8. Hukuman

9.9K 118 2
                                    

Berulang kali menarik dan membuang napas, akhirnya Sean bisa merasakan dirinya lebih tenang, tidak menggebu-gebu seperti tadi. Ia harus berusaha untuk tetap berpikir waras agar tidak merusak Viona. Ia tidak mau masa depan anak didiknya itu rusak gara-gara dirinya tidak bisa menahan ha srat lelakinya.

“Pak Sean, kapan kita mulai?” tanya Viona yang sudah duduk kembali di samping Sean.

“Se-ekarang,” jawab Sean.

“Pak Sean kenapa ngomongnya jadi gagap kayak pelawak kesukaan Daddy Vio gitu?” tanya Viona polos.

“Saya nggak tau, mungkin karena tenggorokan saya kering,” jawab Sean sekenanya.

“Oh gitu.” Viona mengangguk-angguk.

“Ihh itu kebetulan Bi Marni datang.” Pandangan Viona terarah ke pintu ruangan yang terbuka, Sean pun langsung mengikuti arah pandang gadis itu.

“Buru, Bi. Gurunya Vio kehausan,” pinta gadis itu pada wanita paruh baya yang baru saja datang dengan membawa minuman dan camilan untuk menemani aktivitas mereka selama 2 jam ke depan.

Bi Marni meletakkan 2 gelas minuman, 1 toples camilan kue kering, serta irisan buah-buahan di atas wadah cantik.

“Makasih, Bi,” ucap Viona dan Sean bersamaan, kemudian kedua orang yang saling mencintai itu menatap satu sama lain. Mereka mengulas senyum tanpa terkendali.

Seulas senyum terbit di wajah wanita paruh baya itu melihat keduanya. Siapapun bisa melihat ada cinta pada tatapan keduanya.

Setelah selesai dengan tugas yang diberikan Leona untuk memberikan minum dan camilan, Bi Marni pun berlalu meninggalkan ruangan tersebut, tak ingin menganggu waktu mereka belajar.

Sean menghela napas panjang untuk kembali menenangkan diri agar tidak kelepasan kendali karena saat ini di ruang pustaka pribadi keluarga Edward, hanya ada dirinya dan Viona saja. Suasana yang bisa saja membuatnya dirinya terdorong untuk melakukan hal-hal yang tidak seharusnya.

Waktu terus berlalu, Sean pun selesai menjelaskan materi pada Viona. Viona kali ini benar-benar menyimak apa yang telah diajarkan. Kadang kala, Sean merasa jantungnya berdebar saat Viona bertanya soal yang tidak mengerti dengan kepala mendongak menatapnya, membuat wajah keduanya sangat dekat.

“Segini doang nih soalnya?” tanya Viona, membuat salah satu alis Sean terangkat.

“Ya, kenapa? Kamu kurang, Vio?” tanya Sean.

Sekarang Viona memang mampu menyelesaikan soal dengan mudah, namun bukan berarti gadis itu menantang Sean untuk memberikannya soal yang banyak karena merasa dirinya sudah sangat mampu. Akan tetapi, Viona ingin membuat Sean menambah soal karena gadis itu masih ingin terus bersama guru lesnya yang sangat tampan itu.

Viona menyodorkan buku latihan yang sudah ada 10 soal tersebut di hadapan Sean. “Tambahin aja, Pak Sean. Vio pengen ngasah kemampuan Vio biar bisa banggain Daddy,” pintanya.

“Oke. Tapi, harus benar semua ya. Soalnya kamu udah mengulur waktu saya di sini kalo soalnya banyak. Saya nggak mau kecewa, udah capek-capek mikir buat soal, eh nilai kamu jelek.”

“Iya, Pak Sean. Vio yakin Vio pasti bakal jawab semuanya dengan benar.”

“Awas ya kalo ada yang salah. Ntar kamu saya hukum!”

“Di-dihukum?”

“Iya. Kamu takut saya hukum?”

Viona terdiam sesaat membayangkan hukuman apa yang akan diberikan Sean untuknya bila ada soal yang jawabannya salah. Apakah dia akan dipukul kedua telapak tangannya dengan penggaris kayu yang panjang dan besar di atas meja belajarnya itu? Apakah Sean akan menjewer telinganya? Apakah dia akan dihukum dengan berdiri lama dengan satu kaki?

Pak Guru, Mau Gak Jadi Pacarku?Where stories live. Discover now