04. Insiden

42 37 93
                                    

bismillahirrahmanirrahim.

bener double up, ‘kan? hehe.
ini udah bakal konflik, bestie. siap-siap, ya!
ada tebak-tebakan juga wkwk.
ini konfliknya ngga berat-berat jadi aman.

jangan lupa vote dulu.

happy reading and enjoy!

***

Sudah berulang kali ia mendapat penolakan, perempuan itu masih saja berusaha membujuk kedua orang tuanya.
Semua yang dilakukan oleh Qiana tidak sama sekali berhasil untuk membujuk Reagan dan Aza.

Qiana benar-benar bersikeras, ia tidak suka di pesantren karena direndahkan seperti satu jam yang lalu, menjadi korban bullying yang dilakukan para seniornya.

“Bunda, Ana mohon kabulin permintaan Ana sekali ... aja,” ujar Qiana memelas.

Qiana bak anak kecil yang merengek meminta permen kepada Ibu.

Aza menggeleng pasrah, berulang kali ia menggelengkan kepalanya bukan sebagai jawaban untuk menolak tanggapan Qiana, tetapi wanita itu juga bingung. Banyak sekali pikiran yang menggangu dirinya, Aza pusing.

“Ana, jangan buat Bunda setres gara-gara permintaan kamu itu!” tegur Reagan berusaha meredakan kemarahannya.

“Abi ingatin, di tempat baru itu butuh waktu nyaman, harus mudah berinteraksi sama orang sekitar, dan harus lapang dada ketika orang di sekitar belum sepenuhnya untuk menerima orang baru, tapi kamu harus percaya sama Abi kalo beriringnya waktu, pasti mereka mau menerima kamu sepenuhnya.”

Perempuan itu menghela napasnya berat, berbagai penjelasannya tidak kuat untuk meluluhkan hati Reagan dan Aza.

Permintaan Qiana hanya satu, ia ingin pindah ke pesantren lain. Ia tidak masalah akan benar-benar menetap di pesantren, tetapi ia tidak ingin di tempat tholabul ilmi justru menjadi tempat bullying yang ia bayangkan.

Perempuan yang sedari tadi diam menyimak, ia mulai beranjak menghampiri Qiana. Elusan lembut itu di bahu kanan Qiana, melihat sang empu memberikan senyuman yang terbaik untuk menguatkan adiknya.

Memberikan secarik kertas, diterima kertas itu oleh Qiana, lalu dibaca isi tulisan tersebut yang membuatnya paham.

“Benar kata Abi, Ana harus mengerti situasi sekarang. Ada waktu untuk mereka menerima Ana sepenuhnya. Kalau mereka menyakiti hati Ana tanpa ada kesalahan yang Ana perbuat, maka mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata, itu semua ada di surah Al-Ahzab ayat 58.”

“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, tanpa ada kesalahan yang mereka perbuat, maka sungguh, mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. Al-Ahzab 33: Ayat 58).

***

“Bawa ke tempat rahasia aja, deh, Vi.” Luna dan Alisa menatap Qiana sinis.

Livia mengangguk setuju, lalu mulai menyeret lengan Qiana kasar membawa ke tempat rahasia itu yang menjadi saksi rencana mereka.

“Eh, gue mau dibawa ke mana?” Qiana panik dan berusaha melepaskan lengannya dari Livia.

Mereka bertiga menghiraukan teriakan Qiana dan meluruskan rencana jahatnya.

Hari pertama masuk pesantrennya adalah hal yang buruk baginya. Reagan dan Aza memasukkannya ke tempat yang salah.

Suara benturan itu menyaring di kamar mandi umum milik pesantren, napas Qiana sudah tidak teratur karena terlanjur emosi saat dirinya didorong kasar oleh Livia.

Mereka bertiga tersenyum remeh karena penampilan Qiana yang sudah berantakan.

“Maksud lo semua apa, sih?!” gertak perempuan itu sudah menggebu-gebu.

Melihat korbannya sudah terpancing emosi, Livia tersenyum senang. “Kamu itu badgirl, nggak pantas anak badgirl di pesantren! Kita tahu kalau kamu pasti dipaksa sama orang tua benar, 'kan?” tebak Livia tepat.

Qiana sudah berlinang air mata, ini benar-benar hal yang sama sekali tidak ia inginkan. Hari ini adalah awal yang buruk ia di pesantren.

“Itu semua nggak ada urusannya sama lo, berhenti buat urusin hidup gue, bisa?” sentak Qiana kesal.

Livia mengedikkan bahunya acuh. “Badgirl nggak cocok pakai hijab dan kamu harus lepas hijab kamu.” Tangannya menarik paksa hijab Qiana hingga terlepas.

“Akh ... sakit!” pekik Qiana kesakitan.
Mereka langsung meninggalkan Qiana yang sudah lemah setelah punggungnya didorong kasar hingga terhenyung membentur ember.

Setelah gue tinggal di tempat baru, mereka sama kayak abi yang sama sekali nggak menginginkan kehadiran gue. batin Qiana yang sudah banjir air mata.

Penampilan perempuan itu sudah berantakan, mengelap air matanya kasar, tujuannya sekarang adalah roftoop pesantren.

Ia berjalan pincang karena kakinya terkilir, menuju ke ujung pembatas itu tanpa rasa takut yang melekat pada dirinya.

Tempat yang lumayan tinggi itu sangat mempermudah dirinya dengan sekali percobaan.

Langkah demi langkah, kedua kaki itu mengayunkannya ke depan. Satu langkah lagi ... Qiana merasakan pelukan hangat dari belakang.

***

hayo, siapa yang meluk?

mikir kalo ana beneran bunuh diri jadi hampa, padahal kan ini masih awalan ya ngga enak juga masa tokohnya langsung kick dari cerita? ada masanya, tapi nggak tahu bener ngga-nya wkwk.

vote ye bestie!

Tak Lagi Salah (Terbit)Where stories live. Discover now