Chapter 12: Quidditch World Cup

2.2K 231 28
                                    

"Selamat pagi, sayang." ucap laki-laki yang telah berpakaian rapi -tetapi tak formal- setelah mengecup keningnya. Ia memperhatikan istrinya membuka mata dengan perlahan dan tersenyum ketika akhirnya ia bangun dan membalasanya. Ia memang menikmati pemandangan itu. "Selamat pagi."

"Aku tunggu kau di bawah ya, Jade."

Perempuan itu mengangguk pelan. Ia masih berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk ke matanya, juga mengumpulkan jiwanya. Ia menatap seisi kamar tersebut. Masih aneh rasanya menjadi seorang istri sekaligus seorang ibu dan kehilangan teman terdekatnya. Namun, ia tak bisa berlama-lama diam dan merenungkan semuanya. Louis telah menunggunya di lantai bawah.

Tanpa menunggu lama, ia segera turun.

"Selamat pagi, mum!" sapa anak perempuan berambut gelap dan memiliki penampilan fisik yang mirip seperti Jade ketika seumurannya. Ia sedang duduk di karpet bersama kakaknya sambil mengelus-elus makhluk kecil berbulu seukuran kepalan tangan berwarna pink yang disebut Pygmy Puff. Makhluk itu adalah miniatur dari Puffskein yang memiliki tubuh cenderung besar dan wajah kecil. Tentu saja, Pygmy Puff digemari -terutama oleh anak perempuan- karena memiliki Pygmy Puff seperti memiliki sebuah boneka.

"Selamat pagi-" ia segera terhenti ketika ia lupa nama anak perempuan itu, lalu melanjutkan dengan canggung "Kalian."

"Hey mum, bisakah kau masak makanan kesukaanku sekarang? Aku merindukan masakanmu."

Jade terbelalak dengan permintaan anak laki-lakinya tersebut. Pasalnya, ia tak tahu apa-apa mengenai anak-anaknya. Nama anak perempuannya saja ia lupa, apalagi makanan kesukaannya. Bahkan ia tak pernah tahu sebelumnya. Ia benar-benar tak memiliki ide. "Dan makanan kesukaanmu adalah?"

"Fettuccine, tentu. Bagaimana mum bisa lupa? Minggu kemarin mum baru membuatkannya untukku."

"Aku juga mau, spaghetti!" seru anak perempuannya dengan semangat.

"O-okay." angguknya. Ia lalu berjalan sambil berusaha mengingat bahan-bahan untuk membuat makanan tersebut seperti yang pernah diajarkan ibunya dulu. Beruntung, ia tidak perlu membuat pastanya sendiri. Pasta instant memang sangat membantu, sehingga ia bisa selesai cukup cepat.

"Hazza, Claire, aku berangkat dulu ya." kata Louis sambil merapihkan pakaiannya. Jade yang baru saja keluar dari dapur dengan membawa dua piring di tangannya terhenti, "Mau kemana, Louis?"

"Pergi bekerja."

"Ah, father! Masa kau sudah akan pergi? Ini masih pagi. Lagipula, kau berjanji untuk liburan." keluh Claire. "Tidak bisakah kau tinggal untuk sehari ini?"

"Tidak bisa. Jika aku tidak datang, tim kami akan di diskualifikasi."

"Mum, aku tidak jadi makan. Aku hanya mau makan jika father tetap disini." gerutu anak perempuan itu.

"Claire, kau harus makan. Aku hanya akan pergi satu minggu. Jika aku memenangkan pertandingannya, aku akan mengajakmu kemanapun. "

"Tidak mau! Aku mau father liburan bersama kita sekarang."

Jade menyimpan kedua piring di tangannya di meja makan. Ia kembali ke ruang tengah dimana kedua anaknya dan suaminya berada. Ia lalu mendekati ketiganya. Mencoba mencari sebuah solusi, "Louis, tidak bisakah kau tinggal?"

Louis kini menarik napas panjang, berusaha mencari solusi. Sunyi rumah itu hingga akhirnya Louis membuka mulut. "Begini, aku tidak bisa tinggal karena pertandingan ini sangat penting. Tapi mungkin kalian ingin ikut bersamaku dan menonton pertandingannya? Tapi setelah itu aku masih harus pergi untuk satu minggu." ia menatap kedua anaknya dengan alis terangkat.

School of MagicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang