Bab 10

289 6 1
                                    

Bab 10

"Maaf, Dra. Kami sudah lama tak bertemu Hana. Kami bahkan tak tahu di mana dia tinggal sekarang."

Dengan tatapan datar yang diberikan, Laina memberi informasi yang melemaskan kaki dan tubuh Mahendra. Harapan yang dipupuknya tadi pun terkikis perlahan. Ke mana lagi dia akan mencari sang kekasih yang belum diputuskan hubungannya. Mahendra masih menatap Anissa dan Laina dengan ragu, ada rasa curiga di balik pengakuan yang baru saja mereka lontarkan.

***

"Busyet dah, untung saja dia percaya, Han. Kita sampe bingung merangkai kata bohong agar dia tidak mencecar pertanyaan yang lain."

Laina berujar sambil mencomot risol sayur yang disajikan Hana saat kedua temannya berkunjung ke kontrakannya dan memberitahu pertemuan tak terduga tadi siang dengan Mahendra.

"Kalau gitu, mulai sekarang kalian batasi kunjungan ke sini. Aku tahu betul dia, dia tak mudah percaya dengan omongan orang. Dia pasti akan cari tahu. Apalagi tadi wajah kalian cukup meyakinkan gak?"

Sebenarnya hati Hana cukup terasa ngilu seperti diremas berulang-ulang setelah mendengar nama pria itu disebut. Otaknya pun diam-diam membayangkan pertemuan mereka walau dia tak berada di antara mereka. Wajah pria cukup menguat dalam benak, dia tak mudah melupakan senyuman manis yang menenangkan hatinya. Dalam diam dia mencoba menikmati wajah tampan itu dengan menarik kedua sudut bibir itu ke atas.

"Iya, iya, betul. Tapi tadi kayaknya aman deh, tidak seperti ada yang mengekori kita. Wajah kita juga cukup meyakinkan, kita tidak gagok gitu, tidak kelihatan sedang menutupi sesuatu atau berbohong."

"Iya, busyet banget ya dia. Berani aja menanyakan keberadaan kamu, Han. Masih punya muka aja."

"Dia tak tahu apa, kesalahan masa lalunya. Maunya apa sih?"

Mereka berdua saling memberi sahutan demi sahutan tentang apa yang baru terjadi antara mereka dan Mahendra. Sementara Hana berpura-pura menyibukkan diri dengan kue pesanan Annisa yang akan diambil sore ini.

Iya, tadi sehabis dari kantor bank, tempat mereka bekerja, Annisa dan Laina memang berencana akan mampir ke rumah kontrakan Hana untuk mengambil kue ulang tahun anak Annisa yang akan dirayakan besok.

"Btw, tadi ya, pas kita lihat cara pakaian dan penampilannya, dia kayak sudah mapan dan sukses. Tampan dan mapan bisa aku sematkan untuk pria itu."

"Iya, pake traktir kita segala, dia kira kita bisa disogok apa dengan traktiran makan siang."

"Hooh, tadi aku sempat kepo sama jarinya juga, belum ada cincin sih, bisa jadi masih single.

"Halah, mau dia single, sudah nikah bahkan sudah jadi duda pun, apa peduli kita? Hana pun tak mau tahu lagi gimana hidupnya sekarang."

"Iya juga sih, Han, kamu ...."

Kedua sahabat itu menjeda ucapannya dan perlahan menyadari perubahan wajah yang tak bisa disembunyikan Hana. Mendengar tentang Mahendra, hatinya serasa tercubit. Sakit, perih tetapi tak meninggalkan memar di sana. Hanya saja, ngilu luka itu terasa sampai di ulu hati dan membuatnya hampir lupa cara bernapas dengan benar.

Tangannya masih cekatan mem-finishing kue tart ulang tahun ponakan Annisa, tetapi pikirannya melalang buana entah ke mana. Nama Mahendra bukan hanya membuat kepalanya perlahan menjadi pening, tetapi jiwa raganya terasa terpisah.

Hening sejenak, mereka berdua saling menyikut kaki, memberi isyarat untuk tidak melanjutkan percakapan yang berhubungan dengan pria itu.

"Eh, Han, gimana bisnis kue akhir-akhir ini?  lancar?" Annisa membuka suara ketika menyelami keadaan, dia mengganti topik pembicaraan.

Kue sudah selesai dihias dan kini dia meletakkannya ke dalam kotak sebelum menyahuti pertanyaan sahabatnya. Dia memasang wajah serius setelah dia mengambil duduk di hadapan mereka. Sementara kedua wanita tersebut menunggunya dengan memasukkan cemilan ke mulut, waktu sudah sore, lambungnya mulai kosong, minta diisi.

"Tidak sesuai ekspetasiku, sih. Padahal coba kalian lihat postinganku di IG dan FB, gambarnya apik, kak Arsen mengambil gambar kue di semua posisi. Indah, sudah kayak kue-kue mahal. Tapi apa? Jarang ada orderan. Minggu ini baru dapat dua, punya Annisa dan punya Elena doang buat besok."

Keluhan itu akhirnya dikeluarkan dari mulut Hana. Sudah lama dia menahan masalah orderan yang sepi, sudah beberapa kali pula dia menaruh keinginan untuk bekerja kembali seperti dulu. Walau hanya sebagai pelayan toko, restoran atau kasir di salah satu toko kelontong. Dia wanita tangguh, apapun akan dilakukan demi tiga perut yang minta diisi setiap hari. Hanya saja memang, dunia belum memihak kepadanya, tak bisa menjanjikan pekerjaan yang berlevel tinggi, mengingat ijasah yang dikantongi cuma tingkat SMA.

Dulu niat dia berhenti dari pekerjaan itu karena Kaindra yang masih membutuhkan ASI dan kasih sayang di dua tahun pertamanya. Setelah itu, Hana mencoba mengais rejeki di bisnis kue tetapi fasilitas pemasarannya kurang memadai.

Rata-rata orang yang memesan kuenya adalah kenalan dari Arsenio dan kedua temannya.

"Aku pengen kerja lho, kalian kalau ada info tentang lowongan kerja, aku mau, ya."

Dia menatap penuh harap ke arah wanita yang menatap iba kepadanya. Mau kerja apa, coba? Dengan mengandalkan sertifikat ijasah SMA meski nilai di dalamnya bagus-bagus semua.

Sayang memang, kelulusan tes masuk universitas terbaik di Jakarta dibuang sia-sia karena ketahuan ia telah berbadan dua. Cita-cita menjadi dokter pun sirna, diterpa angan-angan yang suram.

"Iya, nanti kalau ada, kami pasti kabarin kamu, Han."

Laina berucap pelan. Bingung mau tawari pekerjaan apa kepadanya. Sementara mereka lulus sarjana Ekonomi sehingga memudahkan mereka mendapatkan pekerjaan yang layak. Annisa dan Laina sama-sama bekerja sebagai karyawan bank swasta dengan jabatan teller.

Percakapan pun diakhiri ketika ibu menyarankan mereka untuk pulang lebih awal sebelum jam delapan. Mengingat mereka berdua menggunakan motor sebagai alat transportasi menuju pulang ke rumah. Ibu terlalu khawatir ketika mereka harus melewati persimpangan tiga di depan jalan itu.

Mereka pun pamit dan melambaikan tangan, Hana menunggu sampai sosok mereka hilang dari pandangannya. Jarum di jam dinding yang bertengger masih menunjukan angka tujuh lebih. Hana pun izin ke warung depan yang buka sampai jam delapan. Ia akan belanja bahan untuk membuat kue pesan Elena besok pagi. Kebetulan stok bahan di rumah sudah habis.

Mengizinkannya pergi, ibu tak begitu khawatir lantaran warung tersebut letaknya tidak harus melewati para preman yang mangkal di persimpangan tiga itu.

Motor matic Hana pun menghilang dari teras dan ia memarkirkan tepat di depan toko yang sudah sepi pengunjung. Tak berbasa-basi, wanita berkaos biru muda itu memilih bahan yang akan dia beli lalu membayar sejumlah uang. Hanya butuh waktu lima belas menit, ia mengendarai motornya sampai ke depan teras.

Dari kejauhan sebelum memarkirkan motor ke teras, Hana menangkap sosok pria yang sedang duduk di kursi teras. Buram, tak begitu jelas karena helm yang masih membungkus kepalanya.

Namun, setelah dia melepaskan helm, detak jantung mendadak berdentum keras memukul dada, mata indah berbulu lentik melebar, tak percaya dengan apa yang ada di depan mata. Ia mencoba menganjur napas demi menenangkan diri.

Turun dari motor dengan kedua tangan menjinjing tas belanjaan, sesaat ia masih berdiri di dekat motor serasa kaki terkunci bumi dia berpijak. Untuk sekian menit, mereka saling mengunci pandangan setelah sosok itu mengetahui kehadirannya dan beranjak berdiri.

Jujur, ini sangat mendadak, Hana sama sekali belum bisa bertemu dengannya. Dari mana dia tahu keberadaannya? Siapa yang memberitahunya? Ah, banyak pertanyaan yang tidak mungkin ia tanyakan kepada orang yang sudah berdiri di depan teras yang tengah menunggunya. Apa kedua teman tadi telah mengkhianati dan membohonginya?

Buru-buru Hana menepis pandangannya ke sisi lain ketika pria itu berjalan mendekat dan memanggil namanya dengan lirih.

"Hana."

7 Tahun Setelah MenjandaWhere stories live. Discover now