Bab 11

771 73 20
                                    

"Ibu nangdi, Mas?" Indi menatap penasaran ke arah pria itu. Adi menolehkan kepalanya ke arah kamar Pak Joko yang tertutup oleh pintu.

"Mau esuk, kondisi Ibu drop. Ibu pingsan sakwise Bapak dikubur," jelas Adi singkat. Indi hanya bisa mengangguk dengan wajah prihatin.

"Aku ... turut berduka cita, yo, Mas." Mendengar penuturan itu, Adi menyunggingkan senyumannya ke arah Indi, meski itu semua jelas terlihat dipaksakan. Aura duka masih terlihat pekat.

"Lastri pie kabare, Mas? Krungu-krungu sempet ilang nang hutan pirang-pirang wulan. Opo bener, Mas?" Satu pertanyaan lagi terlontar dari mulut Indi.

Adi diam sejenak, sebelum menolehkan pandangannya kembali ke kamar lainnya yang berada di samping kamar Pak Joko. "Dijak ngomong yo gak iso, Ndi, mungkin anak iku iseh trauma." Adi mengembuskan napas panjang. "Ceritane dowo, Ndi, intine kabeh iku ... aneh."

Kini, Indi semakin penasaran. Gadis itu menatap Adi lekat-lekat. "Aneh? Aneh pie, Mas?" Adi menatap Indi tak kalah serius, membuat gadis itu tak sabar dengan apa yang ingin dikatakan olehnya.

"Aku gak iso jelaske, Ndi, aku dewe yo bingung ...." Jawaban itu tak sesuai dengan apa yang Indi harapkan, membuat gadis itu semakin bingung saja.

Namun, percuma saja, Indi tak mau menanyakan sesuatu lagi. Dilihat dari ekspresi Adi, sepertinya pria itu tak akan menjawab pertanyaannya. Jadi, Indi mengatupkan mulutnya lagi yang sempat terbuka sedikit, hendak mengucap sesuatu.

Tiba-tiba saja sebuah niat lain terbesit di benaknya. "Aku tak nilik i Lastri oleh, Mas?" Adi diam sejenak, mencoba berpikir terlebih dahulu sebelum menentukan keputusan. Indi mengerutkan keningnya.

"Kenopo, Mas?"

"Yakin, Ndi? Lastri gak bakal biso dijak ngomong ...."

"Durung reti nek durung tak coba, Mas. Sopo reti nek misal karo aku, anak iku gelem ngomong." Sekali lagi, kedua tatapan itu saling bertemu dengan durasi yang agak lama. Akhirnya, Adi pun mengangguk, menyetujui permintaan dari Indi.

"Yowes, njo, melu aku." Adi bangkit dari posisinya, begitu juga dengan Indi. Pria itu berjalan pelan menuju ke arah kamar yang terakhir kali ia lihat. Indi terus mengikuti Adi hingga tiba di depan pintu.

Derit papan kayu itu berbunyi, menggema di seluruh ruangan yang memiliki ukuran yang sedang. Indi mulai melangkahkan kaki, melewati ambang pintu dengan Adi yang memimpin.

Sepasang mata Indi mengamati kamar, dengan jendela yang tertutup gorden, membuat sinar matahari tak bisa sepenuhnya menjamah ruangan itu. Di sampingnya, terdapat meja belajar yang belum tertata rapih, masih terlihat buku-buku yang berserakan di atas sana.

Indi beralih menatap sebuah ranjang kecil yang terletak di sudut ruangan, menempel dengan dinding. Di atasnya, terbaring seorang gadis dengan selimut yang menutupi separuh badannya. Adi melangkahkan kaki dengan sangat pelan, takut jika anak itu terganggu dengan kehadirannya.

Dari jarak yang lumayan dekat, Indi bisa melihat penampakan wajah Lastri dengan sangat jelas. Gadis itu tampak berbeda seperti sebelumnya, dengan kulit wajah yang tampak pucat serta warna hitam samar yang menghiasi bawah kedua pelupuk mata.

Sepasang mata kecil itu tertutup, dengan napas yang mengembang lemah di dada anak itu. Adi mengusap kening Lastri dengan penuh kasih sayang. "Alhamdulillah, Lastri iseh sehat sakwise ilang nang hutan, cuma ... ono luka-luka sitik nang awak e, karo tulang nang pergelangan kakine retak, dadi Lastri durung biso mlaku nggo sementara iki," jelas Adi.

Tatapan Indi tak pernah luput dari tubuh itu. Adi kembali membuka suara. "Jarak hutan karo desa adoh, wingi bengi udan deres, aku heran kenopo Lastri biso balik nang umah, padahal iseh cidera. Selain iku, aku gak reti Lastri turu nangdi pas nang hutan, mangan opo, karo iseh akeh pertanyaan seng durung kejawab, Ndi."

Sekarang, Indi paham mengapa Adi menyimpulkan bahwa kehilangan Lastri menjadi sesuatu yang aneh baginya. Tak urung Indi juga memikirkan hal yang sama setelah mendengar semua cerita yang Adi lontarkan. Lima menit lamanya bercerita, Adi memutuskan untuk meninggalkan Indi sendirian di dalam kamar, memintanya agar menemani Lastri sejenak.

"Ndi, tak tinggal sek yo, gak opo-opo, 'kan?" Anggukan Indi membuatnya harus berada di ruangan tanpa Adi di sampingnya. Selama kepergian pria itu, Indi memutuskan untuk mengecek benda-benda yang ada di dalam kamar Lastri.

Hal pertama yang menarik perhatiannya adalah meja belajar dengan beberapa buku yang belum tertata rapih. Indi berjalan menuju ke sana, melihat berbagai jenis buku pelajaran milik gadis itu. Sesekali ia juga menemukan hasil nilai ujian yang terselip di antara benda-benda yang ada di sana. Dalam sekali lihat, Indi tahu mengapa kertas itu berada di sana.

Indi merapikan buku-buku agar tertumpuk dengan rajin. Tiba-tiba saja sebuah buku dengan sampul yang berbeda dari lainnya menarik perhatian Indi. "Buku diari ...," gumam Indi pelan. Ia mulai membuka buku itu, membaca setiap kalimat yang tertulis di sana. Sepertinya Lastri senang menuliskan apa yang ia rasakan dan alami ke dalam sebuah buku.

Beberapa kali Indi menyunggingkan senyum, membaca bagian yang menurutnya sangat lucu. Siapa sangka, ada nama seorang anak laki-laki yang tertulis di sana dengan jumlahnya yang sangat banyak. Indi bisa memahami itu semua hanya dengan membacanya saja.

"Perilaku becik dibales karo perilaku becik." (Perilaku baik dibalas dengan perilaku baik.).

Indi menoleh dengan sigap. Jantungnya mencelus, melihat sepasang mata kecil yang menatapnya dengan tajam, sama sekali tak berkedip. Indi menyingkirkan tubuhnya dari meja belajar. "Lastri?"

"Iku juga berlaku nang sebalik e." (Itu juga berlaku di sebaliknya.)

Tubuh Indi tersentak, melihat Lastri yang kini bangkit dari posisinya, duduk di tepi ranjang dengan pandangan yang sama sekali tak beralih. Perlahan, anak itu menyungging senyumannya, memamerkan beberapa giginya yang sudah tak ada di tempat, dengan warna darah yang masih terlihat samar-samar di sana.

"Trah bejat iku bakalan keno sibat e. Perilaku seng dilakoni bakalan balik reng awak e dewe. Opo seng aku omongi bener, 'kan, Nduk?"  (Manusia-manusia jahat itu akan kena imbasnya. Tindakan yang dilakukan akan balik ke diri sendiri. Apa yang aku bicarakan benar, 'kan?).

Tubuh Indi bergetar hebat. Ingin rasanya berlari keluar dari kamar itu, tak kuasa menahan takut melihat wajah Lastri yang semakin mengerikan, entah apa yang terjadi dengan anak itu. "L–Las ...?"

Seluruh tubuh Indi tak dapat bergerak, seolah ada yang menahannya. Jeritannya tertahan ketika Lastri berusaha untuk berdiri dengan satu kakinya yang berwarna keunguan itu. Bunyi gemertak tukang terdengar dengan jelas ketika kaki itu berhasil menapaki tanah dengan sempurna. Kini, Lastri berdiri menghadap ke arah Indi.

Lastri menarik napas dengan khidmat, seolah mencium sesuatu dari tubuh Indi. Anak itu menelengkan wajahnya ke kiri, dengan senyum mengerikan yang masih terpampang di wajahnya.

"Awakmu iku keturunan salah sijine, aku biso reti lewat ambu iki." Lastri terkekeh-kekeh, seolah merasa senang dengan apa yang baru saja ia ketahui. Kemudian, Lastri membenarkan posisi kepalanya, mendatarkan senyumannya. Kini, Lastri menatap Indi dengan sorot mata penuh amarah.

"Wes siap mati, Nduk?"

Rogo Dedemit (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang