Album Memories

18.3K 559 73
                                    

Love Never Wrong

Kalian tahu?

Aku memiliki sebuah rahasia kecil, rahasia yang telah kusimpan selama setengah tahun belakangan. Mungkin, bagi kalian rahasiaku ini terdengar bodoh. Tapi, bagiku rahasia ini amatlah sangat berarti.

Kalian tahu?

Aku mencintai seorang pria, yang bahkan mungkin tak mengetahui bahwa aku berada di dunia yang sama dengannya. Namanya Dewo. Mahasiswa semester empat jurusan Psikologi. Hobi-nya mengabadikan suatu moment dalam bentuk gambar, dia adalah ketua klub fotografi kampus kami.

Kalian tahu?

Aku selalu memperhatikannya dari kejauhan. Melihatnya tertawa, melihatnya tersenyum, melihatnya bersenda gurau bersama teman-temannya, bahkan melihatnya yang selalu dikelilingi oleh gadis-gadis cantik itu. Walaupun begitu, aku sudah merasa bahagia hanya dengan melihatnya. Melihat senyumnya membuat hatiku menjadi tenang. Mendengar tawanya membuatku hariku menjadi indah.

Aku tahu aku bodoh.

Tapi aku bahagia dalam kebodohanku.

***

Hari ini aku melihatnya lagi, seperti biasa dia selalu dikelilingi oleh gadis-gadis cantik itu. Ada sedikit perasaan cemburu dalam hatiku. Terkadang aku berharap, aku bisa mengganika posisi mereka, duduk di samping Dewo dan mendengarkan suaranya. Tapi harapan hanyalah sebatas harapan dan tidak akan pernah lebih.

Semakin lama, aku semakin merasa tersiksa dengan perasaanku ini. Rasanya sangat tidak rela melihatnya harus tertawa bersama gadis lain. Aku ingin menangis atau bahkan menjerit dihadapannya sambil berkata bahwa 'aku mencintainya'. Tapi, apakah itu mungkin? Apakah aku, seorang Kaysa Maharani memiliki keberanian sebesar itu? Aku sendiri tidak tahu.

***

Hari ini aku terpaksa menggunakan kacamataku seharian. Mataku memang minus, tapi biasanya aku hanya mengenakannya ketika belajar. Namun hari ini berbeda, aku menggunakan kacamata itu seharian untuk menutupi mataku yang sembab. Ya, aku memang habis menangis. Aku menangis semalaman sambil berharap rasa sakit di hatiku akan sedikit berkurang. Tapi kenyataannya percuma saja, bukannya berkurang, rasa sakit itu malah semakin bertambah tiap detiknya.

Kemarin di kantin, aku mendengar teman-teman Dewo yang sedang menggoda Dewo karena sedang jatuh cinta pada seorang gadis. Kenyataan itu bagai petir di siang bolong bagiku. Akhirnya aku pulang ke rumah dengan hati hancur lebur.

***

Semakin lama rasa sakit itu semakin besar, hingga seperti menggerogoti tubuhku. Aku benar-benar sudah tak kuat lagi menahan sakitnya. Tak ada malam yang kulewatkan tanpa menangisi perasaanku pada Dewo. Kenyataan bahwa Dewo mencintai gadis lain terus terngiang-ngiang dalam pikiranku

Aku sudah berkali-kali berusaha membunuh rasa cintaku untuknya. Tapi tidak bisa, semakin keras usahaku untuk membunuh rasa itu, rasa itu malah tumbuh semakin dalam dan kuat.

Sebenarnya apa salahku? Mengapa aku harus mengalami perasaan seperti ini? Sungguh... aku sudah tak kuat lagi.

***

Sudah beberapa hari ini aku tidak pernah mengunjungi kantin, tempat Dewo dan teman-temannya biasa berkumpul. Aku memang sengaja menghindari tempat-tempat yang biasa dikunjunginya. Tapi, bukannya ketenangan yang kudapatkan, aku malah semakin merindukan sosok dirinya.

"Kaysa!" Kuhentikan langkahku dan mencari asal suara.

"Kenapa?" tanyaku pada Zaki yang kini sudah berdiri di hadapanku. Sama sekali tak ada semangat dalam suaraku.

"Kamu sakit?" tanya Zaki yang sepertinya menyadari kondisiku yang tidak bisa dibilang normal.

