Bab 03 Patah hati

1.5K 487 19
                                    

"Kamar kamu yang pintunya warna putih. Jangan salah masuk kamarku."

Aku masih ingat betul ucapan Abimanyu saat menunjukkan kamar yang akan aku tempati di rumah ini. Dia memang tidak memaksa untuk kami tinggal satu kamar. Sejak dulu juga kami tidak pernah akur. Dia sebal dengan sifatku yang manja dan cengeng. Jadi baguslah kalau dia memberi jarak.

Lalu tiba-tiba berita itu datang. Ibu menelepon kalau Ayah semalam harus dilarikan di rumah sakit karena mengalami sesak nafas. Aku baru saja selesai mandi saat menerima telepon dari Ibu yang mengatakan aku harus ke rumah sakit sekarang juga. Dengan posisi baru mandi dan baru saja memakai kaos oblong dan celana pendek, aku berlari keluar kamar. Tepat dengan Abimanyu yang juga membuka pintu. Karena kamar kami bersebelahan jadi kami langsung saling bertatap muka.

"Ca,..."

Dia tiba-tiba melangkah mendekatiku dan menariknya masuk ke dalam lingkupan tangan hangatnya. Aku sedikit terkejut dengan sikapnya yang spontan itu. Mengusap kepalaku dengan lembut.

"Kamu yang sabar ya."

Aku hanya menganggukkan kepala karena pikiranku sedang bercabang ke mana-mana. Tanpa kata dia melepaskan pelukannya dan menarikku begitu saja. Mengambil kunci mobilnya dan kami langsung masuk ke dalam mobil yang sudah terparkir di halaman rumah. Hari memang masih pagi. Semalam aku kelelahan karena acara nikahan dan langsung tertidur pulas.

"Mama sama Papa udah di sana."

Abimanyu mengatakan itu saat melajukan mobilnya di jalan raya. Aku hanya bisa menganggukkan kepala. Selama ini sosok Ayah itu sudah menjadi panutanku. Aku tidak pernah jauh dari Ayah, maka saat Ayah mengatakan aku harus menikah, aku tidak menolak. Sekarang, Ayah pasti sedang kesakitan dan itu membuatku hampir menangis.

Tanganku yang ada di pangkuan, digenggam oleh Abimanyu yang membuatku menatapnya.

"Ada aku. Jangan nangis."

Dia mengatakan itu dengan lembut
Tidak ada tatapan meremehkan, mengejek ataupun mengajak bertengkar seperti kebiasaannya Abimanyu.

"Ayah..."

Suaraku sudah bergetar dan itu membuat Abimanyu makin mengeratkan genggamannya di tanganku.

Mobil melaju di jalanan dengan cepat. Lalu saat sampai di rumah sakit, Abimanyu langsung meggandengku. Kami melangkah dengan cepat menuju ruangan ICU.

"Ca..." Panggilan itu membuat aku mendongak dan menemukan Ibu langsung menarikku masuk ke dalam pelukan Ibu. Tangis Ibu langsung menular.

"Ayah, Ca..."

Suara ibu tiba-tiba hilang dan Ibu langsung jatuh tak sadarkan diri.

"Ibuuu...."

Aku menangis histeris dan menahan tubuh Ibu yang langsung di bopong oleh Abimanyu. Sedangkan tubuhku ada yang memelul erat. Itu Abimana.

"Kak... Ayah kenapa?"

Aku sudah bisa menduga apa yang terjadi. Dan saat Abimana menjawab pertanyaanku dengan bisikan "Ayah meninggal, Ca. Kamu yang tabah ya."

Tangisku pecah begitu saja. Rasa sakit, kecewa, sedih semua bercampur aduk jadi satu. Sungguh ini bukan yang aku inginkan. Bukankah aku sudah menuruti Ayah untuk menikah? Ayah harus sehat bukannya....

"Ca...jangan begini. Ikhlas ya."

Suara Abimana makin membuat aku menangis. Aku patah hati untuk kedua kali dalam hitungan hari saja. Abimana dan Ayah.

*****

Ayah segera dimakamkan. Kondisi Ibu memang sempat drop tapi saat ini beliau jauh lebih kuat daripada aku. Saat para tamu bertakziah, Ibu bisa menemui mereka. Sedangkan aku memilih untuk bersembunyi di kamar. Aku hanya keluar saat Ayah akan disemayamkan dan ikut ke makam. Setelah itu aku memilih untuk masuk ke  dalam kamar.

Abimana yang menemaniku, sedangkan Abimanyu malah yang super sibuk mengurus semuanya. Dia yang mengambil alih semua tugas kepala rumah tangga. Aku tidak percaya dia bisa menangani semua. Semua saudara-saudaraku memang masih ada di sini dan belum pulang karena pernikahanku kemarin, sekarang ada kabar duka begini dan mereka semua memilih untuk memperpanjang tinggalnya. Semua itu juga Abimanyu yang mengurusnya. Para tetangga juga Abimanyu yang mengkoordinir. Dia bisa diandalkan.

Menjelang malam, ada yang mengetuk pintu kamarku. Aku yang baru saja meringkuk di atas kasur, menegakkan diri dan mendapati Abimanyu yang masuk. Dia memakai baju koko dan sarung putih lengkap dengan peci hitamnya. Penampilannya begitu berbeda saat ini.

"Ca..."

Dia melangkah mendekatiku dan duduk di tepi kasur.

"Udah makan?"

Kugelengkan kepala mendengar pertanyaannya.

"Nggak laper."

Abimanyu menghela nafas "Jangan gitu, nanti Mama kamu sedih. Makan ya?"

Dia membujukku dan aku menatapnya.

"Kamu udah makan?"

Pertanyaanku membuat Abimanyu menggelengkan kepalanya.

"Aku sih gampang, nggak sempet dari tadi."

Dia melepas peci dan menggaruk rambutnya.

"Makanya, makan yuk."

Aku tidak tega mendengar ajakannya itu. Khusus hari ini, aku akan menurut dan membuatnya senang. Karena dia sudah melakukan banyak hal untuk mengurus semuanya.

"Oke."

Tentu saja jawabanku membuat Abimanyu mengulas senyumnya. Dia beranjak berdiri dan menungguku bersiap. Saat kami keluar dari kamar, beberapa saudara menyambut kami dan bahkan menyiapkan makanan untuk kami.

Kami makan di teras belakang karena ruang makan banyak orang yang sedang menyiapkan snack untuk acara tahlil malam ini.

"Di makan, Ica."

Abimanyu menunjuk piringku yang masih penuh isinya. Sedangkan dia sudah menandaskan isinya.

"Kalau nggak ada Ayah, sekarang aku sama siapa, Nyu?"

Abimanyu menunjuk dirinya.

"Ada aku, Ca. Aku suamimu. Gunakan aku."

Bersambung

Aih hayooo Ica mau sama Anyu nggak?

Jodoh TerbaikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang