2 | Kehendak yang Nyaris Bersinggungan

103K 6.1K 329
                                    

2 | K e h e n d ak     ya n g    N y a r i s    B e r s i n g g u n g a n



Pejaman mata Varsha hanya berlanjut hingga detik ke-5.

Kemudian, yang dipertajam adalah indra penciumannya. Wangi masakan yang menguar terasa menyenangkan dan membuatnya lapar. Interior kafe yang ia susuri lewat mata pun sedap dipandang, mengundangnya untuk duduk di salah satu sudut dan segera memesan makanan.

Kepalanya mendengak, membaca plang yang bertuliskan nama kafe dalam sebuah lambang yin dan yang.

Destra and Sinistra Café.

Seorang pelayan lalu mengantarnya menuju tempat duduk yang kosong. Sambil berjalan, Varsha melihat-lihat desain interior kafe yang bernuansa kayu. Matanya lalu menelusuri ruang-ruang yang disekat oleh tirai bambu ramping, juga oleh kaca-kaca transparan yang disusun apik. Alunan lagu jazz instrumental memenuhi hingga sudut-sudut ruangan. Aroma lezat beragam masakan menguar, percampuran antara minuman hangat dan makanan panas, yang sangat pas disantap ketika sedang hujan-hujan begini.

Minggu lalu setelah ia dan ibunya pulang dari Jerman, Varsha turut membeli oleh-oleh roti khas negeri itu. Aromanya lezat, tapi roti yang dipajang di rak kaca dekat kasir kafe ini juga memiliki wangi tak kalah menggiurkan dengan roti yang ia beli di sana. Varsha pun membeli beberapa untuk dimakan di rumah. Hendak saja ia bergegas mencari tempat duduk di lantai dua, tiba-tiba seorang perempuan mendatangi dan berhenti di hadapannya.

Butuh beberapa detik bagi Varsha untuk sadar, bahwa sebenarnya, perempuan itu adalah temannya saat SMA.

"Varsha?" tanya perempuan itu, setengah takjub, setengah tak percaya. "Ya ampun, kebetulan banget kita ketemu. Gimana kabar lo?"

Sudut-sudut bibir Varsha terangkat dengan sendirinya. "Alhamdulillah baik, Helen." Ia tertawa kecil, lalu merentangkan tangan, memeluk kawannya itu. "Lama juga kita nggak ketemu. Udah berapa lama, ya?"

"Ah, lebay deh. Orang kita ketemu minggu lalu, kok," ujar Helen seraya melepas pelukan mereka. "Lo sendirian aja?"

Varsha terkekeh. "Iya. Tadi sih sama adik gue, Kimala. Cuma dia harus pergi buru-buru ke RS, iparnya sakit, jadi gue terpaksa ditinggal."

"Ck, makanya cari suami," cibir Helen yang hanya direspons dengan sebuah tawa oleh Varsha. Akhirnya, mereka duduk di meja yang Varsha pilih—sebuah meja yang satu sisi sampingnya menempel pada tembok, pas sebelah kaca yang menampilkan wajah Ibu Kota. Varsha lalu duduk di salah satu kursinya dan mendadak berhenti untuk sejenak.

Kursi yang ia duduki masih hangat.

Mengabaikan info tak penting itu, Varsha lalu membuka menu makanan yang diberi pelayan. Selesai menentukan pilihan lebih dahulu, Varsha menatap Helen yang masih serius mencari pilihan makannya, lalu menatap sebuah kotak transparan di meja mereka yang seperti kotak tisu, tapi dengan lubang yang kecil. Di dalamnya hanya ada sebuah kertas hijau yang digulung.

Seusai pelayan kafe datang mengambil pesanan, Helen izin membalas pesan-pesan dari suaminya di ponsel, dan Varsha pun memilih sibuk memandangi langit yang berderai air mata sembari bertopang dagu. Warna kelabu yang mendominasi kanvas langit tak henti-hentinya mengeluarkan tetesan air. Semburat awan putih di ujung sana masih jauh untuk mengusir pasukan awan gelap. Wanita itu terdiam. Disambi lagu jazz dan pemandangan apik, ia hanyut dalam suasana yang tenang.

Tak lama, pelayan pun datang membawa dua cangkir teh pesanan yang masih menguap, satu teh hijau untuk Varsha dan satu teh madu untuk Helen. Harum tehnya tercium begitu didekati.

Nona Teh dan Tuan Kopi [TERSEDIA DI TOKO BUKU]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang