13. heart rate

188 72 1
                                    

Ada helaan napas panjang yang hadir setelah Juan berhasil memasangkan selang infus di atas punggung tangan Caca yang terasa begitu dingin.

Padahal rasanya baru beberapa saat lalu punggung tangan itu Juan kecup dengan lembut, dan sekarang Juan harus menempatkan tangan Caca dengan hati-hati agar gadis tersebut tak terbangun.

"Caca shock, tekanan darahnya juga rendah," tutur Juan. Dia bukan satu-satunya orang yang khawatir, masih ada Cantika yang sejak tadi juga tak beranjak dari samping putrinya.

"Apa nggak lebih baik kita ke rumah sakit?"

Terasa kasur tempat Caca berbaring mulai memantul lembut dan merendah saat Juan ikut mendudukinya.

"Buat apa? Aku bahkan udah nanganin ini dengan baik." Tidak terlihat bagaimana Caca terusik ketika Juan membelai halus pipi yang membiru lebam itu.

Ini jelas bukan lebam biasa, pukulan Jeffry terlalu kuat untuk gadis seukuran Caca. Juan sampai harus membalas ulah guru itu dengan pukulan yang lebih brutal.

Bahkan Juan yang begitu menginginkan Caca pun sampai sekarang tidak berani menyakiti, baik hati maupun fisik Caca. Sebaliknya Juan selalu berusaha membuat Caca nyaman dengan kehadirannya walaupun dengan imbuhan beberapa kalimat nakal khasnya.

Dan Jeffry, bahkan Juan terlalu muak hanya untuk sekedar mendengar namanya saja. Bisa-bisanya pria itu datang dan mengusik ketenangan gadisnya.

"Biar aku ambil air hangat buat kompres luka Caca." Hanya inisiatif kecil dari Cantika setelah beberapa saat menatap tingkah Juan pada putrinya.

Juan tak mengatakan apapun, biarkan Cantika berbuat semaunya. Beberapa hari belakangan ini, Juan memang tak begitu banyak berbicara bersama Cantika seperti biasa.

Lebih tepatnya setelah wanita itu pulang lewat tengah malam terakhir kali usai bertemu dengan Jeffry--mantan kekasih brengsek Cantika.

Hal-hal romantis yang Juan lakukan semata-mata untuk manipulasi semata ketika berada di dekat Caca.

Jangan pukul Om Juan!!!

Mata Juan memejam sekilas ketika teriakan Caca kembali terngiang-ngiang di kepala.
Gadis manis di hadapannya ini, ternyata baru saja berusaha melindungi Juan.

"Sekarang, apa ada alasan buat saya nggak suka sama kamu, hm?" Bahkan sampai detik ini pun hanya usapan lembut pada rambut Caca yang Juan berikan sambil menunggu netra terang itu terbuka.

"Sejak awal yang saya butuhkan itu cuma kamu, saya bahkan berusaha nggak peduli setelah apa yang terjadi sama Mama kamu dan--pria itu." Sekarang Juan tengah mengajak orang yang tak sadarkan diri berbicara. Rasanya Juan ingin memberi tahu Caca sebuah kebenaran, namun rasa takutnya masih terlalu besar ketimbang keinginannya.

Juan menatap lamat-lamat wajah Caca, perlahan tatapan itu diselingi dengan gerakan wajahnya yang kian mendekat.

"Caca Vanilia, saya mau kamu." Tibalah saat hidung keduanya mulai bersinggungan, Caca terdengar menunjukkan lenguhan lemah.

Berakhirlah hanya kecupan singkat pada pucuk hidung Caca yang mampu Juan berikan sebelum beralih menatap Caca sepenuhnya. Kelopak mata gadis itu terbuka perlahan menyesuaikan terang lampu dalam ruang.

"Ada yang sakit?" tanya Juan pertama kali saat Caca berhasil membuka mata sepenuhnya.

Caca memberikan jawaban hanya dengan gerakan tangan yang disentuhkan pada permukaan pipinya yang terasa berdenyut nyeri.

"Pakai tangan yang ini." Juan menukar posisi tangan Caca, tak ingin bagian yang terinfus digerakkan berlebih.

"Caca nggak mau ini." Hal yang bagi Juan penting malah membuat Caca merasa terganggu. Seolah tak membutuhkan, Caca berinisiatif melepaskan infus yang menempel itu sendiri. Dia merasa tidak nyaman.

Perfect uncle ✓Where stories live. Discover now