Part. 9

32K 1.7K 15
                                    

Radit tidak fokus saat bekerja. Bahkan berkali-kali, Laura yang membacakan jadwal Radit hari ini, harus menegurnya, karena Radit terlihat tidak fokus.

"Ada masalah apa Dit?" Tanya Laura.

"Eh... nggak ada kok" jawab Radit.

"Lagi berantem sama Aira?" Tebak Laura.

Nggak berantem juga. Tapi gue kenapa sih! Gerutu Radit dalam hati.

"Ngga kok Ra. Jadwal aku hari ini apa aja?"

"Meeting sama Mr. Jonathan Martin. Kamu harus bisa yakinin dia biar mau investasi proyek kali ini"

"Bisa di cancel nggak?" Tanya Radit.
Laura membelalakkan matanya.

"Kamu gila apa Dit ? Buat meeting sama Jonathan Martin itu susahnya minta ampun. Sekarang kamu mau batalim gitu aja?"

"Ganti jadwal ke besok gitu. Emang ngga bisa?"

"Nggak bisa Pak Radit" tegas Laura.

"Cancel semua jadwal aku hari ini" tegas Radit.

Setelah itu, Radit meninggalkan Laura sendirian. Laura tercengang melihat Radit yang memerintah padanya. Ini pertama kalinya Radit bicara dengan nada yang seperti itu padanya.

***

Radit membeli banyak mainan untuk anak laki-laki di pusat perbelanjaan. Entah kenapa, Radit yang selama ini tidak pernah perduli dan tidak pernah mau tahu masalah orang lain, menjadi sangat ceria memilih mainan-mainan itu.

"Susah emang, kalo duit yang bicara, pencitraan juga bisa di beli" kekeh Radit.

Radit sudah membayangkan keluarga Aira akan begitu memuji dan membanggakannya. Aira pasti akan terharu karena Radit datang menemui keluarganya.

"Nggak sabar liat ekspresinya" ucap Radit.

***

Lain halnya dengan Aira yang sibuk melayani tamu undangan. Ini bukan pesta yang besar, hanya syukuran biasa yang di adakan di rumah tantenya. Tapi siapa sangka banyak undangan yang datang saat bersamaan membuat Aira sedikit kewalahan.

Saat Aira memberikan bingkisan pada tamu yang akan pulang, barulah Aira melihat Radit yang sedang bersandar di mobilnya sambil tersenyum miring ke arahnya.

Mau apa lagi sih anak siluman datang ke sini? Pikir Aira.

Radit menghampiri Aira yang menatapnya datar, tanpa ekspresi senang, ataupun terkejut.

Gila nih cewek. Pura-pura kaget kek. Gerutu Aira dalam hati.

"Hai sayang" ucap Radit merangkul bahu Aira dengan mesra.

"Jangan ngambil kesempatan dalam kesempitan" bisik Aira.

"Inget! Harus pura-pura harmonis di depan orang lain" bisik Radit.

"Hmm ayo masuk"

Kedatangan Radit langsung disambut hangat oleh keluarga besar Aira, terutama Surya.

"Nak Radit, kata Aira sibuk nggak bakal ke sini" ucap Surya.

Radit hanya tersenyum sambil merangkul Aira dengan lembut.

"Iya, tapi saya nyempetin waktu buat ke sini. Ini kan keluarga saya juga Pak"

Aira menatap Radit yang tersenyum hangat padanya. Radit benar-benar berbeda dari biasanya.

Aira kembali melanjutkan pekerjaannya sedangkan Radit, banyak mengobrol bersama keluarga Aira yang lain.  Radit begitu mudah berbaur dengan keluarga Aira, berbeda dengan Aira yang sulit sekali berbaur dengan keluarga Radit.

Aira menatap Radit yang sedang menggendong sepupu kecil Aira dengan bahagia. Tanpa sadar, Aira tersenyum melihatnya.

***

Mereka sama-sama diam dalam perjalanan pulang, sampai ponsel Radit berdering menunjukkan telepon dari Laura.

"Ya Laura. Oke makasih" Radit menutup teleponnya begitu saja.
Aira menatap Radit yang fokus menyetir mobil. Ini tidak seperti biasanya Radit bersikap dingin pada Laura.

"Tadi semua keluarga kamu?" Tanya Radit.
"Iya. Kan waktu nikahan pada datang"
Radit mengangguk-anggukan kepalanya "Waktu itu kan aku nggak merhatiin satu-satu"

"Hmm"

"Dirga nggak datang?"

"Keluarga aku bakal ngomong apa kalo dia datang?"

"Iya juga sih"

"Makasih"

"Buat?"

"Semuanya"

Radit menatap Aira sejenak, lalu kembali menatap lurus ke depan.

"Kamu mau ramah sama keluarga aku. Mau nyempetin datang ke acara keluarga aku"

"Itu semua kan cuma acting"

"Aku tahu, tapi aku tetap berterima kasih"

"Oke"

"Ayah berharap aku bahagia sama keluarga baru aku. Itu satu-satunya harapan Ayah. Jadi, walaupun itu semua cuma pura-pura, aku tetap senang bisa bahagiain Ayah"

"Mmm Aira.."

"Ya?"

"Kalo boleh tahu, sejak kapan ibu kamu..."

"Dari umur aku 7 tahun. Ibu meninggal karena tabrak lari. Pas ibu meninggal, Ayah lagi kerja, makanya Ayah ngerasa bersalah banget nggak bisa nemenin ibu di saat-saat terakhirnya" jelas Aira dengan tenang.

Seolah, peristiwa itu sama sekali bukan masalah besar baginya. Tapi saat Radit menoleh pada Aira, ada gurat sedih di mata Aira. Kehilangan sosok ibu di usia semuda itu, tentu tidak mudah bagi Aira.

Hati Radit sedikit terenyuh melihat ketegaran Aira. Penilaiannya yang buruk selama ini pada Aira, perlahan memudar. Aira gadis yang baik dan kuat.

"Kenapa diem?" Tanya Aira

"Emang aku harus bilang apa?" Radit balik bertanya.

"Hubungan kamu sama Laura gimana?" Tanya Aira.

"Hari ini dia sedikit kesel sama aku. Aku ninggalin meeting penting sama Jonathan Martin"

"Kenapa?"
"Pake nanya lagi"

"Terus gimana?"

"Ya nanti juga dia sembuh sendiri. Kalo ada apa-apa, pasti nelepon aku"

"Ooh"

Aira menatap keluar jendela. Sampai saat ini, Aira hanya menerima Radit sebagai suaminya di atas kertas. Begitupun dengan Radit. Tapi entah kenapa, kedekatan Radit dengan Laura membuat Aira tidak nyaman.
Walaupun ini hanya pernikahan di atas kertas, tapi ini tetaplah pernikahan!

AiRadit (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang