Trouble Day Part 1

7 1 0
                                    

Han Se Na

Hyundai Department Store nampak ramai seperti biasa. Bahkan membludak di hari libur seperti saat ini. Aku harus berkelung dengan ratusan pengunjung lain. Mall yang terletak di jantung kota Seoul ini memang semakin menawan saja. Beberapa jajaran toko fashion pun berderet dengan anggunnya. Sebagai salah satu mahasiswa desaigner, melihat jajaran model fashion di pertokoan, bukan lagi sekedar ingin membeli tapi juga menelisik seperti apa bahan yang digunakan dan model pakaian apa yang sedang trend. Seperti sekarang, entah kenapa aku tertarik dengan setelan dress yang terpajang di depan toko fashion pakaian. Sebuah manekin nampak duduk anggun mengenakan Blue Zip Dress yang dipadukan dengan Accented Heels serta menenteng sebuah Blue Envelope Clutch. Sebuah mode pakaian untuk pesta yang sederhana tapi nampak manis dan anggun.
Aku suka model pakaian yang sederhana seperti ini. Simple but so chic. Seandainya aku tidak terpengaruh dengan White Structural Dress yang kutenteng saat ini, aku sudah akan membeli pakaian di depanku ini dan memakainya di Anniversay Party kampus nanti. Sebuah getaran di ponsel, membuatku tersadar dari kekagumanku akan pakaian di hadapanku. Aku merogoh brown purse dan mengeluarkan ponselku. Nama Song Se Kyung muncul di layar lebar ponselku.
“Yeobseo ,” sapaku sambil menempelkan ponselku ke telinga kanan.
“Neo eodiga ?”
“Ada apa?” tanyaku tanpa menjawab pertanyaan Se Kyung.
“Kau bilang mau mampir,” sahut Se Kyung di seberang saluran.
“Oh,” sahutku sambil mulai melangkah meninggalkan si Blue Zip Dress yang menawan tadi, “Aku dalam perjalanan ke Mangosix.”
“Oke. Aku tunggu.”
“Oke. Sampai ketemu nanti.”
Aku menyurukkan kembali ponsel ke dalam tas dan bergegas pergi. Mangosix adalah kafe tempat Se Kyung, teman sekelasku bekerja part time. Gadis itu adalah simbol pekerja keras. Dia punya bakat hebat dalam desaign. Aku tidak percaya, dia sanggup memunculkan ide setelan dress cantik untuk musim gugur yang berhasil mendapat nilai jackpot di ujian akhir tahun lalu.
Hampir saja aku melangkah menuruni eskalator saat dari jauh, aku mendengar suara riuh. Aku menoleh dan melihat sebuah kerumunan gadis berteriak sambil mengejar seorang pemuda bertopi dengan jaket tebal hitam. Aviator hitam menutupi bagian matanya. Dan, pemuda itu berlari menuju eskalator dimana aku baru saja melangkah menaikinya.
“Opppaa !!!”
Pemuda itu nampak kebingungan lalu kerepotan menuruni eskalator, menabaraki beberapa orang. Aku melipir ke pinggiran, menempel pada pegangan eskalator, memberi jalan pengejaran pemuda yang kuduga adalah seorang aktor, entah siapa. Hanya saja, pemuda itu justru berlari ke arah tempatku melipir dan kami bertabrakan.
Tubuh tegap tingginya langsung menghantam bahuku, membuatku kesulitan menjaga keseimbangan hingga nyaris terjatuh. Tapi, pemuda itu menahan tubuhku dan menarikku hingga setengah memeluk dan mencnegkeram bahunya.
“Ah, Joesonghamnida ... ,” lirihnya.
“Ahhh... hampir saja,” lirihku dengan wajah takut.
“Oppaaa!!!” pemuda itu menoleh ke arah para gadis yang mulai ikut menaiki eskalator kami.
Pemuda itu terdengar mendesis lelah lalu menatapku dari balik aviator-nya. Ia nampak menelisikku sejenak, seperti memeriksa keadaanku sebelum kemudian berderap turun. Tapi, entah kenapa tubuhku mengikuti pergerakannya.
“Akk!”
Pemuda itu terhenti, menatapku. Aku terdiam lalu mengangkat tanganku yang ternyata bertautan dengan tangannya. Tidak, bukan begitu. Ujung lengan jaketnya menyangkut di gelangku. Kami berpandangan sejenak sebelum kemudian, ia mencoba melepaskan tautan jaketnya.
“Oppaaa!!!” kami menoleh pada para gadis yang semakin mendekat. Hanya tersisa beberapa anak tangga eskalator.
Seperti sebuah pergerakan slow motion dalam film, mereka mendekat ke arahku dan pemuda tadi. Aku menoleh pada pemuda tadi yang nampak semakin cemas. Dan, saat itulah aku merasa seperti ditarik. Pemuda itu menggenggam tanganku lalu menyeretku melewati beberapa orang di eskalator lalu berlarian menyisir lantai satu. Aku hanya bisa memekik kecil dan pasrah ditariknya. Tubuh mungilku seperti ditarik seekor banteng saat ia membawaku ke segala arah, mencoba mencari tempat bersembunyi.
Aku meringis kecil dan mencoba melepaskan tanganku dari cengkeraman bantengnya. Tapi, dia semakin mengeratkan genggamannya. Terlebih, tubuhku terasa terserang badai saat ia menarikku kuat. Belok kanan-belok kiri, berputar, nyaris menabrak dinding.
“Yyyaa!” pekikku. Tapi, suaraku tenggelam oleh teriakan para gadis bodoh di belakangku yang terus mengejar kami dan membuat pemuda ini semakin beringas menarikku kesana kemari. Sial.
Tak lama, pemuda itu menarikku menuju lorong kecil antar pertokoan, bersembunyi di balik sebuah pilar. Ia mendorongku hingga terhimpit ke dinding. Pemuda itu mengintip sesaat sementara aku hanya bisa terpaku dengan napas terengah. Aku bahkan tidak menyadari kalau tangan kami masih saling menggenggam dan jarak kami begitu dekat hingga aku snaggup mendengar desah napasnya.
“Awww,” rintihku mencoba melepas genggaman tangannya dengan tanganku yang bebas.
“Ah... mereka sudah pergi,” ujarnya sambil menoleh padaku. “Yyyaaa, Neo !” bentaknya dengan nada yang begitu kasar.
“Mwo ?” Aku melotot tak percaya, dia baru saja membentakku. “Yyyaa! kenapa kau membawaku lari seenaknya. Aku sungguh lelah,” ucapku sambil terengah-engah di antara rasa terkejutku. “Dan kau membentakku begitu saja? Astaga... kau ini sungguh kasar. Apa kau bersikap seperti ini pada seorang gadisyang baru kau kenal, huh?”
Pemuda itu berusaha melepas tautan jaketnya dai gelangku, “Yyyaa! Ini gara-gara gelangmu,” selorohnya. “Jika saja bukan karena gelangmu, aku tidak harus menyeret-nyeretmu. Menambah kerjaan.”
“Kau menyalahkan gelangku? Yyaa! Kau yang lari-lari tidak jelas! Kau bahkan dikejar-kejar para gadis. Pasti kau melakukan hal aneh, khan? Apakah... kau mencuri?” tanyaku sambil memegangi gelangku yang akhirnya terlepas dari jaketnya.
Pemuda itu menatapku lekat, melepas aviator-nya dan terkekeh geli, “Apa wajahku ini seperti pencuri?” tanyanya menunjuk wajahnya dengan sakartis, “Lagipula, aku ini artis. Mereka adalah para fans,” ucapnya.
Aku menelisik pemuda itu dan mengakui bahwa wajahnya familiar. Ah, benar. Jason. Dia artis muda itu. Tidak mau ketangkap basah mengenalinya, aku berpura-pura jutek dengan menatapnya sejenak sambil berdeham kesal, “Terus kenapa? Bukankah harusnya kau ramah pada mereka? Kenapa harus berlarian dan menyeretku terus-terusan!”
“Ini karena gelangmu!”
“Kau menyalahkan gelangku lagi? Ah, sulit dipercaya. Sudahlah, hentikan omong kosong ini. Dasar gila!” omelku sambil mendorongnya kecil dan melenggang meninggalkannya. Kau terhenti sejenak lalu menoleh padanya yang nampak kesal padaku, “Dan, beraninya kau berbicara informal padaku! Aku lebih tua darimu!” umpatku sebelum benar-benar pergi meninggalkannya.
Aku merapikan pakaian dan rambutku sejenak sebelum buru-buru melangkah meninggalkan tempat pemuda bodoh itu terbengong dari para fans. Aku menggenggam pergelangan tanganku yang dingin. Aku ingat betapa kencnagnya ia menggenggam tangan mungilku ini.
“Ah, kenapa hari ini aku mengalami kejadian aneh begini. Tsk.” Aku terus mengomel sepanjang perjalanan pulang. “Dia artis? Tidak mungkin. Dia pasti pria mesum. Benar. Pasti... .”

-oOo-

Se Kyung menyodorkan segelas strawberry punch padaku yang sudah memasang wajah masam. Ini semua karena pemuda artis itu. Jason.
“Aku tunggu di meja biasa,” ujarku pada Se Kyung yang menjawabku dengan acungan jempol.
Aku melangkah menuju sebuah meja terdekat dengan jendela. Bisa kulihat, tumpukan salju di jalanan. Beberapa meja Mangosix yang tertata di bawah payung merah di luar sana, nampak kosong dan dingin bersama butiran salju. Hanya orang bodoh yang mau duduk di luar sana dengan suhu semacam ini. Aku menyesap sedikit minumanku, membiarkan dingin dan manisnya strawbery melewati tenggorokanku. Sekaligus, meredakan emosi dan rasa lelahku. Jujur saja, ini pertama kalinya aku berlari begitu kencnag dan ditarik seenaknya oleh seorang pemuda.
“Kau kenapa?” tanya Se Kyung yang duduk di hadapanku.
“Aku bertemu pemuda bodoh. Dia menyeretku seenaknya.”
“Mwo?”
Aku hanya mendesah pendek dan kembali menikmati minumanku. Se Kyung terlihat tidak puas. Dia memang selalu ingin tahu. Jadi, dia pasti akan mengejarku dengan berbagai pertanyaan hanya untuk memuaskan rasa ingin tahunya. Tapi, jika aku mengatakannya tentang kejadian di mall. Aku yakin, dia akan semakin membombardirku dengan ratusan pertanyaan.
“Aku akan menceritakannya lain kali. Jadi, berhenti menatapku seperti singa ingin menerkam kelinci imut,” ucapku yang membuat Se Kyung terkekeh geli.
“Kelinci imut, pantatku,” seloroh Se Kyung yang membuatku tertawa.
Aku memeriksa beberapa tas belanjaanku lalu menyodorkan satu tas belanja pada Se Kyung. Se Kyung nampak bingung lalu memeriksa isinya. Detik berikutnya, dia nampak terkejut dan menatapku bingung.
“Ige mwoya ?” tanyanya.
“Hadiah kecil untukmu. Aku khan belum memberimu hadiah ulang tahun,” sahutku.
“Yyaa! Itu sudah dua bulan yang lalu. Dan, kau bilang ini kecil? Ini mahal!” omelnya sambil mengeluarkan sedikit isi tas belanja itu.
Benar. Aku memberikannya sebuah gaun. Aku jujur ingin memberikannya sebagai hadiah ulang tahun. Aku lupa hadiah itu saat itu, jadi memang aku menggantinya saat ini.
“Tapi, aku sungguh belum memberimu apapun,” kilahku. Bukan, aku jujur.
Se Kyung nampak menghela napas dengan wajah tidak suka. Aku hanya menyodorkan kembali benda itu pada Se Kyung dan memasang mimik setengah memohon. Se Kyung perlahan menerima tas belanja itu dan membuatku bertepuk tangan riang.
“Tapi, kau harus menceritakan padaku, apa yang membuatmu masam saat baru datang tadi,” ucap Se Kyung.
“Arrgghh,” aku mengerang kecil sembari menyandarkan punggung secara dramatis ke sandaran kursi, “Ini membuatku kesal,” omelku.
“Wae ? Wae? Wae?” tanya Se Kyung yang nampak antusias dan penasaran.
Aku berpikir sejenak lalu mendekatkan kepalaku pada Se Kyung dan bersiap membisikkan sesuatu padanya, “Mungkin... kau tahu artis bernama Jason?”
“Jason?” Se Kyung terdiam sejenak lalu ternganga sambil mendelik terkejut, “Hmm... Young brother national?”
Aku mengangguk mantap, “Ah, Majayeo .”
Se Kyung mengangguk-angguk kecil tapi detik berikutnya dia kembali mengernyit padaku dengan wajah bingung. “Apa hubungannya?”
“Dia berengsek. Ah, mengingatnya saja membuatku kesal,” ujarku sambil mengipas-ngipaskan telapak tanganku ke depan wajah.
Sungguh menyebalkan mengingat dia seenaknya menarik tanganku dan menyalahkan gelangku atas tragedi yang terjadi pada kami saat di mall tadi. Aku menarik gelas minumanku lalu menyeruputnya hingga habis. Se Kyung nampak masih belum begitu puas dengan penjelasanku. Biarlah, aku masih merasa merinding membayangkan betapa gilanya tragedi di mall tadi. Jason. Cih, namanya sungguh kekanak-kanakkan.

-oOo-

You Are My StarWhere stories live. Discover now