Bab 9

792 78 5
                                    

Anak itu terbangun, memperhatikan sekelilingnya dengan tatapan bingung. Keringat dingin bercucuran dari pori-porinya, membuat kaos yang dikenakan menjadi basah kuyup. Danan bangun dari rerumputan itu, masih tak memalingkan penglihatannya ke arah pemandangan yang kini berada di depannya. Sebuah tempat dengan ribuan pohon yang tumbuh tinggi di sekitar.

Samar-samar dalam ingatannya, Danan seperti tak begitu asing dengan tempat ini. Ia berjalan pelan, menuju ke sembarang arah dengan matanya yang masih berkunang-kunang, kepalanya terasa sangat pusing. Lama mencerna, akhirnya Danan sadar bahwa sekarang ini ia sedang berada di tengah-tengah hutan desa. Seketika bulu kuduknya meremang, sadar jika tak ada seorang pun di sini, kecuali dirinya seorang.

"Danan ...." Tatapan Danan menoleh dengan cepat, tepat di belakangnya. Namun, tak ada satu pun objek di sana, selain tanah kosong dengan daun-daun yang berjatuhan di atasnya. Danan semakin ketakutan. Siapa yang memanggilnya?

"Danan ...." Suara itu seolah menggema. Kini, Danan menolehkan kepalanya ke arah atas. Seperti sebelumnya, tak ada hal menarik yang dijumpainya. Danan semakin waswas, mulai memandangi sekelilingnya dengan waspada, disertai irama angin yang tak beraturan, berembus melalui kedua lubang hidungnya.

"Sopo iku?" tanyanya dengan lantang. Suasana menjadi hening sejenak, tak ada jawaban atas pertanyaan yang baru saja dilontarkan. Namun, sebuah suara langkah kaki mampu menjadi penanda akan hadirnya seseorang selain dirinya. Danan mundur beberapa langkah, menatap tajam ke arah kegelapan di depan sana. Mendengar langkah kaki itu membuatnya bergetar ketakutan.

Ingin rasanya pergi dan berlari dari tempat itu, jika saja hal itu bisa dilakukan dengan mudah. Tidak untuk sekarang, rasa penasaran yang ada dalam benak, menjadi penghalang bagi Danan untuk melakukan aksi yang telah dipikirkan oleh hatinya. Anak itu hanya mematung, menajamkan telinganya, bersiap menyaksikan apa yang akan hadir di sana. Langkah kaki terdengar keras, pertanda jaraknya tak jauh lagi.

Danan merapatkan tubuh di batang pohon, menahan tangis yang hendak menyembur. Samar-samar, sosok itu mulai terlihat, memiliki tinggi yang lebih pendek darinya. Rambutnya lebat, terjuntai berantakan. Sesaat, sosok itu berhenti melangkah, memandangi Danan sembari menelengkan kepalanya. Kemudian, berjalan tiga langkah lagi ke arah depan, hingga sosoknya diterpa sinar rembulan dengan jelas, membuat Danan terperangah, merasa kenal dengannya.

"L–lastri?" Diperhatikannya gadis itu dari ujung rambut hingga telapak kaki. Wajahnya tampak pucat, lemas, dengan air mata yang menggenang di kedua kelopak. Bajunya lusuh, terkoyak-koyak dengan luka-luka tragis yang ada di sana. Perlahan, langkah Danan maju, mendekati anak malang itu. "L–Lastri, k–koe kenopo?" tanyanya, melihat keadaannya yang parah.

Tak ada sepatah jawaban yang keluar, selain tangis yang dihasilkan olehnya. Lastri seperti kesakitan, menampakkan semua penderitaan yang dirasakan olehnya selama berbulan-bulan lamanya. Danan mempercepat langkah, ia tak peduli lagi dengan ketakutannya sendiri, tergantikan oleh rasa iba yang kini menguasai hatinya. Tanpa pikir panjang, dipeluknya gadis lusuh itu, mengelus-elus rambut panjangnya.

"Wes, ora opo-opo, ono aku," (Sudah, tidak apa-apa, ada aku) ucap Danan menenangkan. Suara tangis teredam di dalam pelukannya. Selama lima menit waktu yang dihabiskan Lastri untuk menumpahkan segala rasa sakit yang dirasakan. Dirasa tenang, Lastri menyudahi tangisnya, lalu melepaskan pelukan Danan. Gadis itu menatapnya lekat-lekat, seakan ingin memberi tahu Danan akan sesuatu.

"D–Danan ...," ucapnya, tak luput dari sesenggukan.

Danan balas menatap. Kini keempat mata itu saling beradu dalam jarak yang lumayan dekat. "T–tolong, Nan, t–tolong," ucapnya lirih, memasang ekspresi penuh harap. Danan bingung dengan apa yang dimaksud olehnya.

"Ngomong opo koe, Las? Aku wes nang kene, koe wes aman. Saiki, njo bali karo aku!" (Bicara apa kamu, Las? Aku sudah di sini, kamu sudah aman. Sekarang, ayo pulang sama aku!) Danan menarik lengan gadis itu, hendak melangkah pergi. Namun, tubuhnya ditahan, sontak Danan menoleh kembali ke arah Lastri yang sempat menarik kembali tangannya.

Lastri menggeleng-gelengkan kepala, kembali meneteskan air mata. "Tolong, Nan, tolong!" ucap Lastri, semakin meninggikan nada bicaranya. "Koe ... karo warga kampung dalam bahaya! Nan, tolong selametke kabeh warga kampung. Cuma koe seng biso, Nan!" Lastri memegangi kedua pundak Danan, sementara bocah laki-laki itu masih terlena di dalam kebingungan, memikirkan maksud dari semua ini.

"Las, maksud e opo? Tolong opo? Bahaya opo? Kenopo kudu aku?" Rentetan pertanyaan keluar dari mulutnya, merasa tak mendapat kejelasan dari kalimat tersebut.

Tanpa disadari, angin mulai berembus dengan kencang, mampu membuat pepohonan terombang ambing, menggugurkan daun beserta rantingnya. Dari setiap sudut pohon, seperti ada jutaan pasang mata yang sedang mengamati mereka berdua, semua itu dirasakan oleh anak laki-laki itu. Danan menolehkan kepala ke sekitar, melihat suasana yang berubah secara mendadak. Seolah mendapat telepati, sebuah pikiran tersebit di otaknya.

Ada yang baru saja datang.

Rambut gadis itu tersibak ke belakang, langkahnya mundur satu per satu, menjauhi Danan. Wajahnya berubah menjadi sangat ketakutan, tahu apa yang akan terjadi pada dirinya. Ia hanya diam, tak sanggup menjawab pertanyaan yang Danan lontarkan. Lastri hanya mengucapkan kalimat terakhir, sekaligus menjadi momen perpisahan di antara keduanya. "Makhluk iku ... koe kudu ati-ati, Nan. Aaaaaa ...!!!"

"Lastri!!!"

Dalam sekedip mata, tubuh Lastri terpental jauh ke belakang, seperti ada sesuatu yang sedang menariknya. Danan berusaha mengejarnya. Namun, ia tak sanggup karena jaraknya dengan Lastri menjadi sangat jauh. Perlahan, suara teriakan yang menggema kian menghilang, tertutupi oleh suara malam yang kembali terdengar. Danan terduduk di tengah hutan dengan lemas, mengerang geram. Lagi-lagi ia gagal untuk menjaga temannya itu.

Kedua telapak tangan Danan mencengkeram tanah dengan kuat, menjadi terkeruk. Entah kenapa, api semangat di dalam hati Danan menyala-nyala, siap untuk meneriakkan sebuah nama yang harus ia selamatkan sesegera mungkin.

"Lastri ...!!!!"

~~•~~

Suara azan subuh berhasil membangunkannya. Dengan posisi terduduk, anak itu memandangi kasurnya yang telah basah dengan air tubuhnya sendiri. Disekanya kening, lalu berusaha mengatur napas agar kembali normal. Setelah beberapa menit menenangkan diri dan mencerna semua yang telah terjadi, Danan pun turun dari ranjang.

Mau bagaimana pun, Danan masih tak paham dengan mimpi yang baru saja dialaminya. Tak terlalu dipikirkan. Sebuah sarung dan peci yang disampirkan di samping pintu diambil olehnya. Kemudian, Danan mengenakan sarung itu untuk menutupi auratnya, serta memakaikan peci untuk menutupi mahkota kepalanya.

Dirasa siap, ia membuka knop kamar, menuju ke arah ruang tamu. Ditatapnya kamar kosong yang ada di depan, dengan pintu terbuka dan ranjang yang terlihat kosong. Danan berpikir jika ibunya masih belum pulang seusai tadi malam sempat pergi ke rumah Ibu Sumi untuk bantu-bantu.

Akhirnya, Danan bergegas menuju ke ruang tamu, mengambil sepasang sandal jepit yang telah lusuh itu, lengkap dengan goresan membentuk alphabet D, menjadi penanda bahwa itu adalah miliknya.

Diraihnya knop pintu depan, Danan berhasil membuka setengah dari pintu itu. Namun, tiba-tiba bulu kuduknya meremang, terutama di bagian tengkuk. Persis di belakangnya, tepatnya di ambang pintu kamar sang ibu, seperti ada seseorang yang sedang memperhatikannya.

Danan ingin sekali menoleh ke arah sana. Buru-buru ia mengurungkan niatnya tersebut, langsung membuka total pintu yang ada di hadapannya. Danan melangkahkan kaki keluar rumah, kembali menutup pintu dengan setengah dibanting.

Brak!

Ia pun menguncinya. Kemudian, Danan berjalan menuju ke musala dengan langkah tergesa-gesa. Perasaan takut yang menggerayanginya hatinya tak kunjung sirna. Ia pun mengucap istighfar berkali-kali, berharap semua itu hanya halusinasinya saja.

Rogo Dedemit (TELAH TERBIT)Where stories live. Discover now