Bab 1

937 109 11
                                    

Versi baru, ya.

Selamat membaca.









"Lima puluh juta?" Gadis yang baru saja pulang kerja itu sontak memejamkan mata. Dia bahkan belum sampai di kamar, tapi kabar yang baru saja didengarnya membuat keinginan melarikan diri dari segala kerumitan dalam hidup semakin besar.

Kabar buruk bukan hal baru untuknya, tapi kenapa sekarang? Disaat fisiknya terasa remuk akibat seharian ini bekerja tanpa henti karena pabrik tempatnya bekerja harus segera mengirimkan barang.

"Bisa, kan?"

"Aku dapat dari mana uang sebanyak itu, bu?" tanya Sekar lirih. Tangannya terkepal erat, menahan segala emosi yang mulai menyelimuti diri. Dia masih sadar agar tidak menggunakan nada tinggi pada sosok yang telah melahirkannya.

Untuk dia yang bekerja di pabrik dengan gaji sesuai UMR, tidak mungkin mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu dekat. Bahkan tabungannya yang selama ini dia kumpulkan masih jauh dari kata cukup.

"Tolong usahakan, Sekar. Jika tidak rumah kita akan disita."

"Iya, bu." Sekar mengangguk. Bukan karena dia tiba-tiba mendapat gambaran untuk memenuhi keinginan sang ibu, melainkan agar pembicaraan ini segera usai.

Kepalanya terasa mau pecah, mual pun tak bisa dihindari. Penyebabnya sudah pasti karena asam lambung naik akibat memikirkan cara melunasi hutang mendiang ayahnya. Apa yang harus dia lakukan sekarang?

Menatap layar ponsel yang telah menggelap, Sekar membawa langkahnya menuju teras yang berfungsi sebagai ruang tamu bangunan tiga lantai yang telah dia tempati selama kurang lebih empat tahunan. Tidak ada siapapun, sepertinya penghuni kost lebih memilih beristirahat di kamar. Ya, siapa juga yang mau duduk di tempat ini di jam sepuluh malam?

Jika dalam keadaan normal, Sekar pun pastinya juga tidak mau menyendiri di tempat ini. Meski seluruh bagiannya tertutup, tapi bagian depan terbuka. Tepatnya menghadap halaman yang dijadikan tempat parkir oleh penghuni kost.

Menghidupkan lagi ponselnya, dia menggerakkan jari ke arah ikon yang menunjukkan nama-nama orang yang telah dia simpan nomernya. Gila, satu kata yang menggambarkan perbuatannya saat ini. Bagaimana tidak, dia mencari seseorang yang sekiranya bisa memberi pinjaman. Padahal teman-temannya memiliki kemampuan yang sama dengannya.

Kesal tak mendapatkan hasil apapun, dia melempar ponselnya ke samping. Lantas mengeluarkan air mata yang sejak tadi ditahannya. Dengan tangan yang menutupi wajah, dia berusaha meredam isakannya. Lagi-lagi dia menangis dalam sepi.

Terlahir sebagai anak pertama sungguh tak mudah. Dia yang awalnya mendapat banyak perhatian, hingga apapun keinginan bisa dikabulkan oleh orang tuanya mendadak menjadi tulung punggung setelah kepergian sang ayah lima tahun lalu.

Belum cukup duka yang dirasakannya, kenyataan bahwa selama hidup sang ayah mempunyai hutang yang banyak sungguh menghancurkan kedamaian keluarganya. Dia yang saat itu masih kelas dua sekolah menengah harus menghadapi penagih hutang setiap harinya karena sang ibu memilih mengurung diri dalam kamar akibat tak mampu menanggung beban.

Dialah yang mengambil keputusan menjual berbagai barang berharga untuk mencicil hutang, mengganti pilihan sekolah adik-adiknya, hingga mulai belajar mencari uang. Hal itu dia lakukan sendiri sebab ibunya belum mampu diajak diskusi. Ya, tak jauh beda dengan dia, ibunya pun selama ini terbiasa hidup nyaman dan diratukan sehingga kesulitan menerima jika kehidupan mereka berubah drastis.

Sayangnya lima tahun waktu yang dia gunakan untuk bekerja belum mampu melunasi hutang yang semakin menggunung akibat bunga yang dibebankan. Orang-orang itu sungguh tak mempunyai hati, keadaan adik-adiknya yang yatim tidak lantas membuat mereka mendapatkan keringanan.

Sulung dan BungsuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang