Penderitaan Umum

4.2K 306 1
                                    

Mengurus Adam membuat Afra paham, bahwa penderitaan pribadi bisa menjadi penderitaan bersama alias penderitaan umum.

Lihat saja, pria itu perlu mengikuti pelajaran tambahan untuk Matematika, sehingga harus tetap di kelas setelah jam sekolah berakhir. Alhasil Afra pun harus menahan lelah dan kantuk untuk pergi ke sekolah dan menemaninya untuk les.

"Titipan dari Bu Bunga." Afra menyodorkan sebuah kotak bekal berwarna biru langit ke arah pria di sampingnya itu.

Adam menerima tanpa mengucapkan kalimat terima kasih sama sekali. Dia sedikit termenung saat mendapatkan sepotong red velvet cake di dalam kotak bekal itu sebelum memakannya tanpa memedulikan Afra yang menganga dengan kelaparan di sampingnya.

Benar-benar tidak memiliki jiwa sosial dan hati nurani, pikir Afra.

"Kamu benar-benar gak bisa berbagi, ya? Setidaknya kamu tawarin aku meskipun aku nantinya gak mau."

"Siapa yang bilang majikan harus beradab sama pembantu?" balas Adam tak kalah sengit sambil tetap makan dengan santai.

"Masa adab kayak gitu aja kamu gak paham?"

Adam terlihat menahan tawa yang dibuat-buat. "Adab? What?"

Afra melotot. "Apa?!"

"Kamu memanggil aku dengan panggilan iblis, setan, bang**t, breng**k, mengatakan kata semacam si*l, terkutuklah, and so on. Masih banyak lagi. Kemudian kamu berharap bisa memberikan contoh adab dan akhlak yang baik untukku? Kamu berharap aku berubah menjadi lebih baik secara adab dan akhlak sesuai perintah ayah dan Bu Bunga dengan menirumu? Are you kidding me?" ujar Adam membuat wajah Afra memerah menahan malu sekaligus amarah.

Prak

Afra menggebrak meja sebelum berdiri dengan kesal. "Kamu les saja sendiri!"

Adam mengangkat bahunya dengan santai. "Beginilah kamu. Kebiasaanmu selalu begitu. Memukul meja dan berdiri dengan wajah kesal sambil melotot kemudian marah-marah. Kamu sangat berbeda dengan Bu Sari tentu saja. Dalam semua hal. Bu Sari mengajarkan aku hal-hal yang baik seperti aku gak boleh mengumpat atau memaki atau mengeluarkan kata-kata yang gak seharusnya, dan sejenisnya yang gak diperbolehkan dalam ajaran agama. Bu Sari juga gak pernah marah-marahin aku sampai teriak-teriak. But you, melakukan semuanya kemudian berharap aku berubah? Kenapa orang-orang zaman sekarang ini? Mereka suka mengingatkan orang lain untuk kebaikan sampai melupakan diri mereka sendiri? Seperti lilin yang menerangi tapi membakar dirinya sendiri."

Afra sampai melongo. Niat hati dia ingin memberikan pencerahan kepada Adam, malah dia yang kembali diberikan pencerahan.

Ingin melanjutkan pertengkaran, tiba-tiba seorang pria muda dengan kaca mata memasuki ruangan. Afra lebih melongo lagi sebelum duduk dengan cepat.

"Wow ... ini gurunya? Ganteng banget." Afra terpesona sekaligus heran, kenapa akhir-akhir ini dia dikelilingi oleh orang-orang yang tampannya maksimal?

"Apa kamu siap?" tanya pria dengan name tag, "David A. Wiguna" itu dengan menggunakan Bahasa Inggris.

"Ya, saya siap, Pak," jawab Adam dengan bahasa yang sama.

David sedikit heran dengan keberadaan gadis berhijab segi empat yang setiap ujungnya disampirkan ke pundak itu. "Siapa dia?"

"Pembantu saya, Pak."

David mengerutkan dahi. "Pembantu? Oh Mr. Aryasatya ... kamu sebaiknya menggunakan kata, asisten. Itu lebih baik."

Adam tak menyangka akan ditegur oleh David hanya karena memanggil Afra dengan sebutan, 'Pembantu'. Sekolah mereka memang mengutamakan penanaman sopan santun yang dianggap begitu penting. Adam sepertinya melanggar banyak hal selama ini.

Afra sendiri tak paham apa yang mereka bicarakan, karena cara bicara mereka sangat cepat seperti air. Dia memilih mengabaikan.

Les berlangsung dan Adam mengikutinya dengan serius. Sesekali mengangkat tangan untuk bertanya sebelum kembali mencatat beberapa hal yang dianggap penting.

Afra yang duduk di samping Adam itu heran dengan keseriusan Adam. Kalau cara belajar Adam seserius ini, bagaimana mungkin dia harus mengikuti pelajaran tambahan? Pikirnya bertanya-tanya.

"Apa kamu siswa paling rajin di sekolah ini?" tanya Afra sambil berbisik.

Adam menggeleng cepat. "Aku biasa saja."

"Hah ...." Afra menganga sebelum menutup mulut dengan cepat. Kalau standar biasa saja seperti Adam, lalu standar rajinnya seperti apa? Dia keringat dingin.

"Apa ini guru paling tampan di sekolahmu?"

Adam menoleh dengan ekspresi jengah. "Masih banyak yang lebih tampan. Bersyukurlah kamu gak masuk ke sekolah ini. Kalau gak, kamu gak fokus belajar setiap hari."

Kejam! Afra kesal dibuatnya.

***

Pengasuh Mr. A (TAMAT)Where stories live. Discover now