The Baby Bro - Part 15

1.3K 176 35
                                    

Bel pelajaran terakhir berbunyi, namun bu Mia masih semangatnya menjelaskan tentang teori gravitasi yang membuat kepalaku berdenyut nyeri. Kebiasan buruk bu Mia, datang selalu tepat waktu tapi pulangnya suka ngaret.

"Bu, udah bel...!" teriak seseorang di belakang sana, entah siapa itu. Lalu di susul beberapa siswa lainnya yang ikut menyahuti.

"Nggak papa, ibu lagi ngejelasin, nanggung sebentar lagi. Lima menit lagi, oke?" tawar bu Mia membuat sekelas menyorakinya.

"Ibu juga yakin kalian nggak akan langsung pulang ke rumah ini, sudah...sudah, kita lanjutkan lagi. Nanti ibu kasih bonus buat kalian tambah pintar."

"Huuuuuuuu....!" Aku ikut menyorakinya. Nambah pintar apanya, yang ada tambah puyeng ini kepala. Namun bu Mia tampak cuek dan menyuruh kami untuk diam, kemudian melanjutkan kembali penjelasan yang sempat tertunda tadi.

Mau tak mau kami harus mendengarkannya, meskipun pikiranku dari tadi melayang entah kemana. Kelas begitu ramai, seolah tak memperdulikan bu Mia, mereka sibuk dengan kegiatan mereka masing, termasuk aku yang kini tengah menatap Najwa yang tampak bengong. Pandangannya tertuju pada LKS di depannya, namun sepertinya Najwa sedang melamun.

Melihat Najwa seperti sekarang ini membuatku teringat kejadian istirahat tadi. Najwa dengan mata sembabnya tiba-tiba memelukku, lalu Anggar berlari di belakangnya dan hanya menatap kami tanpa ekspresi. Aku jadi bingung sendiri dan menerka-nerka, kiranya apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin Najwa sedang bertengkar dengan Anggar, tapi kenapa? Bukannya kata orang, sebuah hubungan baru itu lagi anget-angetnya, ya? Apa jangan-jangan Anggar main tangan? Atau terlalu posesif pada Najwa?

Setahu aku ya, Anggar itu songong, belagu, sombong, sengak dan kawan-kawan pokoknya mah, nggak ada bagus-bagusnya sama sekali di mataku. Sayang ajah orangnya pinter, juara umum lagi, kalah aku kalau urusannya saingan otak. Tapi Anggar itu bukan anak yang suka bolos, tipe penjilat guru dan patuh banget, wajar semua guru menjadikannya murid kesayangan. Aku ngomong jelek juga bukan karena iri ya, tapi emang kenyataannya begitu. Tapi masa iya kalau sampai Anggar main tangan segala, kayaknya nggak mungkin, kan?

Suara riuh sorakan membuatku berjengit kaget. Kulihat Doni  masih terlelap, kepalanya tergeletak di atas meja, ditutupi buku tulis yang sengaja terbuka di depannya, lalu pandanganku kembali ke arah Najwa. Kini gadis itu sedang mencorat-coret kertas di kolong mejanya. Aku lihat dia membuat pola-pola aneh seperti lingkaran-lingakaran kecil yang semakin lama semakin rumit. Aku tersenyum kecut, merasa kasian padanya. Dan untuk kesekian kalinya aku mendesah dan meremas amplop hijau yang aku temukan lagi di bawah mejaku.

Jika bukan Anggar, tapi aku yang ada di hatimu. Apa kesedihan itu masih ada?

***

Aku mengernyit pada Imah yang sudah berdiri di samping pintu kelasku. Senyumnya semakin lebar, dan matanya seakan berbinar tak kala melihatku, membuatku harus waspada, pasti aneh-aneh lagi deh.

"Kak Ab." panggilnya.

"Kenapa?" tanyaku, Doni yang berada di belakangku langsung melengos pergi.

"Kak Don, aku..."

"Bro, gue duluan." pamitnya memotong perkataan Imah dan melewatinya begitu saja.

Aku meringis ketika Imah tampak kecewa dan melihat kepergian Doni dengan sedih.

"Kak Ab...kak Don..." Tunjuk Imah dengan nada hampir menangis, membuatku menatapnya dengan malas.

"Kak Don... Kak Ab, kak Donku..." Kini Imah benar-benar sudah menangis, membuatku gelagapan karena teman-temanku yang melihatnya salah paham.

Ya ampun, ini anak kapan warasnya. Sesekali ngadepin tingkah Imah itu harus punya stok kesabaran luar biasa. Gimana entar yang jadi lakinya coba. Berdo'a saja semoga Imah waras, Aamiin.

The Baby BroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang