Bab 20

646 51 3
                                    

"La!" Sang pemilik nama menoleh, menatap wajah teman satu kampusnya yang sedang menyorotkan tatapan penuh pertanyaan ke arah dirinya. "Lo kenapa?" tanyanya kemudian. Lala menarik napas dalam, memamerkan raut wajah damai, menandakan jika tak ada satu pun masalah yang mengganggu pikirannya.

"Gak apa-apa," balasnya singkat. Namun, Hanni tak kunjung menyingkirkan tatapannya itu. Kini, Hanni malah mengambil posisi duduk di sebelahnya, meletakkan ponselnya di alas gubuk, lantas memegangi pundak Lala. "Lo laper?"

"Apa wajah gue kayak orang kelaperan?" Lala membalikkan pertanyaan, menatap Hanni dengan malas.

"Ya ... mirip, sih, soalnya gue kalau laper juga gitu ...." Hanni menggaruk kepalanya yang tak gatal. Lala hanya memutar bola matanya malas. Kemudian, perhatiannya beralih ke sekitar, tampak satu per satu para petani mulai meninggalkan ladang rezeki mereka sembari membawa peralatan yang digunakan.

Lala mengernyitkan dahi, menoleh ke langit yang telah menunjukkan cahaya jingganya. "Udah sore aja? Padahal kita di sini dari pagi, lho," ungkap Lala. Hanni menatap ke arah yang sama oleh temannya itu. Kini, hanya ada mereka berdua dan tiga petani lainnya yang ada di gubuk. Mereka juga tengah bersiap-siap untuk kembali ke huniannya.

"Begitulah ...." timpal Hanni. "Kalau ngerjain sesuatu dengan fokus, jangankan waktu, jam makan aja suka lupa," sambungnya, pandangannya menerawang jauh.

"Bukannya tadi udah makan, ya? Yang rame-rame di gubuk itu apa kalau bukan makan siang? Ritual pesugihan?" cibir Lala. Hanni tak menggubris, sibuk mengamati apa yang ada di ujung sana, sebuah pemakaman umum yang berseberangan dengan sawah, hanya ada jembatan kecil untuk menghubungkan kedua tempat yang terpisah oleh sungai kecil.

Baru saja Lala ingin mengutarakan rasa kesalnya, tiba-tiba saja pundaknya ditepuk oleh seseorang, membuatnya dengan refleks menoleh ke arah belakang. "Ayo, Mbak, bali, iki wes sore." Seorang pria paruh baya memamerkan senyuman ramahnya.

Lala merefleksikan senyuman itu di bibirnya sendiri. "Ng-nggih, Pak, habis ini mau pulang," balasnya.

"Ora apik, lho, kalau belum pulang juga. Di sini udah ada yang pernah kena imbasnya, Mbak, gara-gara keluyuran waktu sore gini." Bapak-bapak itu menyambung kalimatnya. Entah kenapa, lagi-lagi bulu kuduk Lala berdiri, ditambah ingatannya kembali menyetel tentang cerita yang tadi ia dengar melalui seorang nenek-nenek. Namun, Lala berusaha menepis semua itu.

"Eh, itu orang ngapain, ya, di situ?" Semua tatapan menoleh serentak, ke arah yang Hanni tunjuk. Dari kejauhan, ada satu warga yang masuk ke dalam kuburan seorang diri. Hal itu tentu saja membuat Hanni menjadi bingung. "Berani banget dia ke sana sore-sore gini, sendirian lagi. Dia mau apa, sih?"

Seorang petani yang masih bersama dengan mereka pun menggelengkan kepalanya, seolah ia sudah tak asing dengan pemandangan ini. Lala menyadari hal itu, lantas mengulangi pertanyaan yang Hanni berikan. "Iya, Pak, itu siapa, ya?" ucapnya demikian.

"Panggil aja dia Dodo, manusia yang separuh jiwanya sudah diisi oleh togel. Gak pagi, siang, sore, malem, kerjaanya nongkrong di kuburan, cari wangsit katanya," jelas bapak itu singkat. Lala dan Hanni serentak mengangguk paham. Tentu saja, mereka berdua tak asing ketika mendengar kata togel. Bukan hanya di desa saja, melainkan di kota tempat mereka singgah tak kalah banyak jumlah orang yang menggeluti bidang judi yang satu ini.

Bapak itu kembali mengembuskan napas halus. "Kalian jangan seperti itu, ya. Kalau udah lulus nanti, cari pekerjaan yang halal dan tidak merugikan kalian sendiri." Setelah mengatakan hal itu, bapak petani kembali menepuk pundak Lala. "Ya sudah, Bapak mau pulang dulu. Ini ... kalian serius gak mau pulang? Apa kalian mau ...." Ia menunjuk ke arah kuburan. "Kalian mau ikut dia?"

Lala terkekeh. "Gaklah, Pak, kita itu anti yang namanya kayak gituan. Zaman sekarang cari uang halal banyak caranya, ngapain harus repot-repot tidur semalaman sama para jenazah?" Mendengar pernyataan dari Lala, bapak itu menyunggingkan senyumannya.

Setelah berpamitan dengan kedua mahasiswa itu, akhirnya mereka pun berpisah. Tersisa dua orang saja yang ada di gubuk itu, yakni Hanni dan Lala. Oleh karena cahaya matahari yangkian meredup, dan juga speaker tempat ibadah mulai menggema, keduanya juga memutuskan untuk beranjak pulang.

"Sekarang ...." Lala menggantung ucapannya. "Yuk, giliran kita buat pulang," ajaknya. Hanni mengangguk. Mereka berdua bangkit dari posisi duduk, lalu berjalan mengikuti jejak bapak-bapak yang baru saja melangkahkan kakinya terlebih dahulu. Selama perjalanan, Hanni dan Lala tampak lega. Tugas yang selama ini mengganjal di otak mereka, kini telah sirna dalam satu hari ini. Dengan begitu, mereka bisa tidur dengan nynyak setelah ini. Tanpa disadari oleh salah satu di antara mereka, sebuah benda pipih yang sangat berharga, masih tergeletak di alas gubuk.

***

Sepasang suami istri tengah duduk di sebuah meja panjang yang ada di dapur, menunggu kehadiran dua orang pendatang mereka yang belum juga kembali, padahal di atas meja itu, ada banyak hidangan lezat yang siap untuk menyambangi isi perut dengan sopan. "Ndi, koncomu wes bali?" tanya sang ibu rumah tangga kepada satu-satunya anak perempuan yang sedari tadi tak pernah bosan berdiri di atas pintu.

Gadis itu menoleh ke arah sang ibu, lalu menggeleng. "Dereng, Bu, Indi juga bingung, kenopo ora bali-bali, padahal wes jam semene." Nada bicara Indi menandakan bahwa gadis itu benar-benar khawatir. Tentu saja, melihat jam yang sudah semakin sore, kedua temannya itu belum juga menampakkan batang hidungnya.

"Mungkin iseh mlaku, Ndi. Sabar o sitik, paling sedilut neh bali." Sang ibu kembali berkata dengan nada lembut. Setelah beberapa menit berlalu, tiba-tiba saja sang ibu melihat putrinya yang merekahkan senyumannya, menatap jauh ke depan sana. Sang ibu mengernyitkan dahi. "Wes bali, Ndi?"

Tak menjawab, Indi segera berjalan beberapa langkah ke depan, menyambut kedua temannya yang sudah tiba di ambang pintu. "Akhirnya, kalian sampai juga. Aku bener-bener udah khawatir padahal, takut kalian tersesat." Indi menumpahkan seluruh rasa kegelisahannya, membuat kedua teman kuliahnya terkekeh geli.

"Ya gak mungkin, Ndi, sawah cuma di situ doang," balas Lala. Di sisi lain, Hanni lagi-lagi memusatkan fokusnya kepada hal lain. Ya, saat ini hidungnya mencium aroma yang membuat perutnya bergejolak. Hanni memejamkan matanya, menarik napas dalam-dalam dan menikmati sesuatu yang merebak ini.

"Ndi, baunya wangi banget, pasti ini dari masakan ibu kamu, 'kan?" Hanni melongokkan kepalanya ke dalam rumah. Namun, Lala berhasil merangkulnya dengan erat dan menjepit kepala Hanni.

"Dasar rakus! Kalau lagi di rumah orang itu bisa sopan dikit, gak? Kalau gini gue yang malu punya temen kayak lo ...!"

Hanni merintih ketika Lala mempererat rangkulannya. "Alah, bilang aja kalau lo juga laper, pakai malu-malu kucing segala, giliran dikasih mau-mau aja." Hanni membalas ucapan Lala dengan tak kalah menyebalkan. Karena apa yang baru saja ia ucapkan, Lala semakin kehilangan kesadarannya.

"Dasar kamu ...!"

Melihat tingkah kedua temannya itu, berhasil membuat Indi terkekeh geli. Ia pun segera melerai keduanya. "Udah, ah, ayo masuk, udah magrib ini, Ibu juga udah nungguin kalian berdua dari tadi. Oh, ya, tadi juga gue udah telepon kalian, tapi gak ada satu pun yang jawab," ungkap Indi.

"Eh, beneran? Duh, sori, ya, soal itu, tadi ponsel gue mati gara-gara kehabisan baterai, lupa gue cas semalem, jadi gak bisa angkat telepon dari lo. Kalau soal Hanni, gue rasa ponsel dia masih nyala, cuma ya anaknya memang gitu, rada so-"

"WADUH!!!" Suara tepukan kening berhasil mengalihkan pandangan Indi dan Lala. Mereka berdua secara bersamaan menatap ke arah Hanni yang telah memasang ekspresi pucat dengan keringat yang membasahi wajahnya. Tangannya tak pernah berhenti merogoh saku yang ada di sisi celana yang ia kenakan, menggantung harapan tinggi jika benda yang ia cari ada di sana.

Tak sempat bertanya, gadis itu terlebih dahulu mengutarakan masalah yang dialaminya. Dengan sepasang mata yang melotot hingga hampir keluar dari tempatnya dan juga seluruh tubuh yang bergetar hebat dalam waktu yang singkat, bisa ditebak jika sesuatu yang menimpa dirinya sangat darurat, sebuah hal yang sanggup menjadi mimpi buruk bagi setiap orang, di mana pun mereka berada.

"HP GUE KETINGGALAN!!!!"



NB : Sebagian bab telah dihapus. Jika ingin membaca selengkapnya, ada di Rogo Dedemit versi cetak. 😊

Rogo Dedemit (TELAH TERBIT)Where stories live. Discover now