Invisible prison

8.6K 442 7
                                    

Sky’s POV

Wangi cream soup memasuki indra penciumanku. Seketika membuat perutku bergejolak minta di isi. Aku segera terbangun yang langsung disusul sebuah erangan pelan saat rasa sakit di perutku menghantam indra perasaku.

Secara refleks tubuhku kembali berbaring. Butuh usaha keras untuk bisa kembali terduduk di tempat tidur dengan nafas terengah – engah dan keringat bercucuran dari dahiku menahan rasa sakit yang datang tiba - tiba.

Saat ini rasa sakitnya hanya terpusat pada perutku. Memar – memar di bagian bahu, tangan dan kakiku tidak lagi terasa menyakitkan. Seandainya masih sakit pun, rasa laparku mengalahkan rasa sakitku.

Di atas meja kecil di samping tempat tidur, ada sebuah nampan lengkap dengan teko, gelas, sebuah mangkuk cream soup dan sepiring roti bawang yang sangat menggiurkan. Aku langsung menyambar nampan itu.

Perduli apa aku pada tata krama makan seperti yang selalu diajarkan mom? Rasa laparku mengalahkan segalanya untuk saat ini. Lagipula saat ini tidak ada orang disekitarku untuk melihat cara makanku.

Saking terburu – burunya aku menelan, lidahku sampai terbakar dengan panasnya sup. Hangatnya sup (eh, panas deng) langsung menjalar ke tubuhku yang sedikit menggigil. Terpujilah orang yang membawakan sup ini alih- alih bubur seperti yang sering dibawakan untuk orang sakit.

Aku benci makan bubur kalau tidak sedang sakit gigi. Kenapa pula orang sakit harus identik dengan makan bubur? Kan tidak semua orang hanya sakit saluran pencernaan.

Tidak cukup hanya sekedar sup, aku juga menggasak habis potongan roti bawang yang disediakan. Sejujurnya, semua yang sudah disediakan masih jauh dari cukup untuk memuaskan perutku. Uh, sebut aku rakus. Aku tidak perduli.

Setelah semua masuk ke dalam perut, rasa kantuk perlahan – lahan mengambil alih tubuhku. Biarkan sejenak tubuhku menikmati nikmatnya hidup seperti putri sebelum semuanya kembali seperti semula.

Tidurku nyenyak sampai pada akhirnya alam bawah sadar membawaku ke sebuah mimpi dengan diriku yang terperangkap di sebuah penjara tak kasat mata.

***

Pagi ini aku dibangunkan suara grasak –grusuk di sekelilingku. Dari sudut mataku, kulihat seorang wanita berumur di awal 30an sedang membereskan piring di atas meja di samping tempat tidurku. Kaget karena tiba – tiba ada seseorang di dalam kamarku, aku segera terbangun yang berakibat perutku langsung merintih kesakitan.

“ Ya ampun Nona! Anda baik – baik saja? Maaf! Saya tidak bermaksud untuk mengagetkan anda.” Wanita itu segera menghampiriku dengan wajah penuh kekhawatiran yang entah bagaimana kembali mengingatkanku pada mom.

Air mataku sudah mengancam mau keluar kalau saja Dane tidak tiba – tiba masuk dengan suaranya yang kelewat ceria.

“ Selamat pagi! Akhirnya putri tidur kita bangun juga.” Sapanya dengan senyum lebar.

“ Hei! Aku baru saja mengalami kecelakaan, ingat? Lagipula aku bukan putri tidur! Ini bahkan masih bisa dibilang terlalu pagi untuk menganggu tidur seseorang.” Seruku kesal sambil melirik jam dinding yang baru menunjukkan pukul setengah 7 pagi.

Dane hanya tersenyum kecil menanggapi keluhanku. “ Oke, oke! Aku mengaku salah, tuan putri. Nah, apakah kau sudah bisa jalan? Atau perlu ku gendong seperti di dongeng – dongeng?” Tanyanya sambil menyeringai.

“ Memangnya kita mau kemana? Dan berhentilah memanggilku tuan putri.”

“ Nu-uh.” Dane langsung menggeleng seperti anak kecil. Aku menaikkan alisku yang dibalasnya dengan senyuman anak kecil. “ Kau satu – satunya wanita tinggal di rumah ini, jadi tentu saja kau menjadi tuan putri.”

My Silver Winged DemonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang