08. Cerita Qiara

16 10 7
                                    

bismillahirrahmanirrahim.

aku update lagi, bestie!

eum mulai dari bab 7 ada beberapa scene yang aku hapus, ngga satu bab, jadi, buat kalian yang udah baca sampai bab ini lanjut aja bab nya, ya. kalau kalianl lebih penasaran sama alur dan plot twist nya kalian nabung aja buat beli novelnya.

terus dukung aku, ya! karena penulis tanpa adanya readers itu ngga bakal ada di titik ini.

happy reading and enjoy, bestie!

***

Permasalahan kekeluargaannya bisa diselesaikan, tetapi ada hal yang belum tuntas dari pikiran Qiana.

Insiden dua belas tahun lalu menyangkut nyawa dan kepercayaan. Kepercayaannya sebagai anak tidak sepenuhnya dipercaya lagi oleh orang tua. Namun, putri bungsu akan berusaha untuk dapat mengembalikan kepercayaan orang tuanya.

Ia diam bukan tidak perduli, Qiana akan berhenti sejenak dan melanjutkan lagi dengan teka-teki sang kakak.

Jam sepuluh kakaknya belum menampakkan batang hidungnya, padahal berangkat ke pesantren sudah lewat satu jam yang lalu. Biarkan terlambat, perempuan itu tidak perduli, ia hanya butuh jawaban dari masa lalu.

Sedari tadi tidak henti pria dengan gamis putihnya menyerukan segera berangkat ke pesantren, bodyguard suruhan abi-nya sudah menunggu di mobil, bahkan koper sudah masuk di bagasi.

“Ana, kamu berangkat aja, Sayang. Nanti di sana sampainya kesorean loh.” Bundanya juga menyuruh ia berangkat, Qiana seperti diusir dengan nada halus.

Anak itu tampak dingin, orang tuanya diacuhkan begitu saja. Empat kali begitu, Qiana menghela napasnya pelan mencoba mengontrol hatinya.

“Sepuluh menit lagi, kalau Ara nggak datang, Ana berangkat.” Balasan yang terlontar dari bibir kecilnya, sangat datar dan tidak ada aura terang.

Pria dan wanita menatap satu sama lain, lalu mengangguk kecil sebagai balasan. “Abi dan Bunda masuk dulu, kalau mau berangkat izin dulu, ya?” ujar Aza lemah.

“Iya.”

Beberapa lama kemudian, perempuan berhijab hitam pashmina pun datang dan menghampiri adiknya yang belum sadar akan kehadirannya. Matanya menatap heran dengan keberadaan sang adik yang masih di perkarangan rumah.

Lamunan Qiana buyar ketika merasakan sentuhan di bahu kanannya, kehadiran Qiara memfokuskan tujuan awal Qaiana.

“Aku mau tanya sama kamu, Ra,” ujar gadis itu to the point.

Qiana melipat kedua tangannya di dada, menyelidiki kecurigaan yang ditutupi oleh kakak sulung.

“Soal kecelakaan dua belas tahun lalu itu, apa Marvel ada sangkut pautnya?” Pertanyaan yang keluar dari mulut adiknya sukses membuat Qiara membeku.

“Apa keluarga Marvel penyebab kecelakaan itu?”

“Apa kamu memaafkan Marvel?”
“Kenapa diam, Ra? Aku butuh jawaban, kamu nggak mau sedikit cerita tentang dua belas tahun lalu?”

Perempuan yang biasanya irit bicara, sekarang bertubi-tubi melontarkan pertanyaan.

Tidak ada hentinya memaksa sang kakak untuk bercerita, tentu ini menjadi urusannya karena ia dituduh atas perbuatan yang tidak ia lakukan.

“Ini aku sediakan kertas buat kamu nulis, singkat aja nggak apa atau kamu menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi nggak masalah. Aku hanya ingin tahu apa hubungan kamu dengan Marvel,” cerca Qiana sembari mengeluarkan secarik kertas yang diterima oleh Qiara dengan tangan gemetar.

Sudah banyak mengeluarkan unek-unek, perempuan di depannya tidak bergeming. Qiana menghela napas panjang untuk menenangkan hatinya.

“Kamu menginginkanku terus menjadi tersangka? Apa abi sama bunda tahu kalau keluarga Marvel adalah orang yang menabrakmu dan Marvel dalang di balik kecelakaanmu, Ra?” tanya Qiana lagi. Ia akan mengeluarkan semua pertanyaan yang sudah mengganjal sedari tadi, sehingga ia akan menemukan jawaban yang keluar dari kembarannya.

Qiara mengembalikan kertas tadi kepada sang empu, berbeda dari sebelumnya yang sudah ada bercak tinta merah.

Masuk dulu ke dalam rumah, nanti akan kuberikan jawaban tentang insiden dua belas tahun lalu, jika kamu menginginkan jawabannya ikutlah bersama abi dan bunda.

Membaca isi tulisan itu, tanpa banyak berucap seperti tadi, anak bungsu mengangguk menyetujui.

“Loh, Sayang?” Aza melihat kedua putrinya beriringan masuk ruang keluarga terkejut dan bingung.

Mereka melemparkan senyuman tipis untuk menanggapi. Namun, sebagai perwakilan, anak kedua itu berucap. “Ara akan sedikit cerita tentang kejadian dua belas tahun lalu, Bi, Bun.”

Qiara memberikan lipatan kertas yang penuh dengan coretan tangan. Kedua orang tuanya dan adiknya membaca dengan teliti, di tengah paragraf, mereka terkejut melihat satu nama yang ia tulis tadi.

***

Di perjalanan hanya keheningan melanda, di tengah keramaian penuh kendaraan berlalu lalang, banyak bangunan gedung juga yang menjulang tinggi, gadis dengan tubuh mungil merengkuh tubuhnya sendiri.

Semua pikiran di dalam otak sedikit berkurang, rasanya benar-benar jenuh hari ini, beban yang dulu tersimpan menjadi tanda tanya, sekarang ia menjadi mengerti.

Awalnya tersalut emosi karena melihat tulisan tadi, tetapi ada kemungkinan jika seseorang itu sengaja atau tidaknya melakukan hal yang merugikan orang lain.

Perlu diselidiki orang itu. batin perempuan yang sedang perjalanan menuju pesantren.

***

hayo, gimana sama bab ini?

kasih satu kata bab ini, dong?

next or no?

jangan lupa vote, ya!

Tak Lagi Salah (Terbit)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora