01

4.5K 319 28
                                    

"Anak siapa?" Itu kalimat pertama yang Ardan keluarkan saat mendengar pernyataan bahwa dalam tubuh Inna, wanita di hadapannya, telah tumbuh seorang anak manusia.

Kabut menyambangi bola mata Inna dalam detik singkat. Sebelum kemudian wanita itu tersenyum dan menatap dengan tatapan tegas serta penuh cahaya, yang memang pada biasanya dipancarkan oleh mata Inna. Membuat Ardan menyakini bahwa kilatan rasa sedih yang ia lihat sebelumnya, hanyalah permainan cahaya semata. Terlebih dengan ucapan Inna yang terucap mengikutinya. "Ha, ha, ha ... ternyata seorang Ardan pun bisa terkejut.

"Aku hanya bercanda. Aku hanya ingin tahu bagaimana reaksimu, saat aku mengatakan itu," tambah Inna dengan santai. Sebelum kemudian ia mendesah, dan melanjutkan perkataannya dengan nada merajuk. "Reaksimu benar-benar tidak menyenangkan."

"Jadi kau hanya bercanda!?" Ardan berseru menyatakan kekesalan atas sikap Inna yang pria itu anggap mempermainkannya.

Inna diam sejenak kemudian membalas, "Kalau itu benar, aku pasti sudah marah sekali terhadapmu. Dan menganggap kau pria yang kejam."

Senyuman memang singgah di bibir Inna untuk mengiringi perkataannya, tapi Ardan merasakan sesuatu hal yang tidak biasa pada wanita itu. Dipandanginya Inna dengan saksama, dalam pengelihatan Ardan, tidak ada satu hal pun yang terlihat salah.

Mata Inna yang bulat ujung runcing masih memancarkan kepercayaan diri. Bibirnya yang kecil dan terulas pemerah bibir, masih tersungging senyum kecil bernada sinis yang memang sudah menjadi ciri khasnya. Hanya saja, Ardan masih tidak mempercayai dengan penilaian yang matanya berikan, hingga bertanya, "Sungguh?"

"Jangan khawatir, kesempatanmu bersama Tari masih terbuka lebar," jawab Inna dengan ibu jari dan telunjuk membentuk sebuah lingkaran, yang terangkat sejajar dengan mata Ardan untuk meyakini pria itu.

Kekhawatiran Ardan, lenyap ketika itu. Perasaannya yang mengatakan ada yang aneh dengan sikap Inna, hanyalah sebuah kesimpulan yang salah. Inna tidak berbeda dengan biasanya, masih senang menggoda Ardan atas kenyataan cinta sebelah pihak pada teman wanita tersebut. Walau hubungan Ardan dan Inna bukan hanya sekadar, kenalan, teman, atau sahabat.

"Ardan, hari ini apa kau punya waktu luang?"


...


Di atas tempat tidur, pada salah satu hotel yang terletak di tengah kota, Ardan memeluk Inna. Merengkuh wanita itu dengan begitu intim, meski pada kenyataannya mereka bukanlah pasangan kekasih, terlebih dua orang yang terikat dalam perkawinan.

Teman tidur. Tidak ada kata yang lebih tepat dibandingkan itu, untuk mengambarkan dua orang yang tidak memiliki hubungan romantis namun terlibat dalam aktifitas intim. Situasi tersebut telah berjalan selama dua tahun. Yang bermula terjadi, ketika Ardan butuh penghiburan atas berpulangnya kedua orang tua pria itu pada Tuhan karena kecelakaan lalu lintas. Inna menawarkan diri untuk memberikan kenyamanan pada pria itu.

Ardan hingga kini, masih tidak tahu, apa alasan Inna melakukan hal tersebut. Terlebih Inna tahu perasaan Ardan pada Tari yang merupakan sahabat kental wanita tersebut. Belum lagi pada kenyataan, bahwa ialah pria pertama yang merengkuh Inna. Hati Ardan penuh kecurigaan, memiliki kesimpulan picik, yang berpikir bahwa Inna merupakan tipe wanita yang gemar mengambil apa yang dimiliki sahabatnya demi menunjukan sikap superioritas. Untuk menyatakan bahwa ia yang lebih baik.

Namun apa pun yang ada dalam pemikiran Ardan tidak pernah terucap dari mulutnya, dan terus menikmati apa yang ditawaran Inna dengan hati masih mengharapkan Tari.

"Inna?" panggil Ardan yang masih setengah sadar ketika mendengar suara yang tidak berisik, tapi cukup menggugah ia dari tidur yang tidak nyenyak. Ardan pun bangun dari keadaan tidur, dan melihat Inna yang telah berpakaian rapi tengah berdiri di depan pintu yang sedikit terbuka. "Kau mau pulang?"

Ardan bertanya karena tidak pada biasanya Inna pulang terlebih dahulu setelah mereka menghabiskan waktu bersama. Biasanya, setelah menghabiskan malam panjang berdua mereka akan pulang pada pagi setelahnya bersama. Dengan Ardan yang mengendari mobil kemudian mengantarkan Inna kekediaman perempuan itu.

Sebabnya, Adnan yang masih mengantuk, bersiap untuk merapikan dan mengantarkan Inna. Namun sebelum Ardan turun dari tempat tidur, Inna mencengah dengan mengatakan. "Kau tidurlah saja, aku sudah memesan sebuah taksi."

"Tidak apa-apa?" tanya Ardan yang mensyukuri atas pilihan Inna yang tidak memaksakan ia untuk berkendara dalam keadaan yang tengah melawan rasa kantuk.

"Tidak apa-apa," balas Inna cepat. "dan selamat tinggal."

Ardan pada saat itu tidak menyadari bahwa Inna tidak seperti sebelum-sebelumnya, yang mana ketika mereka berpisah selalu mengucapkan kata; sampai nanti, aku meleponmu, dan kalimat bervariasi lainnya, yang berbeda namun memiliki kesan yang sama. Namun kali ini, yang Inna ucapkan adalah salam perpisahan.

Dan sejak itu, Ardan kesulitan atau bahkan tidak bisa menemui Inna sama sekali. Tiap Ardan menelepon wanita itu dan ingin membuat janji temu, Inna selalu beralasan tidak bisa dan menolaknya. Padahal Inna yang Ardan tahu, tidak pernah menolak untuk bertemu dengannya. Tapi sekarang, Inna seperti menarik diri dan menciptakan jarak di antara mereka.

Lalu hari ini, setelah lewat dua bulan dari waktu terakhir mereka bertemu. Ardan mendapati suara operator yang sistematis dan datar, memberitahukan bahwa nomor yang coba ia hubungi sudah tidak aktif lagi. Jika bukan karena selang waktu lama mereka tidak bertemu, Ardan akan berpikir bahwa telepon genggam milik Inna sedang dalam keadaan tidak aktif.

Namun dalam situasi saat ini, hal itu sangatlah aneh. Hingga membuat Ardan memacu mobilnya ke kediaman Inna, hanya untuk melihat tempat tinggal perempuan tersebut dalam keadaan gelap total. Seperti tidak berpenghuni. Kemudian hal itu ditegaskan dengan sebuah papan iklan yang dipasang oleh seorang makelar di depan pagar rumah yang semula milik Inna.

Ardan hanya terpaku. Bergeming karena terlalu terkejut dengan kenyataan yang ada di depannya. Sampai ia melihat seorang satpam perumahan tersebut tengah melintas, melaksanakan ronda malam.

"Pak!" seru Ardan mencoba menghentikan satpam tersebut.

Pak satpam yang mendengar panggilan Ardan berhenti dan berpaling ke arah pria itu. "Eh, Bapak," kata si Satpam yang mengenali Ardan, karena pria tersebut sering mengantarkan Inna pulang meski tidak mengetahui namanya. "Ada apa, Pak?"

Dengan keadaan kebingungan Ardan berbicara sedapat mungkin. "Ini, rumah Inna, maksudnya rumah ini sudah tidak menempati?"

"Loh! Bapak tidak tahu?" si Satpam menunjukkan keheranan atas ketidaktahuan Ardan, "Ibu Inna sudah tidak tinggal di sini lagi. Sekitar dua bulan yang lalu, Bu Inna pindah dan menjual rumah ini."

Petugas satpam itu masih terus berbicara tentang kepindahan Inna, namun telinga Ardan sudah tidak bisa mendengar apa pun. Bukan hanya telinganya yang tiba-tiba saja mendadak tuli, tapi seluruh tubuhnya pun merasakan sensasi yang sama. Yang mana kebas, seakan tubuhnya sudah kehilangan baik itu kesadaran, jiwa, atau apa pun yang membuatnya berfungsi.

Sebagian kecil otak Ardan yang belum mengalami 'kematian' memutar ulang pertemuan terakhir antara ia dan Inna. Mengingat kembali semua hal. Termasuk pertanyaan Inna yang mengatakan bahwa dirinya hamil juga sepotong kalimat perpisahan yang terucap dari bibir Inna.

Ardan pun menyadari bahwa kehamilan Inna memang nyata dan kini wanita itu meninggalkannya.

True LoveWhere stories live. Discover now