19. Never goodbye

192 80 7
                                    


Di bawah langit biru dengan beralaskan rerumputan hijau yang separuhnya nampak menguning sebab terkena sengatan sinar ultraviolet itu, nampak Caca terduduk sambil memeluk lutut dan bersandar pada batang pohon yang berdiri kokoh dengan ranting berdaun yang mulai gersang.

Membiarkan rambut hitamnya ikut terpampang panas sedikit demi sedikit sebab Surya yang semakin lama semakin naik keatas kepala sorotnya.

Anggap ini adalah cara Caca menghabiskan jam kosongnya setelah baru saja ia berbicara dengan Jeffry yang langsung ia hindari keberadaannya dan berakhir berdiam seorang diri disini.

Sebenarnya Caca baru tahu jika ada sebuah pohon dihalaman belakang sekolah, jaraknya mungkin tiga meter dari lokasi awal Caca dan Jeffry berbicara. Barangkali sebab Caca sejak dulu tidak terlalu suka keramaian, jadi suasana sunyi disini membuatnya begitu nyaman.

Tidak hanya berdiam diri, yang Caca lakukan lebih daripada itu.

Bukan hal yang bermanfaat sebenarnya, tapi cukup membuat Caca sangat-sangat lega karena bisa melakukannya seorang diri. Caca sedang menangis. Lagi.

Jujur, dia bukan gadis sekuat yang dia sendiri bayangkan. Caca memang lebih suka dramatis dalam menghadapi masalah, karena baginya memendam sesuatu itu malah akan menyakitinya semakin dalam.

Bersikap dan berbicara tenang dihadapan Mamanya dan Jeffry pagi ini, itu bukan pribadi Caca sama sekali. Biasanya pasti dia akan berteriak-teriak sambil menangis menuntuti keadilan, dan Caca sekarang paham satu hal. Ternyata menjadi sosok yang lebih dewasa....sesulit ini ya?

Mungkin Caca saja yang terlalu lemah.

Terus dan terus saja dirinya dibaluti kesedihan yang sama sekali tidak ia inginkan, sampai pahanya terasa bergetar sebab ponsel yang ia saku menunjukkan panggilan.

Tangannya yang basah karena air mata pun kini bergerak menggeser tombol hijau pada layar yang terus-menerus menari-nari itu.

Sebuah panggilan dari Dara.

"Ekhmm" Caca hanya berdehem mengawali, ingin memberitahu Dara jika ia telah mengangkat panggilannya.

"Lo dimana? Buruan balik, jamnya Pak Jeffry bentar lagi udah habis"  begitu suara Dara terdengar agar Caca lekas kembali, seperti sebuah panggilan darurat.

Caca menjauhkan ponselnya untuk melihat jam sebentar, ternyata Dara benar, sepuluh menit lagi jam pelajaran selanjutnya akan berbunyi. Membuat Caca sadar jika dia sudah selama ini meninggalkan kelas.

Panggilan Dara kembali menarik atensi Caca.

"I-iya gue balik," balas Caca, suaranya terdengar agak tersendat akibat efek menangis.

"Lo dimana? Kok sinyalnya jelek?" Dikelas sana, Dara sampai memanjat kursi, berfikir jika suara tersendat terbata-bata Caca adalah efek jaringan yang belakangan memang sering memburuk.

Yah, Caca bernafas lega. Setidaknya Dara tidak mencurigai Caca dengan hal yang tidak Caca sendiri inginkan.

Setelah mencari alasan, Caca pun kembali menjawab, "Gue di toilet kok." Entahlah, semoga ini cukup masuk akal.

"Selama itu? Gisel bilang lo sama Pak Jeffry"

Tak ingin terpojok oleh Dara, lebih baik Caca mematikan sambungan teleponnya. Lagipula Caca sudah tidak bisa memberikan alasan lain lagi, mendengar nama Jeffry membuat telinganya berdengung.

Beda lagi jika nama Juan, maka jantung Caca yang mendadak tidak karuan.

Ngomong-ngomong tentang Juan, Caca baru sadar jika pria itu belum menghubunginya. Biasanya pasti sudah ada minimal satu gelembung pesan dari Juan untuk sekedar menanyakan Caca sedang apa.

Perfect uncle ✓Where stories live. Discover now