Bab 9

176 59 8
                                    

Selamat membaca.











"Kamu yakin pakai itu?"

Sekar menunduk, memindai penampilannya sendiri. Tak ada salah, celana bahan hitam serta kemeja putih yang dipandankan dengan pasmina hitam rasanya cukup sopan untuk pergi ke rumah orang tua Gani.

Namun, sedari keluar kamar mandi sahabatnya yang semalam ikut tidur di kamarnya tak henti memberi tatapan aneh. Bahkan Gendis berulang kali menggeleng dramatis seolah dia tak terselamatkan. "Ada yang salah?"

"Kamu kayak orang mau melamar kerja, daripada ketemu mertua."

Sekar meringis, menyadari ucapan itu benar adanya. Tapi mau bagaimana lagi, hanya ini pakaiannya yang tampak layak, dalam artian warnanya tak pudar.

Kebanyakan baju yang dia punya telah pudar, dan jika ada gambarnya sablonannya pun sudah pecah. Dia memang jarang membeli baju, bahkan terhitung dari hari ini dia sudah enam bulan hanya menggunakan baju itu-itu saja.

"Jangan berangkat dulu!"

Sekar tersentak mendengar bentakan sang sahabat disaat otaknya sedang berkelana kemana-mana. Belum sempat menanyakan maksud perintah itu, sahabatnya sudah lebih dulu membuka pintu dan membiarkannya terbuka begitu saja.

Dengan gerutuan pelan, Sekar mendekati pintu bermaksud menutupnya. Namun, dia malah dikejutkan oleh sosok yang berdiri di sana. Melihat itu refleks Sekar menoleh ke belakang demi mencari tahu jam berapa sekarang. "Mau berangkat sekarang? Bukannya kurang setengah jam lagi?"

"Kamu belum siap?"

Sekar menatap intens lawan bicaranya sebelum menjawab, "masih nunggu Gendis sebentar." Dia tak tahu apa yang dilakukan sahabatnya sekarang, tapi dalam hati berharap apa yang di pikirkannya tak salah.

Berdiri bersama Gani seperti saat ini, membuatnya sadar dari cara berpenampilan saja mereka jauh berbeda. Meski hanya kaos dan celana jeans, dia tahu jika apa yang digunakan Gani adalah barang mahal. Belum lagi sepatu yang tampak jelas merknya itu, yang dia yakini jika itu bukan barang KW.

Sederhana, tapi mewah. Itulah kesan yang ada dalam diri Gani. Sedangkan dia? Sederhana dalam arti sesungguhnya.

"Oh, baiklah. Aku tunggu di mobil."

"Iya, mas."

Menatap kepergian Gani hingga menghilang di ujung tangga, Sekar lalu dikejutkan dengan teriakan perempuan yang baru saja keluar kamar lalu berlari ke arahnya. Dia tersenyum tipis menyadari tindakan Gendis sesuai perkiraannya.

Ada baju yang berada dalam dekapan Gendis. Meski sama-sama dari keluarga biasa, tapi sahabatnya itu sedikit lebih mampu. Mengingat hanya memiliki satu saudara dan Gendis adalah anak bungsu.

Berbeda dengannya, belum punya anak tapi berasa seperti itu. Ada dua balita dan tiga remaja yang harus dia pikirkan kebutuhannya.

Menolak pikiran galau yang mulai berkembang, dia memilih memasuki kamar mengikuti langkah Gendis yang kini sudah duduk santai di tempat tidurnya. Bahkan gadis itu seenaknya merebahkan diri setelah menggeser lima kantong plastik yang tadinya berjajar di kasur.

"Cepat ganti sana!"

Mungkin didasari hubungan yang kuat di antara keduanya, Sekar langsung mengerti maksud Gendis. Mengambil barang yang terletak di meja kecil samping tempat tidur, dia lantas memasuki kamar mandi.

Tak butuh waktu lama, kini dia telah rapi dengan balutan kulot hitam, serta blouse dan long outer abu-abu. Flat shoes yang baru dibelinya beberapa bulan lalu menyempurnakan penampilannya. Satu-satunya alas kali yang dia gunakan untuk acara formal.

Sulung dan BungsuWhere stories live. Discover now