03

3.1K 286 23
                                    

"Inna," bisik Ardan lirih. Menyuarakan kegembiraan melihat wanita yang ia cari selama ini berdiri di hadapannya.

Namun di lain sisi, Inna hanya menatap Ardan tanpa ekspresi. Tidak menunjukkan satu hal pun yang menunjukan emosinya akan kehadiran Ardan yang tidak terduga. Selang beberapa detik yang mereka habiskan dalam kebisuan, Inna melangkah ke arah Ardan. Bukan untuk menghampiri pria itu.

Inna mendekati Ardan hanya untuk meraih pintu pagar yang semula ingin pria itu buka. Agar Inna dapat masuk ke dalam rumah. Tanpa mengacuhkan keberadaan Ardan sama sekali, Inna melangkah masuk ke dalam kebun yang dibatasi pagar. Hanya saja, Ardan mencegahnya berlalu dengan meraih tangan Inna dan mencekalnya.

"Inna ...." Sekali lagi Ardan membisikkan nama Inna, sedikit tersendat oleh rasa haru yang memenuhinya.

Namun sepertinya perasaan itu hanya dirasakan satu pihak. Karena dengan ekspresi dingin yang tidak berubah, Inna mengatakan, "Lepaskan tanganku, Dan."

"Tidak," tolak Ardan, "ada beberapa hal yang harus kita selesaikan."

"Tidak," kali ini Inna-lah yang mengeluarkan penolakan tersebut, "tidak ada satu hal pun yang harus kita bicarakan atau selesaikan. Semua urusan kita sudah selesai. Berakhir di waktu lampu. Sebabnya, saat ini tidak ada yang perlu dibahas. Jadi ...."

Dengan tangan yang bebas, Inna menyentuh lengan Ardan yang mencekalnya. Tidak kasar, dan hanya memberikan tekanan ringan, namun sangat jelas maksud dari tindakan yang diambil Inna. "Lepaskan tanganku."

Seperti waktu itu.

Meski tidak terucap keluar dari bibir Inna, Ardan dapat mendengar dengan jelas kata itu. Kalimat yang menegaskan bahwa ketika Ardan menampik kenyataan yang terjadi atas hubungan mereka. Semua hal yang mengikat ia dan Inna, kandas tidak tersisa.

Ardan tidak memungkiri, kebodohan yang telah ia lakukan. Tapi bukan berarti ia menyerah menggapai harapan untuk wanita itu. Walau peluang yang Ardan miliki tidaklah besar. Untuk menegaskannya, jari-jari Ardan yang mencengkeram tangan Inna, mengerat.

"Aku tidak mau, Na." Pada saat yang lalu, Ardan telah melakukan kesalahan karena melepaskan tangan Inna. Ia mengurai genggaman tangan wanita itu padanya tanpa berpikir lebih jauh atau menyadarinya. Karena itu kali ini, hal itu tidak ingin Ardan lakukan lagi.

Namun, ketika Ardan melihat ekspresi yang untuk pertama kalinya Inna keluarkan dari pertama kali wanita itu menemukannya sampai saat ini, ia berpikir ulang akan keputusannya.

"Aku capek, Dan." Kata lelah yang Inna lontarkan itu, bukan hanya karena aktivitas yang ia lakukan. Namun juga mengenai semua hal yang terkait pada ia dan Ardan.

Semula, Ardan ingin dengan egois tidak mengindahkan perkataan Inna. Hanya saja, semua itu Ardan tahan, karena memikirkan kondisi Inna yang saat tidak cocok dengan tekanan. Ardan pun memeluk Inna dengan lembut dan mengecup kening wanita itu, sebelum kemudian melepaskan genggaman tangannya. Lalu ia berbisik, "Besok aku datang lagi."

Setelah Ardan melepaskan tangannya, Inna berjalan pergi. Tidak tergesa ataupun berlari. Inna hanya berjalan dengan langkah ringan tanpa sekali pun menoleh untuk melihat Ardan yang masih berdiri di depan pintu gerbang.

...

Seperti janjinya, Ardan kembali mendatangi rumah Inna. Semula, Ardan mengira Inna tidak ada di rumah. Karena setelah Ardan mengetuk, memberikan salam, ataupun mengintip untuk memberitahukan Inna bahwa ia datang, wanita itu tidak membukakan pintu atau menyambutnya.

Sampai sekitar dua jam Ardan berdiri di depan rumah Inna, dan diberikan tatapan penuh kecurigaan oleh orang yang melihatnya, Inna keluar. Membukakan pintu tanpa mengatakan apa pun selain sebuah kata, "Pemaksa."

Ardan sadar, bahwa sikap diam yang Inna ambil selama dua jam setelah kedatangannya adalah cara halus wanita itu untuk mengusirnya. Itu membuat Ardan tersenyum, menyaluti sikap gigih yang ia lakukan meski membuatnya dianggap mencurigakan juga mendapatkan serangan panas ringan karena terjemur di bawah sinar matahari langsung.

Inna tidak menawarkan Ardan minuman, bahkan tidak mempersilakan pria itu untuk duduk. Olehnya, Ardan yang sedikit limbung setelah berdiri cukup lama, mempersilakan diri sendiri dan duduk di salah satu sofa kecil bermotif tartan yang terdapat di ruangan di mana Inna membawanya.

"Rumahmu mungil tapi nyaman," kata Ardan membuka membicarakan.

Inna yang semula masih berdiri, mengambil salah satu sofa dengan jarak paling jatuh dengan yang Ardan duduki, untuk duduk. Setelah mengambil posisi cukup nyaman, Inna masih tidak mengatakan apa pun untuk membalas perkataan Ardan. Sebaliknya ia malah mengusap salah satu sisi perutnya yang membesar.

"Berapa umur kandunganmu, Na?" tanya Ardan yang masih saja berusaha untuk memancing percakapan, sekaligus memuaskan rasa keingintahuan akan apa yang tengah terjadi pada Inna.

Namun seperti pertanyaan Ardan bagai sebuah bumerang yang tanpa sengaja ia lempar dan kembali padanya. Melihat ekspresi kaku yang dalam sedetik melintas di wajah Inna sebelum wanita itu mengatakan, "Delapan bulan." Inna pun menambahkan lagi, "tapi itu sama sekali bukan urusanmu."

"Tentu saja urusanku. Itu anakku." Dengan campuran putus asa dan frustrasi Ardan mengatakan kalimat itu.

Yang hanya dijawab dingin oleh Inna.

"Aku tidak tahu apa yang menyebabkan kau berpikir seperti itu. Karena aku sendiri tidak tahu siapa ayah dari bayi ini. Ini anakku. Kenyataan itu saja sudah cukup."

Ardan memang tertampar dengan penolakan Inna mengenai hubungannya dengan bayi yang tengah tumbuh dalam diri wanita itu. Namun yang membuat Ardan merasakan sakit yang amat sangat, adalah ucapan Inna yang mengatakan tidak mengetahui siapa ayah dari bayinya.

Bukan karena Ardan berpikir ada pria lain selain dirinya, yang bersama dengan Inna. Bahkan sedetik pun hal itu tidak terlintas. Karena meski belum lama, Ardan sangat tahu sikap Inna dan tidak mungkin wanita itu mendua. Namun pada kenyataan Inna melemparkan kembali apa yang ia katakan. Pertanyaan yang ia ucap saat Inna memberitahukan kehamilannya.

Mengingat hal itu saja sudah membuat Ardan ingin mati, untuk mengakhiri perasaan malu yang ia rasa. Sebab bisa-bisanya, ia yang tahu sifat Inna, mempertanyakan siapa ayah dari anak yang Inna kandung.

"Apa yang membawamu ke sini, Dan?"

Pertanyaan Inna, menyentak Ardan dan membuat ia kembali terpusat pada apa yang tengah berlangsung. Dengan sebuah helaan napas panjang, juga kepalan untuk sebuah keyakinan, tanpa ragu Ardan mengatakan, "Aku ingin kita menikah."

True LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang