya tersenyum-senyum bodoh saja. Sewaktu aku dan Zen berpose mengapit pengantin, saat itulah aku menangkap sosok yang tidak asing oleh mataku. Sosok laki-laki yang kubenci habis-habisan!!

"Rama get out, now!" Ray tepat berada di depanku dan hanya suaranya saja yang memenuhi kepalaku.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 13, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

KANIAWhere stories live. Discover now