Bab IV. TANGAN KEMALA (Part 2)

917 15 0
                                    

18. Menggempur Pentolan iblis.

Bagaimanapun hati-hati dan waspadanya seorang, kadang-kala ada juga saatnya teledor dan lupa menjaga diri.
Awan gelap sudah mulai menyelimuti seluruh angkasa, rembulan yang redup mulai muncul dari langit timur, malam ini adalah malam yang sangat dingin.

Di atas bukit Ci-pak-san, rombongan jago itu mulai membuat api unggun untuk bermalam, bagaimanapun terburunya orang-orang itu, mereka enggan melakukan perjalanan malam, karena perjalanan semacam itu biasanya membawa resiko yang lebih besar.
Ketika api unggun telah siap, Yau lt-kang dengan senjata rahasianya berhasil membunuh dua ekor kelinci, sementara Khong Bu-ki berhasil membunuh seekor babi hutan, maka bau harum daging yang dipanggang pun mulai menyelimuti seluruh tanah perbukitan.
Tanpa Perasaan memilih sebuah tempat kering dan bersih, duduk di atas sebuah batu besar sambil makan rangsum kering yang dibekal.

Sementara Chin Ang-kiok meniup seruling membawakan sebuah lagu yang merdu merayu, membuat suasana malam ini semakin romantis.
"Chin-lihiap," Khong Bu-ki segera bertepuk tangan memuji, "tiupan serulingmu sungguh indah, sungguh menawan hati!"

Dengan termangu Ui Thian-seng memandang ke tempat jauh, sesaat kemudian ia pun berbicara dengan suara dalam, "Dulu sewaktu berkunjung ke Pak-shia, aku pernah menginap semalam di sini, waktu itu aku masih sempat melihat deretan lampu di bawah bukit sebelah sana, deretan lampu itu nampak sangat indah ketika dilihat dari kejauhan, tapi sekarang tak sebuah pun yang kelihatan.

"Ai ... entah bagaimana keadaan keponakan Ciu saat ini?"

Yau It-kang berdiri di sampingnya, dia seakan seorang bawahan setia yang selalu mendampingi panglima perangnya, dalam keadaan begini, tentu saja dia harus mengucapkan satu dua patah kata menghibur.
"Lo-pocu," ujarnya, "kau tak usah kuatir, aku yakin kedatangan kita tepat pada saatnya, bukankah benteng Pak-shia sedang diserbu musuh sekarang? mana mungkin mereka memasang lentera untuk menerangi jalanan?"
Kemudian ia mencoba mengalihkan pokok pembicaraan ke soal lain, tanyanya lagi sambil tertawa, "Dulu Lo-pocu datang kemari dengan siapa saja?"
"Ooh suara Ui Thian-seng terdengar amat sendu, "dahulu ... dahulu aku sering berkunjung kemari bersama Lan Keng-thian, Tincu dari Say-tin dan Ngo Kong-tiong, Lo-cecu dari benteng Lam-ce, kami beramai-ramai datang kemari mengunjungi Ciu Hong-cun, Lo-siacu dari benteng utara, hahaha ... bila malam menjelang tiba, kami bersama-sama menunggang kuda naik kemari dan berbincang-bincang hingga fajar menyingsing, suasana waktu itu sangat ramai, amat menggembirakan hati ... tapi kini, ai! Lan Keng-thian sudah berangkat duluan, disusul beberapa bulan kemudian Ngo Kong-tiong juga .... Ya, kini tinggal aku seorang, kalau kedatanganku kali ini untuk menolong keponakan Ciu juga terlambat, entah bagaimana aku harus bertemu lagi dengan Hong-cun Lote di alam baka"
Yau It-kang tidak menyangka pertanyaannya malah mengungkit kembali kenangan masa lampau Ui Thian-seng yang penuh dengan kesedihan, untuk sesaat dia jadi gelagapan dan tak tahu apa yang mesti dilakukan.

Sementara itu Ci Yau-hoa sudah berjalan menghampiri Tanpa Perasaan, dengan suara lembut dia menegur, "Apakah kau ingin makan lebih banyak lagi?"
Seakan baru tersadar dari lamunan si Tanpa Perasaan berpaling, ketika melihat Ci Yau-hoa yang cantik bak bidadari dari kahyangan, mirip juga seorang ibu muda yang penuh kasih sayang, tiba-tiba ia merasa hatinya bergetar keras, sahutnya agak tergagap, "Aku ... aku sedang memikirkan sesuatu..."
"Bukan soal itu yang kutanyakan," ujar Ci Yau-hoa sambil menggeleng kepala dan tertawa, "aku tanya, apakah kau ingin makan lebih banyak? Ehm, mau?"
Merah jengah wajah Tanpa Perasaan yang semula pucat, sahutnya makin tergagap, "Maaf ... maaf cici Ci ... aku tidak mendengar jelas"
Ci Yau-hoa seakan tidak mendengar apa yang sedang dia katakan, seperti orang dewasa memberi hadiah kepada seorang bocah cilik saja, dari belakang pinggangnya ia keluarkan sepotong paha kelinci bakar lalu sambil disodorkan, katanya, "Nih, mumpung masih hangat, cepat dimakan."
Rembulan masih bersinar redup di balik kegelapan tapi angin berhembus sepoi, walaupun Siong-pak-san bukan tempat yang indah, walau tempat itu bukan tempat wisata terkenal, namun ketenangan dan suasana damai yang menyelimuti tempat itu justru jauh mengalahkan tempat lain.

Serial 4 Opas (The Four) - Wen Rui AnWhere stories live. Discover now