Bab 7

817 72 2
                                    

Suasana malam kian pekat. Entah kenapa, ketiga gadis itu belum juga memejamkan mata. Mereka sedang sibuk membahas rencana yang akan mereka lakukan esok hari, mulai dari mengumpulkan berbagai informasi mengenai topik yang akan dibahas, serta masih banyak lagi plan-plan yang akan dilakukan.

Hanni tampak di ambang kesadaran. Samar-samar, matanya terpejam hingga beberapa kali ia terperanjat dengan sebuah ucapan yang dilayangkan kepadanya. Hal itu membuatnya tak begitu fokus mengikuti diskusi.

"Han, sumpah, gue bisa bikinin lo kopi kalau mau, biar mata lo bisa seger lagi," ucap Lala, lagi-lagi menganggetkan Hanni yang sempat terpejam sembari terduduk.

"Oh, gak, makasih. Huam ... gue masih bisa melek, kok." Gadis itu meyakinkan. Namun, apa yang diucapkan olehnya sama sekali tak membuat kedua temannya percaya, melihat warna bola matanya yang telah berubah menjadi kemerahan.

"Udah, gak apa-apa." Kini sebuah kalimat terlontar dari mulut tuan rumah. "Han, gak usah dipaksain. Tidur dulu, gih, mata kamu udah merah, tuh," ucapnya kemudian.

Hanni tersenyum, mengangguk pelan. Tanpa basa-basi, ia segera membaringkan tubuhnya di atas kasur. "Dasar kebo!" ejek Lala.

"Udah, kasihan dia, pasti capek habis perjalanan panjang. Oh, ya, kita lanjutin besok aja, yuk? Kamu juga pasti udah ngantuk, 'kan?" tanya Indi, melihat raut wajah Lala yang juga tampak letih. Ia tak tega.

"Ndi, jangan samain gue sama Hanni, lah. Gue masih bisa lanjut, kok, beneran. Lagi pula, kita, 'kan, harus kejar deadline," balas Lala. Namun, tak urung ia juga tak sengaja menguap di depan Indi, membuatnya terkekeh.

"Tuh, 'kan. Udah, tidur aja."

Awalnya, Lala sempat ingin membantahnya. Tak lama kemudian, karena mengakui bahwa rasa kantuk memang telah menyerangnya, akhirnya Lala pun memilih untuk mengalah dan menuruti perintah Indi. "Ya udah, deh, duluan, ya." Mengambil posisi tidur. Tak butuh waktu lama, Lala pun segera menyusul Hanni.

Indi tersenyum, ia merapikan semua catatan-catatan yang berserakan di atas kasur, menaruhnya di atas meja dengan laptopnya. Kemudian, Indi ikut menjatuhkan tubuhnya di samping mereka berdua, berusaha memejamkan mata. Tak lama kemudian, kesadarannya pun pudar, berganti dengan khayalan-khayalan yang berputar di dalam otaknya.

~~•~~

Indi terperanjat, segera mengambil posisi duduk mendengar suara ketukan keras yang ada di pintu depan rumahnya. Ia menolehkan kepala ke arah dua temannya, melihat mereka yang masih terlelap.

"Pak, Pak RT! Pak, Pak RT!" Suara itu menggema. Penasaran, Indi segera membuka pintu kamar, hendak menuju sumber suara untuk melihat siapa yang ada di sana.

Tepat setelah pintu kamar terbuka, sang bapak lebih dulu berjalan mendahului kamarnya, membuka pintu rumah yang diketuk itu.

Ceklek!

"Pak RT, tolong, Pak!" Orang itu memegangi kedua lengan Pak RT, membuat pria itu menjadi bingung. Indi berusaha mengamati semuanya dari belakang, disusul oleh sang ibu yang kini berdiri di sampingnya, sama-sama memasang ekspresi bingung.

"Tenang, Pak Ahmad, tenang!" ucap Pak RT, mengelus-elus pundak Pak Ahmad untuk menenangkannya. "Ono opo, Pak?" (Ada apa, Pak?) Dirasa tenang, Pak RT mulai melontarkan kalimat tanya.

"P–Pak Joko, Pak! P–Pak Joko!" Tergagap-gagap, jelas sekali bahwa saat ini pria itu sedang panik, entah apa yang membuatnya seperti itu.

"Kenopo? Ada apa dengan Pak Joko?" Kedua kalinya bertanya. Namun, orang bernama Ahmad itu seperti tak bisa menjelaskan situasi dengan kata-kata. Dengan begitu, ia menarik tangan Pak RT.

"Uwes, ikut saya, Pak!" ucap orang itu, tergesa-gesa.

"Yowes, sebentar!" Pak RT menatap Indi dan istrinya dengan raut wajah khawatir. "Kalian di sini saja, jogo umah!" pintanya. Walau rasa penasaran akan peristiwa yang sedang terjadi, Indi dan sang ibu mengangguk paham, sama-sama merasakan takut. Mereka memilih untuk menuruti permintaan.

Pak RT akhirnya keluar dari rumahnya, menuju ke rumah yang bersangkutan dengan jarak yang lumayan jauh. Selama perjalanan, berbagai pikiran negatif menerjang otaknya. Angin malam yang berhembus hari ini sangat berbeda dari yang sebelumnya, seolah ikut mendukung aura-aura negatif yang berseliweran.

Perlahan, rintikan mulai berjatuhan dari atas langit, pertanda ribuan air akan menghujani desa malam ini. Pak RT terus fokus akan langkahnya, mengikuti salah satu warga di desanya. Saat ini, pikirannya sangat khawatir, meski belum mengetahui apa yang sedang terjadi. Namun, rasa itu terus bertambah besar, ketika pria yang ada di hadapannya menuju ke salah satu rumah yang sangat tak asing bagi Pak RT.

Kini, tibalah mereka di depan rumah tujuan. Di luar rumah, suasana tampak ramai, lengkap dengan dengungan nada-nada bergosip. Semakin penasaran, Pak RT melangkahkan kaki, mendekati rumah itu. Ditutupnya lubang hidung segera, ketika posisinya telah sampai di ambang pintu.

Bau apa ini?

"Ke sini, Pak," ucap salah seorang warga, menuntun Pak RT untuk masuk ke sebuah kamar yang berada di ruang tamu. Di dalamnya, Pak RT telah melihat Pak Samad, seorang ustaz di kampung tersebut, sedang membacakan beberapa doa dengan lantang.

Pandangannya beralih, pria itu memegangi perutnya, merasa sedikit mual. Namun, tak urung ia tetap mendekat, memperjelas kondisi yang sedang dialami olehnya. Tubuh kurus kering, menyisakan tulang dan kulit saja. Tatapan tajam ke arah pojok kamar, seolah-olah ada yang sedang diwaspadai di sana. Tubuh Pak Joko terbaring kaku, dengan lubang mulut, hidung, dan telinga yang serentak mengeluarkan cairan bening berbusa berbau busuk, tepatnya amis. Bau itu menguasai ruangan tempat Pak Joko berada.

Di sampingnya, istri dan putra dari Pak Joko tak berhenti meneteskan air mata, merasa iba kepada pemimpin keluarganya itu. Dipegangnya salah satu tangan Pak Joko, sebuah kalimat bergumam dari mulut Ibu Rumi. "Seng kuat, yo, Pak."

Pak Joko berteriak, merasa kesakitan. Pak RT berusaha mendekatinya, meski kini perutnya telah mual sekali. "Ada apa ini, Pak?" Pertanyaan itu ditujukan kepada seorang pria dengan jubah putih serta sorban yang dikenakannya sebagai mahkota. Pak Samad menoleh sejenak, memberi isyarat bahwa tak bisa menjawabnya untuk saat ini, ia sedang melantunkan doa-doa dengan khusyuk, dibarengi dengan suara teriakan Pak Joko yang mana seolah menjadi satu irama.

Malam semakin mencekam, dengan raungan histeris Pak Joko. Kini matanya menatap ke langit-langit kamar, melihat benda tak kasat mata yang seperti memiliki ukuran yang sangat besar. Ketakutan, perasaan yang dapat dibaca dari sorot matanya. Perlahan, Pak Samad mengusap wajah Pak Joko, dari kening hingga bawah dagu. Betapa kagetnya Pak RT ketika melihat cairan hitam itu menyembur banyak, keluar dari mulutnya.

Sepasang mata Pak RT tak pernah luput darinya, memperhatikan tubuhnya yang semakin lemas. Pak Joko menutup matanya perlahan, ia tak lagi meraung-raung kesakitan.

Hingga akhirnya, pria itu tak lagi bergerak.

Ditatapnya pria bersorban itu dengan tatapan bingung. Masih dalam posisinya, Pak Samad memegang nadi yang ada di pergelangan tangan Pak Joko. Kemudian, beralih di bawah kedua lubang hidungnya. Menggelengkan kepala, lalu sebuah kalimat diucapkan olehnya dalam Bahasa Arab.

"Innalilahi wa innailaihi rojiun ...."

Rogo Dedemit (TELAH TERBIT)Where stories live. Discover now