02

2.9K 282 13
                                    

Sudah hampir tiga bulan sejak kepergian Inna, Ardan masih tidak mengetahui di mana wanita itu berada. Segala cara telah Ardan lakukan. Mulai dari menanyakan ke setiap orang, baik itu teman Inna atau temannya, yang mengenal wanita itu. Tapi nihil, Inna sama sekali tidak meninggalkan jejak untuk Ardan lacak. Bahkan Inna sampai menjual usaha yang ia dirikan hanya untuk menghilangkan keberadaannya.

Tapi, Ardan tidak berputus asa. Tiap hari, sesuai kerja, Ardan dengan setia mengunjungi rumah Inna. Dengan harapan wanita itu muncul untuk menyelesaikan hal yang belum tuntas. Namun hingga papan pengumuman 'dijual' disingkirkan dari rumah tersebut, Inna tidak pernah muncul.

Sampai satu waktu, di mana Ardan tidak tahan dengan apa yang terjadi. Ia membuang harga dirinya yang masih tersisa, untuk bertanya pada Tari. Sahabat terdekat Inna dan juga wanita yang Ardan katakan cinta sejati. Bahkan sampai terakhir Ardan memeluk Inna, wanita itulah yang ada dalam otak juga hatinya.

Namun kini, ketika Ardan menatap mata yang memenuhi mimpi-mimpinya, tidak ada rasa terpesona seperti halnya ketika tiap kali Ardan berhadapan langsung dengan Tari. Satu-satu yang Ardan rasakan adalah sebuah harap pada sebuah jalan untuk menemukan Inna.

"Inna?" ulang Tari ketika Ardan selesai mengatakan apa yang membawanya pada wanita itu.

Ardan tidak mengatakan apa pun, hanya mengangguk singkat sebagai jawaban atas pertanyaan Tari.

Tari diam, sambil memeluk diri dan sesekali mengusap-usap lengannya. Sebuah kebiasaan Tari yang Ardan tahu dengan baik, hanya muncul saat wanita itu merasa gelisah. Namun Ardan tetap bergeming, menunggu Tari membuka mulut.

Sampai kemudian Ardan menyadari bahwa Tari memang tidak ingin membuka mulut untuk membicarakan Inna. Atas itu Ardan pun mengambil cara lain, "Tari, apa kau tahu alamat orang tua Inna?"

"Untuk apa?" tanya Tari kembali.

"Mungkin Inna ada di sana."

Dengan cepat, Tari mengeluarkan pernyataan, "Inna tidak ada di sana."

Ardan pun tahu, bahwa kedatangannya menemui Tari tidak sia-sia. Wanita itu mengetahui keberadaan Inna. Tapi mulut Ardan tidak melontarkan sebuah desakan ataupun pertanyaan yang menyudutkan. Sebaliknya Ardan malah berkata, "Jadi ke mana Inna," dan itu pun tidak lebih dari gumaman yang ia ucap untuk dirinya sendiri.

"Ardan kenapa kau mencari Inna?" tanya Tari memecah keheningan pendek yang tercipta setelah Ardan menggumam.

Mata Ardan menatap langsung kepada Tari. Melihat wanita yang dalam hatinya, selalu Ardan harapkan menjadi ibu dari anak-anak pria itu. Sedetik singkat, Ardan ingin berbohong. Menyembunyikan alasan ia mencari Inna, demi menghargai sebuah rasa yang dulu ada-atau mungkin masih-pada wanita di hadapannya.

Hanya saja, detik berganti, Ardan segera membuang jauh-jauh pemikiran itu. Juga menyembunyikan atau jika bisa mengusir rasa melankoli yang ia punya karena Tari. Sebab semua rasa yang Ardan rasa kini tidak penting. Ada seorang wanita lain yang saat ini tengah menjadi mengandung calon anaknya.

"Karena dia hamil anakku."

Tari memandang Ardan dengan tatapan nanar juga dalam matanya tersimpan sebuah kekecewaan entah karena apa.

"Oh ...." Gumaman tersebut Tari lontarkan karena tidak tahu harus mengatakan apa. Ia pun kembali memeluk diri dan melengos, seakan menatap Ardan saat ini adalah perbuatan yang dapat menyakitinya. "Aku ...," bisik Tari yang membuka mulutnya lagi, "beri waktu aku untuk berpikir."

Rona cerah yang tidak pernah muncul sejak kepergian Inna, mengunjungi wajah Ardan ketika itu. Tanpa Ardan sadari ia memeluk Tari, kemudian menangkupkan kedua tangannya mengurung tangan Tari.

"Aku benar-benar berterima kasih, Tari!"

Bibir Tari melengkung membentuk senyum yang terlihat dipaksakan saat memunculkannya. Sementara matanya tergenang air mata yang membuat pandangannya berkabut. Namun Ardan tidak menyadari itu.

...

Seminggu kemudian, sebuah pesan singkat masuk dari Tari ke dalam kotak masuk ponsel Ardan. Di sana tidak tertulis apa pun selain sebuah alamat yang diketahui Ardan merupakan perumahan dengan lingkungan kelas menegah. Tempat yang tidak pernah Ardan pikirkan, akan menjadi tempat di mana Inna menghindarinya.

Namun dengan perasaan gembira Ardan memaju kendaraan miliknya ke tempat tersebut. Dengan otak yang penuh dengan bayangan-bayangan imajinatif saat ia bertemu kembali dengan Inna dan bagaimana reaksi wanita itu saat tahu Ardan menemukannya.

Di tengah jalan, Ardan singgah ke tempat penjualan buah. Meski semula ia lebih memilih membelikan bunga-jenis apa pun itu-untuk Inna, namun niat tersebut Ardan batalkan karena tahu, Inna lebih memilih menerima apa yang ia beli saat ini dibanding rangkaian bunga seindah apa pun.

Dan akhirnya, setelah menempuh perjalanan singkat. Ardan sampai ke tempat yang dimaksudkan Tari. Ketika melihat tempat tersebut, Ardan diliputi rasa ragu. Akan kemungkinan Inna tinggal di sana.

Rumah yang memiliki alamat sama dengan yang ada dalam pesan singkat di ponsel milik Ardan, terbilang kecil menurut standar pria tersebut.

Hanya satu pertiga dari luas rumah Inna sebelumnya, dan setengah apartemen Ardan yang mana dikhususkan untuk penghuni lajang. Dengan dinding bercat putih yang mulai mengelupas di beberapa bagian. Terlihat suram jika saja tidak ada semak bunga yang menghias halaman depan rumah itu.

Ardan yang masih merasa ragu, memeriksa ulang alamat yang tertera. Karena Ardan berpikir, mungkin saja ia salah. Tapi setelah berulang kali melihat, alamat yang ada dalam ponselnya dan alamat rumah di hadapannya, adalah sama.

Untuk itu, Ardan menggapai pintu gerbang kayu yang membatasi rumah tersebut dengan trotoran, berniat masuk dan mengetuk pintu rumah untuk memanggil pemiliknya. Sebelum kaki Ardan melangkah masuk ke dalam halaman. Sebuah panggilan menghentikan pria itu.

"Ardan."

Lembut, tenang, tanpa ada unsur keterkejutan, suara itu mengucap namanya. Ardan kenal yang kenal baik dengan suara itu berpaling, dan melihat Inna berdiri tidak jauh darinya. Dengan tangan memegang kantung hitam dan memakai gaun longgar yang tidak bisa menyembunyikan fakta bahwa perut wanita tersebut telah membesar.

True LoveWhere stories live. Discover now