19 b

37K 2.2K 101
                                    

***

Aku ngga matre, cuma lebih realistis, dan itu ngga dosa.

Berharap punya suami kaya, tampan, tinggi, badan keker, perut kotak-kotak minimal delapan, baik hati, mulut ngga bawel, ngga pelit, stamina oke, dan ... lupa, terlalu banyak harapan yang malah berbanding terbalik dengan kenyataan.

Sueb, jelas ngga masuk hitungan. Dihitung sampai seratuspun dia baru masuk nomer sekian ...

"Pa, kalo Enrico nongol sebelum Erica sah jadi bininya Kang Sueb. Boleh ya Erica nikah sama Enrico aja?" sengaja nego, sapa tahu masih ada harapan.

Bukankah jodoh pasti bertemu depan penghulu?

"Kamu pikir Sueb itu pemain cadangan?" Papa malah mencibir dengan wajah datar.

Kan Papa yang calling si Sueb, bukan Erica. Pengen rasanya ngomong gitu, sayangnya ... masih sayang nyawa. Bahaya kalau Papa ngamuk.

"Bukan begitu." Kedua ujung jari telunjukku bersatu dengan bibir monyong macam bebek. "Hati ini sulit dipaksa, Pa. Dia tahu ke mana harus berlabuh."

Melow ... cenderung lebay, habis binun harus pakek dialog apa.

"Lalu bagaimana dengan nama baik kelurga kita?!" Papa mulai bicara dengan nada tinggi. "Orang-orang pasti akan mengatakan yang tidak-tidak."

"Seperti inipun orang-orang akan tetap bernada sumbang." Mama datang sebagai penengah.

Dua lawan satu, apapun hasilnya semoga memberi dampak positif untuk masa depanku.Ibarat arisan, aku berharap nama Enrico yang nongol bukan ... semua juga tahu siapa. #hiks

"Tidak perlu." Tolak Papa. "Keberadaannya di mana saja kita tidak tahu."

Tadi semangat, sekarang lemes lagi. Benar-benar butuh keajaiban, apa itu laki lagi nyungsep ditelen macan?

Pengen nangis, huaaa ....

"Kakak!" Teriak Nadine yang masuk ke dalam kamar dengan napas terengah-engah. "Rose-Rosalyn telpon, katanya Si Om lagi dibui."

Berita baik sekaligus buruk. Baik mereka kirim kabar, sayang kabarnya buruk. Mana mau Papa dapet calon mantu residivis ... belum tahu juga sich kena kasus apa. Semoga ngga kena catut kasus prostitusi online.

Awas kalo iya, aku potong si otong biar ngga berulah.

Nadine menyodorkan hape butut jaman batu kesayangannya. Adek semata wayangku ini sayang sulit membuang sesuatu dalam hidupnya, bahkan terkadang benda di sekitarnya sering di daur ulang biar tetap bisa di pakai. Macam nasib panci bocor Mak yang beralih fungsi jadi pot kembang.

Lagian sayang banget kalo hape butut ini dibuang begitu saja, pan masih berguna. Bisa buat telpon gelap, LCD-nya dah metong. Sementara tangan yang lain main sosmed dengan hape yang lebih canggih.

"Halo."

"Aunty, tolongin Papi. Papi lagi di kantor polisi gara-gara ..." Rosalynku sayang mulai berkicau.

Singkat cerita, gerandong tengil bikin ulah minta dikawal melewati kemacetan kota. Masalahnya mobil petugas yang dimintai bantuan juga lagi mogok, gimana mau bantu? Duda tampan rupawan sayang lagi sariawan itu tidak mau tahu, malah ngamuk. Hingga terpaksa diamankan oleh pihak berwajib.

Ini mah cuma salah paham, ngapa si Nadine bilangnya dibui. Acem lo, Dine.

***

Setelah diskusi alot bersama para sesepuh juga orang tua. Alhamdulillah semua bisa mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi, kecuali Sueb yang mendadak jadi patung di pojokan.

Maaf ya, Kang. Namanya juga ngga cinta mana bisa dipaksa. Coba lo lebih tajir darinya pasti masih bisa dipertimbangkan.

Antara ingin bersorak bahagia dan ngga enak hati liat tampang Sueb yang melas. Terpaksalah kudu minta maaf, sengaja ngga sengaja ... tetap hatinya terluka karena aku.

"Kang, maaf ya." Cuma segitu, ngga bisa banyak-banyak takutnya malah kebablasan malah makin sakit hati dianya.

Wajah Sueb mendadak miris. Air mata lelaki bukan air mata buaya, sekali menetes artinya hati mereka sudah terlampau sakit. Semoga ngga sampai sakit jiwa.

"Mungkin ini sudah garis nasib Akang, Neng." Sueb mengusap sisa tangis di wajahnya, mencoba menyembunyikan luka di balik wajah tegarnya. "Saat ini kita belum berjodoh, tapi takdir Tuhan siapa bisa menebak?"

Jiaaahhhhh ... dikira Irwansyah, Kutunggu Jandamu.

Ogah, Kang. Nikah sekali ja buat seumur hidup. Lagian warisan gerandong pasti berjibun, kalo ndak gono-gininya masih sangguplah buat hidup tujuh turunan.

"Maaf, Kang. Saya mau permisi ..." Mending out-bye.

Kang Sueb belum bisa ikhlas, masih bisa kulihat wajah terlukanya dibalik spion mobil Papa. Bujang lapuk itu memandang kepergianku dengan Backsong lagu galau Bang Iwan 'Ijinkan Aku Menyayangimu'. Pasti ulah si Udin, gebetan Nadine.

Sayangku oh ...

Dengarkanlah isi hatiku

Cintaku oh ...

Dengarkanlah isi hatiku

Bila cinta tak mungkin menyatukan kita

Bila kita tak mungkin bersama

Ijinkan aku tetap menyayangimu ...

Aiihh, makin serem itu muka si Sueb kalo mewek. Awas lo, Markudin! Jangan harap bisa dapetin adek gue!

***

"Saya terima nikahnya Erica Hanna binti Darmadi dengan maskawin tersebut, tunai." Enrico mengucapkan ijab kabul dengan satu tarikan napas.

"Bagaimana saksi? Sah?"

"Sah." Teriak dua irang saksi serempak.

Harusnya happy ending, tapi mo happy gimana kalo nikahnya di kantor polisi huaaa ....

"Baby." Gerandong nyodorin tangan.

Kebetulan Enrico kenal beberapa petinggi di kepolisian, sehingga masalahnya bisa diselesaikan baik-baik. Hanya ngga bisa kelar cepet-cepet, jadi dengan sangat terpaksa aku harus terima dengan lapang dada nikah di kantor polisi.

Kucium punggung tangan suamiku dengan ta'dzim. Suami keren, saking kerennya baru ketemu langsung ngajak nikah. Tak tahu kondisi dan situasi langsung minta disahkan depan penghulu dan Kapolri sebagai saksi, padahal kasusnya belum selesai.

"Sabar, Ca. Mending dari pada lo kawin sama Sueb." Bisik hatiku yang masih kurang nyaman dengan kenyataan yang terjadi.

Huaaaa ... gue nikah apa lagi ngurus SKCK berjamaah?

"Baby, kenapa wajahmu merengut terus? kamu pengen ya?" goda Enrico, sumringah.

Sumpah, itu muka 'Mupeng' sangat. "Jangan ngarep aneh-aneh, Om."

"Kitakan udah sah kok masih panggil Om?" Enrico menarik pinggangku dan mengecup lekuk leherku dengan hasrat bergelora, Panas.

"Ngga mau 'itu' di kantor polisi." Rajukku malu-malu, tidak sadar dengan apa yang ku-ucapkan.

"Itu apa?" Enrico malah menggoda dengan mengeratkan pelukannya. "First night?"

Panas ini muka, pasti bedaknya kualitas jelek sampai bikin iritasi. "Apaan sich?"

Perut kotak-kotaknya aku cubit, perut aja keras apalagi bawah perut.

"Ehem." Suara Papa berdehem mengintrupsi obrolan absurdku dengan misua.

Aiiihh ... bangganya sebut kata 'Misua'.

"Bisa kita bicara?" pertanyaan itu ditujukan pada Enrico, bukan aku.

***

Kalo ada yang dari Jambi inbox donk ntar aku update doubel ada ehem2 nya #kedipin mata kelilipan

My Love Is Angry BirdTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang