7. Pria normal

9.3K 130 8
                                    

Jam istirahat kantor, Sean buru-buru menghubungi sahabatnya, Meira— untuk bertemu di sebuah kafe yang menjadi tempat favorit mereka untuk mengerjakan tugas sekolah atau sekadar nongkrong saat mereka masih remaja, sekaligus kafe tersebut milik sahabat Mamanya.

Sekitar lima belas menit Sean melakukan perjalanan dengan seorang supir pribadi, akhirnya pria itu sampai di sebuah kafe. Ia langsung  menghampiri meja yang sudah dipesan beberapa menit setelah keluar dari kantor.

Pria itu mengambil ponsel ingin menghubungi Meira dan menanyakan sudah sampai mana sahabatnya itu berada. Namun baru menemukan nomor ponsel Meira, terdengar suara seseorang yang meneriaki namanya.

“SET AN, LO DI MANA?” teriak seorang perempuan. Sambil melangkah pandangannya menyebar ke segala arah, sedangkan tangannya sibuk memainkan lato-lato.

Sean terkekeh pelan melihat tingkah absurd temannya itu, bahkan orang lain yang sedang menikmati makannya pun mengalihkan perhatiannya pada Meira.

“Woi, Set an. Ternyata lo di sini? Kenapa nggak panggil gue? Gue kan jadi malu dilihatin banyak orang,” gerutu Meira yang sudah sampai di hadapan meja Sean.

“Nama gue Sean, bukan Se-tan!” Sean menegaskan kata terakhir pada kalimatnya. Dari awal kenal di kelas 11 sampai sekarang, Meira selalu memanggil Sean dengan sebutan ‘Set*n’.

“Lah, mulut mulut gue? Lo nggak terima? Ya udah, kita nggak usah temenan. Lo nggak asik bet!” Meira memutar tubuh hendak meninggalkan Sean, namun Sean buru-buru menahannya dengan meraih pergelangan tangannya.

Meira langsung menepis tangan Sean sambil menatapnya tajam. “Apa-apaan lo, set4n?! Geli tau nggak!”

Sean hanya menghela napas panjang menghadapi sikap Meira yang tidak pernah berubah. “Bisa nggak sih panggil gue Sean aja?!” tanya Sean sambil tersenyum, tetapi matanya malah melotot tanda berusaha sabar.

Meira malah tertawa sejadi-jadinya.

“Kenapa lo ketawa?” tanya Sean merasa bingung.

“Lo lucu banget, serius,” jawab Meira.

“Apanya yang lucu?”

“Lo nggak pantas melotot. Aneh tau nggak! Awokwokwok.”

“Hmmm.” Sean menatap datar gadis yang semakin bertambah usia bukannya menjadi lebih dewasa, malah tingkahnya semakin aneh.

“Sekarang ayo serius! Lo ngajak gue ketemu mau ngomongin apa?” tanya Meira. Gadis itu kemudian mendudukkan diri di hadapan Sean.

“Bisa berhenti dulu nggak main lato-latonya? Lagian udah nggak musim sekarang tuh, Mei,” pinta Sean.

“Tapi gue baru bisanya kemarin, Set4n,” balas Meira.

“Please, Mei. Jangan panggil gue dengan sebutan ‘Set4n’.”

“Suka-suka gue dong.”

“Ya udahlah, serah lo!”

“Ngambek lo?”

“Nggak!”

Meira mengangkat bahu acuh.

Pletak!

Lato-lato yang dimainkannya itu mengenai punggung tangan Meira, membuat Meira berjingkat kesakitan.

“Haha makan tuh lato-lato.”

“Set taaaan!” umpat Meira tidak terima, membuat Sean semakin tergelak.

Akhirnya Meira pun meletakkan lato-lato yang memiliki warna tidak sama itu ke atas meja. Satu warna hijau, satunya warna merah.

Seorang pramusaji datang menghampiri mereka dengan membawa makanan dan minuman yang sudah dipesan Sean sebelum Meira datang. Karena Sean yang mengajak Meira bertemu, maka Sean harus membayar makanan dan minuman Meira. Begitulah perjanjian sebelumnya.

Pak Guru, Mau Gak Jadi Pacarku?Where stories live. Discover now