Signore ~ 3

4K 369 4
                                    

Misaka menyeruput pelan teh lemon panas yang ia buat sendiri. Matanya lekat memandang Matahari mulai turun, bersiap untuk tenggelam.

Dalam pengetahuan dunia bawah, Matahari tenggelam di Timur dan terbit di Barat. Karena itulah Misaka selalu bisa melihat Matahari tenggelam walaupun dia saat ini ada di bagian Timur, bukan Barat. Sedangkan di Permukaan, pengetahuan mereka berbeda. Walaupun yang sebenarnya karens perbedaan keberadaan dunia antara keduanya.

Kaki Misaka melangkah ke arah jembatan diatas danau. Dia duduk di ujung jembatan dan menurunkan kakinya menyentuh dinginnya air danau. Matanya tak pernah lepas dari Matahari. Sejak tiba di Hughes dan tinggal di dekat danau, Misaka jadi menyukai Matahari tenggelam.

Terkadang ia selalu bertanya, mengapa harus ada siang dan malam? Kenapa Bulan harus menggantikan Matahari saat malam, padahal cahaya Matahari jauh lebih terang dibandingkan Bulan. Lalu kenapa Bintang selalu menemani Bulan saat malam hari? Kenapa Bintang tidak menemani Matahari saat pagi dan siang? Apa hanya karena cahaya Bintang terlalu kecil?

Tiba-tiba saja Misaka tersenyum misterius. Dia menunduk, berpura-pura tidak melihat seseorang yang datang mengendap-endap di belakangnya. Langkah orang itu benar-benar tidak terdengar, seolah dia bekerja sebagai mata-mata yang pintar menyembunyikan keberadaan saat sedang menjalani misi. Tapi Misaka bisa merasakan hawa keberadaan orang itu.

Ketika dua langkah lagi orang itu akan mendekat, Misaka langsung mendongak memutar kepalanya sambil menunjuk geli seorang pria yang berjengit sedikit kaget. Pria itu mungkin mengira kalau Misaka sedang mengantuk, jadi dia berjalan sangat pelan agar gadis itu tidak merasa terganggu. Tapi yang ada justru Misaka yang membuat pria itu menatapnya dengan datar.

Misaka terkikik. "Kamu itu mau nyamperin aku atau mau nyulik aku, sih. Ngendap-ngendap gitu. Untung Kak Ito masih kerja, belum pulang. Kalau dia lihat, pasti kamu bakal di ceburin ke danau karena dikira penculik."

"Brr... ogah. Nanti kalau aku demam, nggak bisa main kesini, kamu kesepian terus kangen deh sama penculik ganteng ini. Lagian kamu nggak bisa apa, pura-pura kaget gitu?" tukas pria itu sedikit keki sebelum akhirnya mengambil tempat duduk di samping Misaka.

"Over pede kamu, Rob. Yang ada aku bakal ngadain pesta dua hari semalam," balasnya mengelak dari perkataan pria bernama Rob yang sebenarnya hampir benar. Hati Misaka tidak bisa menyangkal kalau ia kangen dengan Rob yang jarang terlihat akhir-akhir ini.

Rob menunjuk Matahari diikuti mata Misaka. "Kamu itu seperti Matahari, Sia. Kamu tahu kenapa?"

Misaka melirik sedikit Rob yang ternyata tengah menatapnya lekat. "Nggak. Tapi aku lebih suka dibilang seperti Bintang. Karena Bintang selalu ada untuk Bulan, menemani Bulan setiap malam. Dan walaupun Bintang itu hancur, tapi pecahannya justru akan menghasilkan Bintang-Bintang baru."

Rob tertawa keras. Bahkan tangannya sampai memegangi perut, seakan yang Misaka ucapkan adalah hal terlucu yang ia dengar.

"Kok, kamu malah ketawa, sih, Rob. Emang kenapa kamu bilang aku mirip Matahari?"

Rob mengambil napas agar tawanya tidak kembali pecah. "Bintang itu nggak cocok sama kamu, Sia. Karena Bintang itu cahayanya kecil, tapi cahaya kamu itu besar."

"Cahaya? Cahaya apa coba. Aku itu manusia, mana bisa mengeluarkan cahaya. Aneh kamu," sanggah Misaka.

"Serius tau. Matahari itu sangat terang dan setiap manusia membutuhkan cahaya Matahari. Kamu itu Matahari aku, Sia. Dan aku seperti awan yang selalu menanti Matahari bersinar menembus diriku. Jujur, sejak aku mengenal kamu, hidupku menjadi lebih terang, bahkan para pengawalku saja sampai terperangah setiap melihatku senyum-senyum sendiri. Kau milikku, Sia. Aku mencintaimu."

SIGNOREWhere stories live. Discover now