Aku hanya menggeleng menjawab pertanyaan Zaki. "Kenapa?" Sekali lagi aku mengulang pertanyaanku padanya.

"Soal tugas kelompok yang diberikan Bu Susan kemarin." Aku memandang Zaki, menunggu kelanjutan kata-katanya. "Kitakan satu kelompok, bagaimana kalau kita kerjakan besok sepulang kuliah?"

"Boleh."

"Hmm oke, besok aku tunggu di kantin kampus ya." Kantin kampus? Aku baru saja membuka mulut hendak memperotes pada Zaki, tapi apa daya dia sudah berlalu sambil melambaikan tangan ke arahku. Baru saja aku akan melanjutkan langkah, pandanganku terpaku pada satu titik.

Deg!

Dewo ada di sana! Dia berada tidak jauh dari tempatku berdiri. Pandangan kami bertemu. Tiba-tiba saja kakiku lemas. Keringat dingin mulai keluar dari tubuhku. Pandangan kami seolah-olah terkunci. Tak ada satupun dari kami yang mengakhiri kontak mata itu.

Melihatnya membuat rasa sakit itu kembali muncul. Dengan penuh tekad, aku memalingkan wajahku darinya lalu kembali melangkahkan kakiku.

Sakit.

***

"Akhirnya selesai juga." Suara Zaki terdengar lumayan kencang, hingga menarik perhatian beberapa mahasiswa yang ada di kantin.

Aku hanya bisa tersenyum melihat tingkah Zaki. Jujur sebenarnya pikiranku tidak konsen saat mengerjakan tugas tadi. Berkali-kali aku harus meneguhkan hati dan menjaga mataku agar tidak berpaling pada Dewo yang hanya terpisah beberapa meja dari kami. Seperti biasa, hari ini dia juga berkumpul bersama teman-temannya, tak lupa dilengkapi oleh beberapa gadis cantik.

"Tangan kamu kenapa?" Tanpa sadar kini tangan kiriku berada dalam genggaman Zaki.

"Eh itu, tidak sengaja tergores pisau." Ya, di jari telunjukku memang terpasang plester karena kemarin aku dengan cerobohnya hampir memotong jariku sendiri.

Tiba-tiba saja, tanganku yang berada di genggaman Zaki ditarik seseorang. Dewo! Tanpa bicara apapun Dewo menarikku menjauhi Zaki. Terdengar suara riuh di kantin melihat adegan ini. Sementara aku hanya mengikuti kemana pun Dewo menarikku seerti orang bodoh. Sebenarnya ada apa ini? Apakah aku sedang bermimpi? Apa benar orang yang sedang menggenggam tanganku ini adalah Dewo? Jika ini mimpi, aku rela tak pernah bangun lagi.

Dewo melepaskan genggamannya ketika kami sampai di Taman belakang kampus. Tempat ini memang cukup sepi, karena letaknya yang berada pojok belakang, hingga jarang di lewati mahasiswa.

"Tolong jangan berhenti memandangku!" Aku menatap Dewo dengan bingung. "Aku... Aku tahu, selama beberapa bulan belakang ini, kamu selalu ada di sekitarku." Aku terkejut mendengar kata-kata Dewo. Jadi selama ini dia tahu keberadaanku?

"Kamu tahu, setiap hari aku selalu datang ke kantin, duduk di sudut yang sama, duduk di bangku yang sama, sambil berharap kamu bisa memandang aku seperti hari-hari sebelumnya." Aku semakin tak percaya mendengar kata-kata Dewo, jadi selama ini- "Kamu tahu bagaimana stresnya aku karena beberapa hari belakangan ini kamu seperti menghindariku. Kamu tidak pernah datang lagi ke kantin. Saat kemarin kita bertemu, kamu malah pergi begitu saja." Perasaanku campur aduk sekarang, antara bingung, senang, sedih semuanya menjadi satu.

"Sebenarnya aku ingin mengatakannya ini sejak lama. Mungkin kamu bakal bilang aku gila, pembohong atau apapun, tapi kamu harus percaya, kalau kata-kataku ini adalah perasaan terdalam dari lubuk hatiku." Kuperhatikan Dewo menarik napas sebelum berkata. "Kaysa I Love You..." Air mataku tumpah mendengar kata-kata Dewo. Jadi selama ini cintaku tidak bertepuk sebelah tangan.

***

F"Um

Album MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang