Chapter 9: The Tomlinsons

2.2K 245 41
                                    

Laki-laki itu tersenyum, lalu merangkulnya dan mengelus rambutnya sementara ia diam. Di dalam kepalanya, masih terngiang-ngiang perkataannya tadi. Ia masih berusaha menyerap dan mengartikan kata-kata 'Seorang Tommo'.

"Ayo kita pulang." ajak laki-laki itu kemudian.

"Aku pulang sendiri saja." Jade mulai berbicara lagi setelah tadi kebingungan. Tentu saja ia berbicara, ia tak mungkin pulang ke rumah bersama dengan seorang Louis Tomlinson. Itu akan menjadi sangat aneh.

"Hey, kita ini satu rumah." tegurnya, "Mengapa harus pulang sendiri?"

"Apa yang kau bicarakan?"

"Mum sepertinya sedang tidak sehat, father." ujar anak laki-laki yang memiliki banyak kemiripan fisik -terutama rambut coklat dan wajahnya- dengan laki-laki dewasa itu.

Ia mengangguk, "Kurasa begitu."

"Hey, aku ini tidak sakit!" protesnya.

"Bisakah kita pulang sekarang? Aku sudah mengantuk." pinta anak perempuan tersebut sambil menguap.

Ia mengulurkan tangannya. Anak laki-laki itu meraih tangannya, sementara yang perempuan menggenggam tangan anak laki-laki itu. Jade terbengong, tapi tak lama setelahnya tangannya ditarik dengan lembut oleh laki-laki itu. Dengan saling berpegangan tangan, terbawalah mereka ke sebuah rumah luas dan mewah yang memiliki desain elegant dengan dominasi perpaduan warna emas dan putih. Cara berpergian tersebut disebut apparate, mudah tetapi tidak bisa sembarangan.

"Selamat datang kembali ke rumah, Tuan dan Nyonya." sambut sebuah makhluk berhidung dan kuping panjang yang pakaiannya kumuh. Tingginya tak lebih dari satu meter, tubuhnya kurus kering dan matanya berukuran besar. Ya, Wickey adalah house elf atau peri rumah. Pekerjaan peri rumah tentu saja mengerjakan pekerjaan rumah tuannya. Hanya orang kaya saja yang biasanya memiliki peri rumah.

"Hey, Wickey! Apakah makan malam sudah siap?"

"Sudah, tuan." angguknya "Semuanya sudah siap di meja makan. Silahkan dinikmati."

"Aku tidak ingin makan." ujar Jade "Kalian makan saja."

"Kau harus ikut makan, Jade. Setidaknya duduk bersama, kau kan yang selalu mengingatkan agar kita sekeluarga untuk-"

"Apa katamu? Sekeluarga?" tanyanya dengan terbelalak "Keluarga?"

"Tentu sekeluarga, kau pikir aku menikahimu dan kau memiliki anak dariku itu bukan keluarga namanya?"

Jantungnya berdetak kencang, ia kini tahu maksud 'seorang Tommo' yang Louis katakan. Nama belakangnya adalah Tomlinson. Ia mendapatkan nama belakang itu karena menikah dengan Louis. Yang lebih parahnya, ia kini sudah memiliki anak. Bukan hanya satu, tapi dua.

"Mum, tidak apa-apa kan? Sebaiknya kita mulai makan." usul anak laki-laki tersebut.

"Ba-baiklah."

Dengan tatapan ketiga orang yang duduk bersamanya di meja makan, Jade pun terpaksa mengikuti makan malam itu. Ia tidak punya pilihan lain. Tidak mungkin ia pergi meninggalkan mereka, ia tak tahu jalan pulang. Selain tak tahu jalan pulang, ia juga tidak tahu harus pergi dengan cara apa. Terakhir ia menaikki sapu terbang, ia menabrak Louis dan dimarahi habis-habisan. Apparate? Ia tak tahu cara melakukannya.

"Bagaimana sekolah?"

"Sangat bagus, father. Aku memenangkan pertandingan untuk asramaku."

"Benarkah?"

"Tentu, akan sangat aneh untuk tidak memenangkan pertandingan dengan memiliki ayah seorang pemain Quidditch professional."

Louis tertawa, "Aku senang kau memiliki ambisi tinggi. Bagaimana denganmu, Claire?" pandangannya beralih kepada anak perempuan tersebut.

School of MagicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang