Bab 17

261 79 21
                                    

Selamat pagi menjelang siang.

Selamat membaca.

"Gimana? Suka?"

Sekar menghentikan langkahnya lalu berbalik. "Suka," jawabnya setelah menyusuri rumah yang akan mereka tempati. Setelah satu bulan menikah, akhirnya Gani bisa mendapatkan tempat yang sesuai keinginan Sekar.

Maka dari itu selepas pulang kerja karena mereka sama-sama masuk pagi, Gani langsung mengajak ke sini. Alasannya takut ada orang lain yang mengincar rumah satu lantai itu.

Tidak terlalu luas, dekat tempat kerja, suasana yang tak terlalu ramai adalah syarat yang diberikan Sekar. Agak sulit menemukannya karena kebanyakan orang menginginkan hal sama, sehingga banyak kontrakan yang telah terisi.

Sebetulnya dia tahu maksud Sekar adalah mencari yang murah. Hal yang sempat menjadi perdebatan karena dia kesal tak segera memperoleh rumah seperti itu.

"Baiklah, habis ini kita ke rumah pemiliknya untuk melakukan pembayaran."

"Tapi misalnya ada yang lebih kecil dari ini a—"

"Jangan mulai Sekar! Tadi kamu sudah bilang suka."

"Iya, maaf." Sekar melanjutkan kegiatannya memeriksa setiap sudut rumah. Ada bagian belakang yang belum dia lihat.

Terdapat dapur, kamar mandi, dan halaman kecil untuk menjemur yang rumputnya  tumbuh agak panjang. Sementara di depan tadi dia telah mengecek ruang tamu, dua kamar, dan ruang tengah.

Di saat tengah memeriksa air di tempat cuci piring karena dia tak mau sampai kesulitan air, sebuah tangan melingkari perutnya.

"Marah?" Gani menumpukan kepalanya di bahu sang istri. Sekar bukan orang yang meledak-ledak. Cenderung diam jika tengah marah, seperti saat ini.

"Maaf."

Oh, tentu Gani suka mendengar permintaan maaf yang selalu diucapkan lirih itu. Sekar selama ini selalu menjadi orang pertama yang meminta maaf ketika adanya perdebatan. Siapapun yang salah.

"Aku cuma ngga mau kita semakin lama pindah jika terus nyari yang cocok. Misal kriterianya sudah lumayan, ya tak masalah kan?"

"Baiklah. Jadi kapan kita pindah?"

"Kita bisa mencicilnya mulai besok. Mumpung hari minggu." Gani berdeham pelas sebelum melanjutkan ucapannya." Ehm ... sebenarnya aku telah membayar uang mukanya."

Tangannya memeluk Sekar lebih erat, mencegah perempuan kesayangannya berbalik.

"Terus kenapa masih tanya pendapatku? Jika aku tetap menolak bagaimana? Bukankah uangnya bisa hangus?"

"Tak akan. Kalau kamu kekeh menolak, hal itu akan aku jadikan sebagai senjata. Dan kamu pasti setuju."

"Dasar licik!"

Alih-alih marah, Gani justru terbahak menyebabkan tubuh keduanya berguncang. Terkadang perlu sedikit kelicikan menghadapi Sekar apalagi jika menyangkut uang.

Bukannya apa, sang istri masih suka sungkan menggunakan uang yang dia berikan. Rasanya kesal sebab untuk keperluannya Sekar akan memberi yang terbaik. Namun, sebaliknya jika menyangkut diri sendiri banyak membatasi.

Contohnya soal membeli baju, kalau tidak dipaksa mana mau Sekar diajak belanja. Masalahnya, dia kesal melihat baju yang telah pudar masih dipakai padahal mereka mampu membeli yang baru.

Bukan sombong, dia ingin menghargai sang istri. Selama dia mampu kebutuhan Sekar akan diturutinya. Toh, selama ini sebagian hasil kerjanya telah masuk tabungan. Jadi uang belanja yang diberikannya tak berpengaruh pada rekening khusus untuk masa depan.

Sulung dan BungsuWhere stories live. Discover now