Cerita ke-2

32.3K 1K 16
                                    

Haloooooo
Aku dateng lagi nih:) dengan cerita baru, bisa dibilang sekuelnya dari cerita yang satu ini. Cerita kedua akan berkisah tentang anaknya Reza-Nai yang bernama Edwin. Yuhuuuuuu.

Masih berkutik dengan pengacara, wkwk ngga tau kenapa aku seneng banget nulis cerita yang tokoh utamanya itu ahli hukum. Keren aja menurutku. Monggo dibaca EA. Judulnya Never Let You Go. Bisa baca sinopsisnya dulu nih.

---------------------------
Anna mengaduk-ngaduk segelas caramel macchiato yang ada dihadapannya, tanpa berniat untuk menyentuhnya sama sekali. Pikirannya melayang memikirkan permintaan ibunya. Jika Anna mengingatnya, sama saja ia menaburkan garam ke luka lama. Luka lama yang saat ini belum sembuh dan masih menganga lebar.

"Ini permintaan terakhir Ibu. Ibu mau kamu menikah nduk."

Anna memutar bola matanya jengah, bukan hanya sekali ini saja ibunya itu menyuruhnya untuk menikah.

"Ibu, Anna mohon jangan dengarkan omongan tetangga-tetangga ngga tau diri itu. Mereka ngga tau apa-apa tentang kita!" Anna sudah kebal dengan ocehan dari tetangganya yang menyebutnya perawan tua. Baginya omongan tetangganya itu ibarat angin lalu. Yang terpenting adalah Anna bisa membuat ibunya bahagia, itu saja. Anggaplah anjing menggonggong kafilah berlalu.

"Ibu ngga pernah mendengar omongan mereka, tapi Ibu mau kamu bahagia."

"Apa dengan pernikahan bisa membuat perempuan bahagia?" Tanya Anna.

"Iya.. " Ucap Marini dengan senyum. Dirinya yakin kalau Anna sudah mulai luluh.

"Lalu bagaimana dengan Ibu?"

Deg!!

Perkataan dari anaknya itu tepat menohok hatinya. Jantungnya bagai di sayat sembilu.

"Ibu mencintai Ayah. Bahkan sampai sekarang aku masih sering melihat Ibu mendekap foto Ayah sambil menangis. Apa Ayah peduli? Apa dia tahu kalau ibu selalu menangis untuknya? Bahkan dia sudah bahagia dengan keluarga barunya yang sangat ia bangga-banggakan. Apa itu disebut bahagia dalam pernikahan, Bu?"

Air mata Marini terjatuh begitu saja. Ia gagal. Gagal untuk menjadi ibu yang kuat untuk Anna. Bahkan sekarang Anna mengungkit tentang masa lalunya ia hanya bisa menangis.

Melihat air mata ibunya, Anna langsung mendekap ibunya dan meminta maaf. Baru kali ini ia melihat ibunya meneteskan air mata di depannya. Anna tidak tahu kalau perkataannya membuat ibunya sakit hati.

"Maaf Bu.. Maaf.. Anna tidak bermaksud membuat ibu sakit hati." Ucap Anna dengan tulus.

Marini merenggangkan pelukan Anna di tubuhnya dan menatap anak itu lekat-lekat, dengan penuh kasih Marini mengusap puncak kepala anaknya itu. "Ibu ngga akan maksa kamu lagi, nduk."

"Woy tengah bolong begini jangan bengong aja. Kesambet baru tau rasa!" Seorang laki-laki berkaca mata minus datang dan membuyarkan semu lamunan Anna tentang ibunya. "Ada apa sih ngajak ketemuan disini? Kangen ya?" Tambah laki-laki itu dengan percaya diri. Dia menaik-naikkan sebelah alisnya. Hingga membuat Anna merasa mual melihat sikapnya.

"Gue mau ngomong, Win."

"Emang itu bukan ngomong?"

"Edwin!!!" Teriak Anna kesal. Kemudian Anna menyengir kepada pengunjung cafe karena merasa terganggu akibat teriakannya. Edwin yang mengetahui hal itu hanya terkekeh.

"Lagi ngomongnya pake toa sih Bu, hahahah." Edwin tertawa lepas. Menunjukkan lesung pipinya yang dalam di pipi sebelah kiri selama beberapa detik. Anna sempat terpaku melihat wajah sahabatnya. Cacat otot dibagian pipi itu membuat wajah Edwin tampak lebih manis. Anna menggeleng cepat, mengenyahkan segala pikiran tentang sahabatnya.

"Gue serius tau!" Anna bersungut kesal.

"Iya.. Iya ibu pengacara. Sekarang giliran Anda berbicara." Edwin mengacak-ngacak rambut Anna. Si empunya berdecak tak bisa menghindar. Anna memutar bola matanya jengah mendengar Edwin memakai bahasa yang sangat formal kepadanya.

"Win gue mau nikah." Ucap Anna dengan serius. Matanya menatap wajah Edwin lekat. Pandangan mereka bertemu. Keduanya sama-sama terdiam beberapa detik. Entah apa yang ada dipikiran masing-masing.

"Ya..yaudah sana nikah." Perkataan Edwin menjadi terbata, kemudian dia berdehem untuk menghilangkan gelenyar-gelenyar aneh yang ada di hatinya.

"Masalahnya siapa yang gue ajak nikah? Lo kan tahu pacar aja gue ngga punya." Ujar Anna dengan lesu. Tangan kanannya digunakan untuk menjadi penyangga wajahnya.

"Oh iya gue lupa, lo kan jones banget ya." Edwin menatapnya dengan pandangan mengejek.

"Apa tuh jones?"

"JOMBLO NGENES, HAHAHA."

"Sial!"

Edwin langsung bergerak cepat saat daftar menu hampir saja melayang ke wajah tampannya.

"Emang bener kan? 27 tahun engga pernah pacaran. Teman cowok lo jua bisa di hitung kali jumlahnya. Gue, Rivan—adik gue, Romi—di juga sepup—"

"Ngga usah diperjelas juga kali." Buru-buru Anna menghentikan perkataan Edwin. Percuma juga bicara dengan makhluk satu itu, bukannya solusi yang didapat, malah ejekan. Yang membuat hatinya semakin kacau.

"Tapi gue heran deh Ann, kok lo bisa cepat berubah pikiran gini sih? Lo kan pernah bilang ke gue kalau lo ngga mau nikah." Tanya edwin dengan serius. Pandangan tepat di satu garis yaitu mata Anna.

"Ibu yang minta." Jawab Anna dengan lirih. "Ibu bilang ini permintaannya yang terakhir." Pikiran Anna menerawang jauh, andai saja ini bukan permintaan ibunya atau andai saja ibunya meminta hal yang lain, pasti sebisa mungkin akan ia lakukan.

Edwin yang melihat perubahan wajah Anna mendadak tak tega. Ia sangat tahu bagaimana Anna amat menyayangi ibunya. Karena sejak kecil memang Anna hanya tinggal bersama dengan sang ibu.

"Kalau gue boleh tahu, kenapa lo paling anti dengan pernikahan?" Edwin mencoba memasuki pikiran Anna, karena selama ini Anna tak pernah terbuka soal hubungan antar lawan jenis padanya.

"Gue ngga percaya cinta. Bagi gue cinta hanyalah sebuah dongeng yang dibacakan saat gue mau tidur waktu kecil dulu. Kehadiran cinta cuma bisa gue rasakan di dalam mimpi. Nyatanya setelah gue bangun semuanya musnah."

"Lo hanya melihat cinta dari satu perspektif aja kalo gitu."

"Orang-orang di luar sana menikah karena ingin hidup selamanya dengan orang yang mereka cintai, itu dongengnya. Tapi kenapa hal itu engga terjadi di keluarga gue? Hati gue sakit waktu ngeliat ibu mendekap foto ayah sambil  nangis dan itu terjadi ngga sekali dua kali. Tapi hpir tiap hari." Anna menarik napas dalam, berusaha menahan air matanya agar tidak tumpah. "Gue tahu dulu ibu dan ayah saling mencintai lalu mereka menikah. Tapi kenapa cinta jua engga bisa mempertahankan Ayah tetap di sisi gue? Kenapa win? KENAPA?"

Anna tak sanggup lagi menahan beban di hatinya saat ini. Kalau saja ia tidak ingat kalau sekarang ia tengah berada di cafe yang sedang banyak di kunjungi orang, mungkin ia akan lebih mengeluarkan segara amarahnya. Kepala Anna berada berada di atas meja, menyembunyikan tangisnya diam-diam. Namun Edwin tetap bisa melihatnya dari pundak Anna bergetar. Edwin memberikan waktu kepada sahabatnya itu untuk mengeluarkan segala isi hatinya yang selama ini berkecamuk hebat. Edwin paham kalau selama ini Anna sudah lama menyimpan bebannya sendiri tanpa berbagi dengannya.

Perlahan Edwin mencoba mengangkat kepala Anna yang cukup lama berada di meja. Di pandang wajah gadis yang selama ini menjadi sahabatnya itu. Matanya Anna bengkak, dan wajahnya sedikit memerah karena kulit Anna yang putih. Edwin mengusap air mata yang tiba-tiba saja mengalir di pipi Anna dengan kedua ibu jarinya. Tangan Edwin masih berada di wajah Anna. "Menikah sama gue, gue janji lo ngga akan ngerasain apa yang ibu lo rasain, Anna."

Ana Uhibbuk Yaa ZawjiyWhere stories live. Discover now