Bab 8

210 65 8
                                    

Selamat membaca.









"Silakan dimakan, Nak Gani."

Sekar melirik laki-laki di sampingnya yang ikut duduk lesehan, melingkari makanan yang ditata di atas karpet. Sejauh ini perkenalan Gani dengan keluarganya berjalan lancar.

Meski awalnya semua terlihat sungkan, tapi Gani berhasil mencairkan suasana. Laki-laki yang mengajaknya menikah itu mampu mengambil hati keponakan dan adik-adiknya. Sesuatu yang sulit dilakukan Sekar.

Bagaimana tidak, perempuan itu selama ini fokus pada kerja dan kerja, hingga tak ada waktu berinteraksi dengan keluarganya. Apalagi adik-adiknya juga merasa segan padanya, membuat hubungan mereka terasa berjarak.

"Bisa minta tolong ambilkan sambal?"

Sekar mengerjap. Lamunannya membuat dia tanpa sadar sejak tadi tak mengalihkan pandangan pada Gani. Mengangguk pelan, dia berusaha bersikap biasa demi menutupi rasa malu.

Untung saja kulitnya cenderung gelap, jadi kemungkinan Gani tak melihat rona merah di wajahnya. Ya, akibat kejadian barusan dia merasa mukanya panas saking malunya. "Sedikit apa banyak, Mas?"

Sekar mengambil alih piring Gani, tangannya pun sudah siap menyendok sambal dalam cobek. Namun, tak mendapat jawaban apapun menyebabkan dia memutar kepala untuk melihat sosok yang ternyata tengah menatapnya. Tak cukup sampai di sana, Gani juga menunjukkan senyum yang teramat manis di mata Sekar.

Pantas saja banyak yang mengagumi Gani. Walau bukan sosok yang banyak bergaul, tapi keramahan selalu tergambar di mata laki-laki itu. "Mas?" panggilnya berusaha tak acuh dengan tatapan Gani.

Bagaimana pun dia harus membentengi diri, jangan sampai jatuh terlalu dalam pada pesona calon suaminya. Dia memang telah mengikrarkan diri untuk berbakti pada Gani jika mereka telah terikat secara halal. Namun, dia juga tak mau larut dalam kebahagian secara berlebihan. Apalagi sampai menggantungkan hidup pada laki-laki tersebut.

"Satu sendok saja. Aku ngga bisa makan terlalu pedas."

"Baik."

Jawaban singkat itu membuat Gani mengela napas, menyadari betapa pasifnya Sekar. Perempuan itu seolah menjalani semua sesuai arus, tanpa punya keinginan untuk mengenalnya lebih jauh. Tapi hal itu justru menjadi tantangan sendiri untuknya, dia bertekad menaklukan calon istrinya tersebut.

"Maaf, ya Nak adanya ini. Sekar ngga bilang kalau Nak Gani ikut pulang."

"Ini saja sudah nikmat, bu." Gani menatap piringnya yang telah penuh. Ada sayur pedas, ikan asin, tempe goreng, dan sambal. Sederhana, tapi inilah kenikmatan.

Suasana ruangan tengah yang terdapat televisi dan kasur lantai itu terasa hangat untuk Gani. Dia layaknya berada di rumah sendiri, bedanya di sini lebih ramai sebab para bocah tak henti berceloteh.

Lalu untuk kesekian kali dia melirik Sekar. Masih tetap sama, tak ada ekspresi berlebihan. Hanya senyum tipis yang selalu menjadi tanggapan. Ingin sekali dia menarik pipi gadis itu karena gemas dengan sikapnya.

Awalnya dia kira Sekar hanya pendiam jika berhadapan dengan sosok yang tak terlalu akrab, nyatanya di keluarga pun seperti itu. Dia menjadi semakin penasaran, kehidupan seperti apa yang dijalani Sekar selama ini. Hingga menjadikan senyum gadis itu adalah sesuatu yang langka.

Kira-kira kapan dia bisa melihat senyum lebar Sekar?

***

"Kamu jadi ke rumah Juragan Seno?"

Sekar mengangguk disela kegiatannya menata sisa makanan di kitchen set, ah lebih tepatnya triplek yang dibentuk seadanya guna menyimpan makanan. Mana mampu dia membeli benda itu, meski sebenarnya sangat ingin menyediakan untuk sang ibu.

Sulung dan BungsuWhere stories live. Discover now