•34•

382 34 1
                                    

Arsen mendongak menatap wajah cantik pujaan hatinya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Arsen mendongak menatap wajah cantik pujaan hatinya. Awalnya dia menolak, dia masih ingin ditemani Aileen, namun beberapa saat kemudian dia berubah pikiran dan mengizinkan Aileen untuk pulang. Egois jika dirinya memaksakan kehendaknya sendiri tanpa memikirkan orang lain, dia sendiri masih belajar untuk berusaha mengendalikan emosinya sendiri. Dia ingin berubah demi pujaan hatinya. Dia tidak boleh terus-terusan egois dan mementingkan dirinya sendiri.

"Dadahh pacarkuu..."

"Pacar boongan maksudnya," sambung Aileen seraya terkekeh geli, sebelum dia berancang-ancang untuk kabur dari Arsen.

Sementara Arsen? Dia hanya mendengus kesal.

Awas aja lo, CUTTIBE. Batinnya dalam hati.

Diledek pujaan hatinya sendiri? Tidak terlalu buruk bukan. Ah menyebalkan sekali, bagaimana mungkin Aileen sekarang sangat suka memancing emosinya? Arsen memejamkan keduanya, emosinya kembali naik. Sekarang, dia harus berusaha untuk bersabar sekarang jika harus menghadapi pujaan hatinya yang sekarang berubah menjadi sangat menyebalkan dua kali lipat dari sebelumnya.

o0o

Dua Minggu kemudian...

Aldo kini tengah duduk sendirian di atas kursi yang terbuat dari besi yang tampak modern—di teras rumahnya. Hanya secangkir kopi pahit yang masih mengebul asapnya yang kini tengah menemaninya. Dia tengah menikmati langit malam yang gelap nan indah, beberapa bintang terlihat menghiasi langit, dan bulan yang paling terlihat bersinar diantara kebanyakan bintang.

Hampa sekali rasanya.

Sesekali menyesap ujung rokoknya yang terhimpit jari telunjuk dan jari tengahnya. Tidak afdol rasanya jika ngopi tidak sambil merokok. Seputung rokok itu masih tersisa setengah. Lagi-lagi dia melamun. Entah kenapa akhir-akhir ini dia jadi kebanyakan melamun, selama kuliah pun dia tidak fokus—beberapa dosen tentu menyadari jika Aldo tidak begitu aktif seperti biasanya.

Tiba-tiba Aldo tersadar dari lamunannya, dia melirik jam tangan yang melingkar dipergelangan tangannya. Terlihat sekarang sudah pukul tujuh malam. Hanya suara rintikkan hujan yang bergemuruh terdengar—maklum saja jika dia merasa hampa. Sekarang dia dirumah sendiri—orang yang telah merawatnya dan begitu berjasa kepadanya sudah meninggal dua tahun yang lalu.

Dulu, sebelum pengasuhnya meninggal dia sempat memberi surat kepada Aldo. Dimana surat itu berisi jika Aldo bukan anak kandungnya—lantas Aldo tersenyum kecut ketika mengetahui hal yang sama sekali tak pernah dia duga. Orang itu juga membeberkan kalau ibu kandungnya berinisial huruf A dan berakhiran huruf A juga.

"Tante Aqila?" Aldo refleks menyebut nama maminya Aileen. Dia menggeleng pelan, konyol sekali pikirannya, bagaimana bisa dia memikirkan jika maminya Aileen—maminya dia juga? Ah, lucu sekali.

Dia Arsen (END)Where stories live. Discover now