Bab 14C

173 1 1
                                    

"Seharusnya aku yang ada di sana, bukan dia." Dia membatin dengan kesal menyelimuti hatinya. Tangan terkepal erat dan geraham mengetuk beberapa kali.

Tidak sampai di situ, hatinya kembali tercubit ketika dia disuguhkan peristiwa saat pria berkumis tipis itu membawa sang bocah di atas pundaknya. Mereka seperti keluarga kecil yang bahagia, menikmati kebersamaan di hari pekan seperti kebanyakan keluarga kecil yang bahagia. Sungguh pemandangan yang membuat matanya sakit dan memerah. Tatapan itu tadinya terkesan biasa, lama kelamaan berubah menjadi tatapan sinis, tajam dan tak suka.

Bibirnya pun tak berhenti mengomel dari tadi. Ingin dia muncul di sana, tetapi hati kecilnya memberontak. Dia tak ingin mendapat penilaian negatif dari Hana lagi. Dia harus menunggu sampai ambang kesabarannya mencapai titik nol.

Lagi, hatinya kian memanas, nyaris mencapai level puncak saat melihat Hana dengan berani berdiri mendekati, mengambil sesuatu yang ada di rambut cepak pria itu. Setelahnya mereka saling melempar senyuman, apakah itu senyuman cinta? Bukan, itu hanya senyuman simpati. Mahendra mencoba menepis semua dugaan yang sungguh mengganggunya. Apa yang dia lihat adalah sebuah halusinasi belaka. Itu harapannya, tetapi apa yang terjadi sebenarnya, ia belum tahu pasti.

Ah, sungguh membosankan tetapi herannya, mata itu enggan terlepas dari gerak-gerik mereka. Ck, dia berdecak keras, tak menyangka mengapa Hana yang dikenal dulu sebagai gadis yang selalu sopan dan jaga jarak dengan pria asing, kini menjadi wanita ganjen, tanpa malu memperlihatkan kemesraan dengan pria lain di depan umum.

Ups, kenapa sekarang dia menjadi sewot? Bukan hanya sewot, hati semakin dongkol melihat pemandangan yang membuat dada semakin membuncah, darah pun ikut mendidih dan ia butuh sebongkah es batu untuk merendamnya.

Berkali-kali dia harus menelan rasa kesal ketika sepasang insan itu berulang kali saling melempar pandangan dan senyuman mesra.

Argh, ia nyaris gila, kadar kecemburuannya sudah tak bisa ditoleransi, ingin sekali mendatangi dan menghajar pria yang telah berani mencuri senyuman Hana darinya. Namun, lagi-lagi niat tersebut segera diurungkan ketika dia menyadari reaksi apa yang akan diberikan Hana kepadanya. Jelas dia tahu, tadi malam wanita itu menolak untuk bertemu dan tidak memberi kesempatan  untuk berbicara. Bisa tambah berabe jika dia bersikap ekstrem lagi siang itu. Tidak, dia memilih menambah kuota kesabarannya jika tidak mau masalah menjadi semakin runyam.

Berkali-kali dia menarik napas panjang demi menenangkan perasaan yang membara, ia tak boleh gegabah kalau ingin mencuri simpati Hana. Dia sudah berjanji akan kembali menebus semua keegoisannya karena telah meninggalkan wanita cantik itu sendiri menanggung malu dan beban di masa lalu.

Belum puas mencari tahu apa yang akan terjadi, hari itu dia sengaja menyiapkan waktu luang untuk tetap mengikuti perkembangan hubungan mereka. Apa benar Hana sudah melupakannya dan memulai hubungan baru dengan pria itu? Pertanyaan itu masih menjajahi pikiran untuk kedua kalinya.

"Tidak-tidak. Hana bukan wanita yang mudah jatuh cinta. Dulu, banyak pria yang mengejarnya tetapi apa? Dia tidak menggubris, tetap fokus kepadaku. Dan aku yakin Hana akan melakukan hal yang sama sampai detik ini. Aku percaya dia masih mencintaiku."

Pria itu berusaha menampik prasangka buruk demi menyenangkan hati. Dia mengelak kalau Hana telah berpaling padanya. Pria itu terlalu percaya diri dan yakin bisa menarik perhatian Hana kembali suatu saat nanti.

"Kita lihat saja nanti."

Mata elang memancarkan sinar optimis di balik kacamata hitam yang terus mengawasi aktivitas mereka dari kejauhan.

Mahendra pun mengambil posisi duduk di meja yang tak jauh dari meja yang ditumpangi ketiga orang itu. Iya, sepertinya mereka akan menikmati makan siang di tempat itu di antara keramaian pengunjung.

Sorot mata tanpa kacamata itu terus memindai aktivitas mereka yang sebenarnya menggores luka itu sedikit demi sedikit hingga menjadi luka yang membesar. Namun entah mengapa, dia ingin terus menelan luka dan menikmati nikmatnya.

"Maaf, Pak ...."

"Iya, nanti kalau saya mau pesan, saya panggil lagi, saya pilih-pilih dulu."

Dia menjawab dengan  nada sedikit jengkel. Pasalnya, dia sedang fokus melirik ketiga punggung yang sering tersenyum mesra di sana. Panggilan pelayan cukup mengusik dirinya. Lagipula, jika memang siap order, dia pasti akan memanggilnya, tidak perlu menunggu di samping meja.

"Iya, Pak. Maaf, tapi menu yang Bapak pegang itu terbalik."

Astaga, Mahendra baru menyadari buku menu yang dia letakkan di atas meja secara vertikal untuk menutup wajahnya memang tidak berada di posisi yang benar. Pantas saja, dia merasa beberapa orang yang tak sengaja lalu lalang menatap dengan pandangan yang aneh.

Malu sampai ke ubun-ubun, Mahendra pun tidak mengubah posisi menu tersebut. Posisi masih terbalik lalu dia membalas celoteh wanita berseragam khas pelayan itu.

"Cara orang jenius membaca memang seperti ini untuk menakar tingkat kecerdasannya, Mbak. Membaca dengan cara terbalik."

Menahan malu, pria itu pun mengakali jawaban yang tak masuk akal demi menjaga gengsi pada tempatnya. Lalu, dia membalikkan menu dan mulai memesan makanan dan minuman. Dia tak peduli dengan raut wajah sang pelayan yang menahan senyum, menertawakan sikap anehnya.

Mata elang tersebut fokus ke tulisan di buku di hadapannya dan kepala mendongak dengan cepat ketika sebuah tepukan kecil mendarat di pundaknya. Menoleh ke arah pemilik tangan, pria itu menelan ludah lalu bertanya dalam hati.

"Astaga, kenapa dia ada di sini?"

Sudah tamat di berbagai platform

Karyakarsa dan KBM App

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 22 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

7 Tahun Setelah MenjandaWhere stories live. Discover now