Bab 14

1.3K 200 18
                                    

Mutia hanya diam saja selama sisa perjalan menuju Malang. Tatapan perempuan itu hanya tertuju pada pemandangan di luar kaca jendela mobil. Mutia lebih irit bicara, perempuan itu menjawab atau menanggapi sekedarnya saja jika Bara mengajaknya berbicara.

Kecepatan mobil menurun ketika memasuki gang di perumahan elit. Mutia bergegas turun dari mobil ketika mobil telah berhenti sempurna di halaman rumah Hamzah-abang Mutia. 

Mutia membungkuk merentangkan tangan ketika keponakannya berlari ke arahnya, bersiap memeluk anak kecil itu untuk melepas rindu. Tapi target Sabria bukanlah Mutia melainkan Bara yang berdiri di belakangnya. 

"Papa Bear... papa bear.... Bia rindu sekali dengan papa Bear" Teriak Sabria senang lalu meminta gendong kepada Bara.

Hati Mutia patah untuk yang kedua kalinya melihat keponakannya lebih memilih suaminya ketimbang dirinya.

"Kalau rindu kenapa tidak telepon? Bia kan bisa pinjam hp papa atau mama" ucap Bara sambil menggendong Sabria menggunakan tangan kirinya.

"Bia sibuk" jawab bocah lucu itu.

Melihat Mutia yang nampak kecewa, Bara meraih telapak tangan Mutia lalu menggenggam tangan itu tepat sebelum Mutia melangkah masuk ke dalam rumah.

"Bia cium dulu pipi tante" pinta Bara kepada Sabria. Sabria menurut kemudian mencium pipi kanan dan kiri Mutia. Meskipun hal ini atas permintaan Bara, setidaknya bisa mengobati sedikit rasa kecewa di hati Mutia.

Bara dan Mutia masuk ke kamar tamu untuk istirahat sejenak karena telah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan. Lima jam perjalanan tanpa jeda sungguh sangat menguras tenaga Bara.

Tangan Bara dan Mutia masih bertaut meskipun sudah memasuki kamar karena Bara enggan melepaskan tautannnya. Bara menjatuhkan tubuhnya ke ranjang, otomatis Mutia ikut jatuh, tapi bukan di ranjang melainkan di atas dada bidang milik Bara.

Mutia mencoba bangun namun Bara menguncinya dengan kedua tangannya dirapatkan memeluk Mutia.

"Sebentar saja, biar capek abang hilang" pinta Bara kepada Mutia yang ingin beranjak dari pelukan lelaki itu.

Tidak dipungkiri, Mutia suka sekali diperlakukan romantis seperti ini. Suka Bara yang kembali memanjakannya dan peka terhadap perasaan tidak sukanya ketika gadis muda itu merasa tidak nyaman atau sedang bersedih. Suka terhadap sikap Bara yang mulai kembali seperti dulu setelah badai kesedihan dan kekecewaan datang menghantam mereka.

Tapi sayangnya, untuk sekarang rasa itu sudah berbeda. Hati Mutia terasa kebas. Mati rasa karena Bara menyembunyikan sesuatu di belakangnya.

Mata teduh itu menatap mata Mutia sangat dalam. Mata hitam legam itu membuat Mutia terpaksa mengalihkan pandangannya untuk memutus kontak mata dengan Bara.

Bara menggulingkan Mutia menjadikan gadis itu di bawah kungkungannya. Bara mulai mendekatkan bibirnya. Mutia sempat terhanyut, namun sekelebat bayangan pop up pesan dari Nana tadi menyambangi pikirannya. Mutia memiringkan wajahnya menolak halus ciuman yang akan di berikan oleh Bara.

"Aku capek" cicit perempuan itu. 

"Hanya ciuman saja tidak lebih" pinta Bara mengiba pada istrinya.

"Tapi aku capek" ulang Mutia, lebih tepatnya capek hati daripada capek fisik. 

Bara spontan mencium pipi Mutia yang membuat gadis itu terkejut. Bara kemudian berguling ke permukaan ranjang. Laki-laki itu memilih mengalah dan tidak memaksakan kehendaknya.

"Aku mandi dulu" Mutia beranjak dari ranjang lalu masuk ke dalam kamar mandi.

****

"Assallammuallaikum anak sholeh" Sapa Mutia kepada adik Sabria. 

Bayi kakaknya itu sungguh tampan. Wajahnya perpaduan antara papa dan mamanya. Tidak ada yang mendominasi. Alis tebal dan hidung mancung mirip papanya. Sedangkan mata hitam dan bibir mungil mirip mamanya.

"Mau gendong?" Tawar Haira, kakak ipar Mutia.

Mutia menggeleng "Ga ah, takut jatuh mbak" jawab Mutia. Gadis itu memang tidak punya pengalaman soal merawat bayi.

"Duduk sini" Bara menarik tubuh Mutia untuk duduk di sofa. Bara mengambil bayi laki-laki itu dari gendongan ibunya kemudian meletakkannya di atas pangkuan Mutia.

"Pegang seperti ini" Bara memposisikan kedua tangan Mutia agar nyaman dan aman saat menggendong si bayi.

"Udah cocok itu" ucap Umi, antusias melihat Mutia menggendong keponakannya.

Umi menepuk-nepuk punggung Bara untuk memberi semangat "Semoga cepet dapat momongan lagi ya nak" Doa Umi untuk menantu dan anaknya yang diamini oleh Bara.

Bara mengambil ponsel kemudian memfoto Mutia yang sedang menggendong si bayi. Bara lalu duduk di samping Mutia. Pria itu juga tidak ingin melewatkan kesempatan untuk mengambil foto bertiga bersama Mutia dan si bayi.

Bara menjadikan hasil foto mereka bertiga menjadi wallpaper di ponsel milik pria itu. Foto itu terlihat seperti keluarga cemara bukan? Tapi tidak bagi Mutia. Foto itu terlihat sebagai beban besar yang seolah di letakkan pada bahu perempuan itu.

Karena tidak ingin mengganggu si bayi yang sedang tidur, Bara dan Mutia memilih kembali ke kamar mereka. Bara masuk ke kamar terlebih dulu diikuti dengan Mutia yang mengekor di belakangnya.

"Abang ga cerita ke Umi kalau Mutia udah ga bisa punya anak?" Baru saja pintu kamar ditutup, Mutia sudah menyemburkan pertanyaan yang sejak tadi bercokol di kepalanya.

"Dokter hanya manusia biasa Muti, bukan Tuhan. Kata dokter sulit, bukan berarti tidak mungkin. Siti Sarah saja memiliki anak di usia 90 tahun" ucap Bara menenangkan Mutia.

"Dan umi sudah senja, usahakan jangan membebani beliau dengan masalah rumah tangga kita" pinta Bara.

Bara memang menyembunyikan kondisi Mutia dari keluarganya termasuk pada Hamzah dan Haira. Bara adalah tipe orang yang tidak suka menceritakan permasalahan rumah tangganya kepada orang lain termasuk ke keluarganya ataupun ke keluarga istrinya.

Mutia duduk di ranjang, dia menhela nafas yang memenuhi rongga dadanya. "Mutia perempuan yang udah ga sempurna bang. Jadi jangan terlalu berharap lebih pada Muti atau abang akan kecewa"

Bara ikut duduk di ranjang berhadapan dengan Mutia "Tidak ada manusia yang benar-benar sempurna Mutia, termasuk abang" Bara menggenggam ke dua tangan Mutia lalu mencium punggung tangan milik istrinya itu.

"Maaf untuk dua bulan ini jika abang menjadi suami yang tidak sempurna untukmu. Abang manusia biasa yang juga merasakan kecewaan, kegagalan, dan kesedihan. Abang larut dalam luka itu sampai-sampai mengabaikanmu padahal kamu lebih rapuh dari abang"

"Abang seharusnya bisa menjadi sandaran kamu tetapi malah abang melalaikanmu. Abang asyik menyembuhkan luka abang sendiri. Harusnya kita  mengobati luka itu bersama-sama sehingga kita dapat sembuh sama-sama. Bukan malah saling mengabaikan yang menimbulkan luka baru" ucap Bara.

"Maafin abang ya" mohon Bara sekali lagi.

Mutia mengangguk, matanya berkaca-kaca mendengar penuturan Bara. Setidaknya sikap Bara yang perhatian seperti bisa membuat hatinya sedikit lebih tenang meskipun tidak dipungkiri jika di hatinya masih ada ganjalan tentang kebohongan yang pria itu lakukan di belakangnya.

TRAPPED (END)Where stories live. Discover now