Bab 12

683 62 5
                                    

"Wes siap mati, Nduk?"

Perlahan, Lastri berjalan mendekat, bersamaan dengan langkah mundur yang Indi lakukan. Pandangan kedua mata Indi tak luput dari seorang gadis yang ada di hadapannya, sedang menatap tajam ke arah dirinya dengan hawa membunuh yang sangat pekat.

Lastri terkekeh geli, melihat ekspresi ketakutan yang Indi tampakkan, seolah itu adalah kenikmatan tersendiri baginya. "Ojo wedi, Nduk, kabeh iki uwes takdir. Koe-koe Kabeh pancen pantes mati."

Lastri kembali menyunggingkan senyuman mengerikannya, senyuman yang sama sekali tak pernah ditampakkan oleh si pemilik raga yang asli. "Mati ...!" Lastri berlari ke arah Indi. Tepat sebelum ia melakukan itu, Indi lebih dulu berlari ke arah pintu, berharap bisa keluar dari ruangan ini sesegera mungkin.

Sayangnya, keberuntungan kali ini tak berpihak kepada Indi. Tak mau kalah cepat, Lastri mengubah jalur terjangannya, menuju ke arah Indi, lalu menarik rambutnya dari belakang, membuat langkah Indi tertahan.

"Keno koe, Nduk!"

"Tolo–akh ...!" Lastri membanting Indi ke arah lantai, membuat kepala Indi terbentur ke bawah dengan sangat keras. Lastri berjalan menuju ke arah pintu, menutup, mengunci, lalu dengan tenaga besar yang datang secara tiba-tiba, Lastri menarik gagang pintu kamar hingga lepas. Kini, Indi tak mempunyai akses untuk keluar dari sana.

Lastri menunduk ke bawah, menikmati pemandangan Indi yang sedang mengaduh kesakitan, memegangi kepalanya dan menatap ke arah Lastri dengan waspada. Seluruh tubuh Indi bergetar hebat, membuat Lastri semakin gembira.

"Las, sadar, Las ...!" seru Indi. Lastri kembali menelengkan kepalanya, memasang ekspresi bingung. Tanpa diduga, Lastri kembali mendekati Indi. Kini, Lastri merentangkan kedua tangannya, memamerkan kuku-kukunya yang telah panjang, dihiasi dengan warna-warna kecoklatan.

"Mati, mati, mati ... Nduk!!!" Beberapa kali Lastri berusaha untuk meraih wajah Indi. Namun, Indi menahan tangannya itu agar Lastri tak melakukan hal yang tak diinginkan olehnya. Karena itulah, Indi mendapatkan goresan kuku bertubi-tubi di seluruh pergelangan tangannya.

"Lastri ...! Sadar, Las! Iki Mbak Indi, Lastri ...!" Berulang kali Indi mencoba menyadarkan gadis itu. Sayangnya, Lastri sama sekali tak menggubris ucapannya, fokus dengan satu tujuannya saat ini, yakni membunuh Indi dengan sadis.

Lastri mencengkeram kedua pergelangan Indi, menahannya agar Indi tak lagi melindungi dirinya sendiri. Dengan wajah keji dan tatapan kosong, salah satu tangan Lastri meraba-raba pergelangan tangan Indi, mencari-cari bagian yang sedang ia tuju. Kemudian, pergerakan tangan Lastri terhenti di kelima jari-jemari milik Indi.

Krek!

"AKH ...!!!!" Lastri tertawa terbahak-bahak, meludah beberapa kali ke wajah Indi. Di sisi lain, Indi menangis hebat, melirik ketiga jarinya yang mengarah ke arah yang tak wajar. Rasa nyeri yang hebat langsung menjalar di sana.

Lastri diam sejenak, seperti sedang memikirkan cara apalagi yang akan ia lakukan untuk menyiksa mangsa di hadapannya ini. Kedua bola mata yang berwarna putih polos dengan urat-urat berwarna merah yang ada di bawahnya, memperhatikan Indi yang tak henti-hentinya meronta kesakitan.

Melihat bibir Indi yang menganga lebar ketika menangis, sebuah ide mengerikan kembali terbesit. Lastri mencengkeram bibir Indi, membuatnya agar selalu menganga lebar. Fokus Lastri terpaku ke sebuah daging yang bergerak-gerak di dalam sana. Kemudian, Lastri mendekatkan bibirnya ke arah Indi, memamerkan gigi-giginya yang tajam, siap untuk melahap habis sesuatu itu.

Sadar dengan apa yang akan dilakukan, kedua bola mata Indi melebar. Indi terus menahan wajah Lastri dengan telapak tangannya. Namun, lagi-lagi Lastri berhasil menepis semua itu. Entah apa yang membuat tenaganya mendadak menjadi mengerikan, seolah dua kali lipat lebih kuat dari Indi.

Indi hanya bisa pasrah, dengan air mata yang mengucur deras dari kedua matanya. Indi memejamkan mata, bersiap untuk sesuatu yang sangat menyakitkan, yang akan dirasakan oleh setiap urat di bibirnya.

Brak!

"Lastri!" Sepasang tangan besar itu meraih tubuh Lastri, menjauhkannya dari tubuh Indi yang tergeletak tak berdaya. Adi langsung mengunci tubuh Lastri dengan sigap. Lastri meronta-ronta hebat, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman kuat itu.

"Wani-wanine koe ngalangi aku! Koe-koe kabeh kudu tunduk karo aku! Aaaa ...!" (Berani-beraninya kamu menghalangi saya! Kalian semua harus paruh sama saya!).

"Kenopo koe Las? Sadar, Las, iki masmu dewe!" Adi menampar pipi Lastri keras, berusaha untuk menyadarkannya. Lastri tak bergeming, meski pipinya kini berwarna merah merona, gadis itu terus melawan, membuat Adi mengucurkan keringat yang deras.

"Argh ...!" Adi memejamkan kedua matanya, mengernyitkan seluruh wajahnya. Aliran berwarna merah tua telah membanjiri tangannya, berasal dari sebuah gigitan kuat dari seorang bocah yang sedang ia tahan. Adi tak sanggup lagi menahan rasa perih itu, membuat kuncian tubuhnya melonggar. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, Lastri berhasil lolos darinya, kembali menerjang ke arah Indi.

Lastri mencekik Indi dengan kuat, hingga Indi sulit untuk menghirup oksigen di sekitarnya. Tak cukup puas, Lastri membentur-benturkan kepala Indi ke lantai dengan sangat keras, membuat seluruh kepala Indi terasa sangat berat, rasa pusing menguasai kepalanya, seolah menembus sampai ke bagian otak.

Kini, pandangan Indi mulai kabur, tubuhnya mulai melemas, sedangkan Lastri belum juga menghentikan aksinya. Di ambang kesadarannya, mendadak Adi kembali muncul dari belakang Lastri, memukul tengkuk lehernya dengan kuat, membuat Lastri seketika jatuh pingsan di atas tubuh Indi.

Adi menyingkirkan tubuh Lastri, lalu membantu Indi untuk bangkit dari baringnya. Indi menatap ke salah satu tangan Adi, melihat sebuah luka menganga di sekitar jempolnya, mengucurkan darah yang lumayan deras.

"Astaghfirullah ...! Ono opo iki?!" Tiba-tiba saja Ibu Sumi tiba di ambang pintu, menyaksikan pemandangan mengerikan di kamar ini. Tatapan Ibu Sumi mengarah ke arah Lastri yang sedang tak sadarkan diri. Kemudian, tatapannya teralihkan ke arah Adi, dengan segudang pertanyaan yang siap ia lontarkan, terlihat dari sorot kedua matanya.

"Ceritone dowo, Bu, Adi bakal jelaske kabeh, mengko." Adi membantu Indi untuk berdiri, memapah tubuhnya yang mulai kehilangan keseimbangan, sementara Ibu Sumi mengangkat tubuh Lastri, membaringkannya di atas kasur. Kemudian, bergegas untuk mengambilkan obat untuk menangani luka-luka yang diderita oleh Adi dan Indi.

"Mas ...." Adi menoleh ke arah Indi, mendapati jika wanita itu juga menatap dirinya. Adi menggelengkan kepala, tak mampu menjelaskan tentang apa yang sebenarnya terjadi. Terlalu banyak misteri yang sudah Adi simpan di dalam benaknya, tentang rentetan kejadian di luar nalar yang menimpa hidupnya akhir-akhir ini, bermula ketika adiknya yang hilang di tengah hutan, lalu kembali beberapa bulan setelahnya.

Namun, kini, Lastri tampak liar, sama sekali tak mengenali orang-orang di sekitarnya, mencoba untuk melukai mereka dengan brutal. Dirinya yang sekarang bukanlah dirinya yang dulu. Sikap yang Lastri tampakkan berbanding jauh dengan apa yang ia miliki dulu. Kini, Adi menyadari akan sesuatu, kebebasan yang dimiliki adiknya saat ini, sangat berbahaya bagi orang-orang di sekitarnya.

"Kene kudu luru tali!"

Rogo Dedemit (TELAH TERBIT)Where stories live. Discover now