Bab 11

1.5K 191 19
                                    

Mata Mutia perlahan terbuka. Bau obat-obatan, suara-suara dari peralatan medis membuat kesadarannya berangsur-angsur mulai kembali.

Dilihatnya langit-langit ruang rawat inap itu dengan tatapan kosong. Matanya sayu, pikirannya melayang pada kejadian yang telah lalu.

Getaran hebat, suara riuh orang-orang seakan bergemuruh. Semua orang panik, berlari berdesak-desakan ingin terlebih dahulu keluar dari gedung bioskop untuk menyelamatkan diri. Metha berusaha menarik tangan Mutia untuk ikut keluar namun sayang pegangannya terlepas. Mutia jatuh terjerembab.

Mutia memeluk erat perutnya seakan menyelamatkan bayi yang ada di dalam kandungannya. Badan, perut, kaki, tangan, bahkan kepala gadis itu tanpa ampun terinjak-injak oleh para pemburu keselamatan. Mutia merasakan rembesan darah dan air membasahi rok yang ia kenakan.

Mutia ditarik oleh seseorang, namun tidak lama setelah itu ia merasakan perutnya seakan ditikam belati berkali-kali, sakitnya sungguh luar biasa. Tidak pernah seumur hidup ia merasakan sakit yang seperti ini. Mutia pada akhirnya hilang kesadaran.

Mengingat momen itu membuat Mutia sadar bahwa ia telah kehilangan bayinya. Air mata gadis itu tumpah, mengalir merembes sampai bantal yang ia kenakan.

Tangan Muti meraba pada perutnya yang telah rata, hanya terasa plester yang menutup sayatan pisau bedah pada perut bagian bawah gadis itu.

"Abang..... maafin Muti" lirihnya dalam tangis. Menyesal dan merasa kehilangan itu yang dirasakannya sekarang.

"Sayang kamu udah sadar" Mama Niken-ibu angkat dari Bara mencoba menenangkan Mutia. "Bara baru keluar mencari makan siang, sebentar lagi juga pasti kembali. Sudah jangan menangis ya" Mama Niken mengusap air mata Mutia yang membasahi pipinya menggunakan sapu tangan miliknya.

Mama Niken terpaksa berdusta, tidak sampai hati menyampaikan kepada Mutia jika Bara sedang menguburkan calon bayi mereka yang telah tiada.

Selang satu jam Bara datang menemui Mutia. Mama Niken sebelumnya memberi kabar lewat sambungan telepon jika Mutia telah sadar dan mencari dirinya.

"Hey sayang, kamu udah sadar" Bara tersenyum senang melihat Mutia telah sadar dari komanya. Mutia tahu senyum yang Bara tunjukkan hanyalah senyuman palsu, segaris senyum penuh luka karena kehilangan dan kekecewaan.

"Maaf" satu kata yang tidak bisa perempuan itu lanjutkan karena lidahnya terasa kelu, hanya buliran bening yang melesak keluar dari ujung mata Mutia sebagai gambaran kalau dirinya dihimpit penyesalan dan rasa bersalah yang menggunung.

"Shhh....shhhh" desis Bara. "Ga papa, semua akan baik-baik saja sayang" Hiburnya pada sang istri meskipun Hati Bara masih berkubang dengan luka yang sama.

*****

Sudah satu minggu ini Mutia pulang dari rumah sakit, namun rumah tangga mereka terasa lebih dingin dan berjarak dari sebelumnya.

Bara memang berada di rumah untuk menjaga Mutia namun pria itu lebih senang bekerja di ruang keluarga daripada di kamar mereka untuk menemani Mutia beristirahat.

Mutia tahu, luka bekas operasi di perutnya belum sepenuhnya kering. Namun perempuan itu mencoba untuk tidak membuat suaminya kerepotan mengurus dirinya.

Selepas isya' dilihatnya Bara yang tertidur di sofa dengan laptop yang menyala di atas meja. Mutia tahu pasti Bara lelah karena seharian bekerja dan dua minggu ini mengurusi dirinya yang tidak berdaya.

Mutia pergi ke dapur membuat makan malam sederhana untuk mereka berdua. Hanya ayam goreng yang dilengkapi lalapan dan sambal. Setengah jam setelah berkutat dengan menu itu akhirnya makan malam telah siap.

Mutia berjalan pelan-pelan karena masih terasa sedikit nyeri di perutnya. Perempuan itu duduk di sofa di samping Bara mencoba membangunkan pria itu.

Saat Mutia ingin membangunkan Bara, Mutia menyadari ada jejak air mata di sudut mata pria itu. Hati Mutia mencelos, dalam tidurnya ternyata Bara masih sesedih itu. Mutia mencoba menghapus air mata itu lembut supaya Bara tidak terusik dan setelahnya...

"Hai abang, ayo bangun. Kita makan malam dulu. Muti udah masak lho" Bara terbangun karena sentuhan dari Mutia. Pria yang biasanya selalu tersenyum saat istrinya membangunkannya atau sekedar memeluk untuk tidur kembali bersamanya kini berubah menjadi asing.

"Jam berapa ini?" Bara mengucek matanya kemudian beranjak bangun dan melewati Mutia begitu saja bahkan sebelum Mutia menjawab pertanyaanya.

"Jam 19.30 abang" ucap Mutia memberitahu, menoleh ke arah Bara mengikuti pergerakan pria itu. Rupanya Bara menuju ke kamar mandi untuk mencuci muka.

Mutia mengambilkan sepiring nasi untuk Bara dan untuk dirinya. Bara memakan nasi dan ayam goreng itu dalam diam.

Biasanya pria itu akan cerewet, bertanya dan bercerita apa saja semisal, kegiatan Mutia di rumah, kerjaan laki-laki itu di kantor, musik terbaru, film terbaru, dan hal random lainnya namun sekarang tidak ada lagi.

"Pedes ga bang sambal buatan Muti?" Mutia berusaha mencairkan suasana yang terasa sunyi ini.

"Pedes" jawab Bara singkat.

"Kalau ayam gorengnya enak ga?" Tanya Muti kembali.

"Enak" akhir-akhir ini Bara lebih memilih diam dan berkata seperlunya. Hal ini membuat hati Mutia merasa sangat bersalah.

Mutia mengambil sambal dalan jumlah banyak dari atas cobek kemudian perempuan itu sengaja menelannya agar merasa kepedesan untuk mendapat perhatian Bara.

"Shhh..shhh, ternyata pedes banget" keluh perempuan itu sambil mengibas-ngibaskan tangannya di depan mulut. Bibir mutia sudah berubah menjadi merah karena efek pedas dari cabe.

Bara biasanya akan mengomel panjang lebar jika Mutia makan sambal terlalu banyak. Mutia memang tidak menyukai pedas seperti Bara. Tapi kali ini Bara hanya diam saja, laki-laki itu hanya mengangsur air mineral yang semula ada di depannya ke hadapan Mutia. Tanpa pikir panjang Mutia menandaskan air itu sampai habis.

Bara selesai dengan makan malamnya lalu pria itu menaruh piring kotor di dishwasher.

"Abang lanjut kerja dulu" pamit Bara pada Mutia. Bahkan sekarang Bara meninggalkan Mutia yang belum sepenuhnya menyelesaikan makan malamnya.

Setelah kepergian Bara, air mata mutia tiba-tiba saja luruh. Entah mengapa dadanya terasa sesak melihat perlakuan Bara yang tidak sehangat dulu kepadanya.

Mutia kembali ke kamar. Gadis itu merebahkan fisik dan hatinya yang terasa lelah. Mutia memejamkan mata karena mengantuk efek dari beberapa obat yang ia konsumsi untuk memeprcepat kesembuhannya.

Di tengah malam Mutia terbangun karena merasa kehausan, perempuan itu meraba di sebelah ranjangnya yang terasa kosong.

"Bang..." panggilnya lirih namun tidak ada sahutan dari Bara. Mutia bangun dari ranjang, hatinya tiba-tiba diremas tangan tak kasat mata ketika melihat Bara lebih memilih tidur di sofa.

Mutia menutup pintu kamar perlahan. Niat semula untuk mengambil segelas air akhirnya ia urungkan. Tubuhnya merosot ke lantai. Perempuan itu membekap mulutnya tak ingin tangisnya terdengar oleh Bara.

Mutia takut... takut jika Bara terpaksa menerima dirinya yang sudah tidak sempurna. Takut jika Bara hanya terpaksa memaafkan dirinya padahal dia sangat kecewa. Takut jika Bara berusaha untuk tinggal namun sebenarnya ia ingin pergi dari sisinya. Takut jika Bara pada akhirnya sudah tidak mencintainya lagi.

TRAPPED (END)Where stories live. Discover now