Niat Tak Tulus?

9K 355 3
                                    

Aku masuk dalam mobil ketika dengan serta merta mas Bimo ikut merangsek masuk dan menyuruhku duduk dibelakang.

"Apa-apaan sih?" keluhku.
"Diam!" Bimo mematikan rokoknya dan bersandar nyaman di jog depan.

"Jalan pak!" perintahnya pada pak Umar.

"Aden mau ke kampus juga?" tanyanya memberanikan diri karena melihat lirikan tak terima dari ku.
"Berisik aku mau tidur! Kalau udah sampai bangunin aja!"
Ucapnya apatis lalu memejamkan matanya.

Aku hanya bisa pasrah. Manusia satu ini benar-benar gila.
*

Pak Umar menepikan mobil didekat pintu gerbang kampus.
"Nanti aku telpon Bapak kalau aku mau pulang. Bapak boleh balik dulu!" kataku sebelum keluar.

"Ya Non!" katanya patuh. Lalu menyenggol bahu Mas Bimo sekilas.
"Bangun Den!"

"Kenapa dibangunin!" kataku.

"Kalau tidak dibangunkan nanti marah Non kan udah sampai!" katanya.
Mas Bimo mulai menggeliat.

"Apaan sih! Siapa yang berani marahin kamu?" kata Mas Bim sambil mengusap wajahnya.

"Enggak kok Den."

"Pak. Nanti tolong bawa motorku ke bengkel." Mas Bim mengeluarkan mastercard dari dalam dompetnya dan menyerahkan ke Pak Umar.

"Ya den."

Kenapa aku tak keluar dari mobil segera? Dan asyik mendengar obrolan mereka.
Heh.
Saat tersadar aku segera keluar dan menutup pintu tanpa menghiraukan mereka.

Aku berjalan melewati koridor kampus. Berjalan sendiri sampai teriakan itu membahana.

"Sepupu Ipar!" siapa lagi kalau bukan si Abi yang demen banget menjahiliku dengan sapaannya itu.

"Srett! Tutup mulutmu apa Abimana Sapto Wijaya!" Tukasku. Gosip cepat sekali menyebar di kampus apalagi di fakultas ekonomi ini.
Gara-gara dia aku jadi bahan gunjingan seisi kampus.
Menantu klan Wijaya, mahasiswi bangkrut yang mendadak mendapat durian runtuh.

"Biar mereka tau siapa loe Kaira!" ucapnya cuek sambil merangkul pundak ku.

"Jiah...dan semua gadis seisi kampus tau kalau yang sedang bersama loe tak lain dan tak bukan adalah saudara loe! Modus!" geram ku tapi membiarkan saja dia menggelayuti ku.

"Ya! Sepupu Ipar Ku sungguh cerdas!" pujinya penuh kemenangan.
Lalu kami terlibat obrolan santai sambil berjalan menuju kelas masing-masing.

Semenjak aku menjadi menantu keluarga Wijaya, aku dan Abi menjadi semakin akrab bahkan dia menjadi sedikit over padaku.
Katanya harapannya untuk punya saudara perempuan sedikit terwujud dengan kehadiranku. Saat aku berseloroh tentang mbak Farah yang juga adalah sepupu iparnya dia hanya menjawab dengan cuek 'mas Yudi pelit berbagi!'
Apa coba maksudnya emang kita barang yang bisa dibagi-bagi apa.
**
Aku mendekati salah satu kursi di auditorium dan bersiap mendengarkan kuliah umum yang akan diberikan oleh Chairil Tanjung. Aku harusnya datang lebih awal dan bisa dapat kursi didekat teman-temanku atau jika aku bisa menemukan Abi si biang keributan itu diriuh audotorium ini tentu aku tidak berdesakan meraih tempat duduk. Sial.

Aku berhasil duduk diantara lautan manusia disini. Aku bernafas lega, setidaknya acara inti belum dimulai.

Aku melihat sekeliling dan kudapati Abi jauh didepanku nyaris beberapa block seat dari tempatku sekarang, sedang merangkul cewek manis dan nampak berakrab-akrab ria. Awas loh Abimana!

Geramku.
Aku mengeluarkan hape dari sakuku bersiap menerornya saat pembawa acara menyuruh kami membunuh perangkat selular kami dan bersiap menyimak kuliah umum.
Kali ini aja loe selamat Abimana! Geramku lagi.

Ilalang MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang